Satu orang terlihat sangat tak senang melihat penampilan Angela yang di luar kebiasaan. Karina. Begitu jam istirahat pertama berdering dan semua siswa menyerbu kantin, ia menghampiri meja Angela. Angela spontan mendongak melihat siapa yang menggebrak mejanya keras-keras.
"Mau apa lo?" tanyanya pada Karina. Melampaui tubuh Karina ia melihat Nikki dan Elena telah keluar kelas setelah ia menolak ajakan mereka ke kantin.
"Lo ngapain mengubah penampilan lo jadi begini? Murahan banget kelihatannya."
"Nah, lo sendiri? Bukannya kelihatan murahan juga? Rok lo nggak kalah pendeknya dibanding rok gue. Coba lo sebut semua cewek di sekolah kayak gitu. Yang pake rok pendek bukan gue doang kan? Kenapa cuma gue yang lo serang?"
Karina membelalak berang. Jika biasanya Angela hanya akan diam saat ia menumpahkan kata-kata kasar dan menghina, kali ini perlawanan Angela membuatnya gampang sekali tersulut.
"Sudah gue peringatkan jangan caper di depan Pak Valdy!"
"Gue nggak sengaja nabrak dia barusan!" Angela berdiri hingga tubuhnya sejajar dengan Karina. "Kalo lo emang suka sama dia, ya silakan deketin orangnya. Bukannya maksa orang lain menjauh. Bagaimanapun, dia guru gue juga. Guru semua orang, dan yang berkepentingan sama dia bukan cuma elo." Angela memasukkan ranselnya ke kolong meja, memindahkan kartu perpus dan ponsel ke saku roknya, sedikit kesulitan memasukkannya karena rok yang cukup ketat. "Ada lagi?"
"Mulai besok lo nggak boleh berpenampilan begini lagi!"
"Lo nggak berhak lagi ngatur-ngatur gue, Rin. Lo bukan siapa-siapanya gue. Nyokap gue aja nggak pernah keberatan, ngapain lo yang ribet? Suka-suka gue dong!" Angela mendengus sinis dan berjalan melewatinya dengan cepat, malas beradu mulut lagi di hari yang masih pagi. Terlalu melelahkan untuknya.
"Brengsek lo!"
"Terserah!"
Ia malas menanggapi lebih lanjut dan setengah berlari keluar dari kelas. Koridor sepi, hanya terlihat satu atau dua orang yang duduk di teras depan kelas. Saat Angela memasuki pelataran perpustakaan, ia melihat dua orang yang berjalan ke arahnya dan serta merta membuang pandang. Agatha dan Andrei. Dengan jengkel ia menyaksikan mereka mengikutinya masuk ke perpus saat ia tengah mengisi daftar hadir.
"Hai, Kak Angela." Agatha menyapanya ceria.
Angela pura-pura tuli dan meloyor begitu saja seolah adiknya itu makhluk tembus pandang. Ia lalu berjalan ke arah rak buku pengetahuan umum yang jarang disentuhnya. Ia mengambil beberapa judul yang menarik dengan tema psikologi, membaca kata pengantar dan blurb di sampul belakang. Setelah menimbang-nimbang, ia memilih dua yang paling memungkinkan untuk dibacanya dalam rentang waktu seminggu ke depan. Dengan waktu luang yang menipis, beban belajar yang tambah berat, belum lagi urusan rumah tangga, dan MOON-MOON, ia jadi bertanya-tanya kapan akan mendapat me time yang layak seperti dulu.
Angela memilih duduk di satu meja yang kosong diantara banyak meja kosong lainnya, tak memedulikan keberadaan dua manusia yang paling dihindarinya. Ia sudah membaca tiga halaman saat dengan seenaknya Agatha duduk di seberangnya, melempar senyum manis tapi palsunya yang biasa. Tensi Angela kontan melambung ke titik berrbahaya.
"Sejak kapan ganti penampilan, Kak?"
Angela memusatkan perhatiannya pada judul kisah pendek di buku Chicken Soup yang tengah dibacanya dan membaca kutipan menarik di bawah judulnya.
"Aku juga mau berpenampilan seperti elo deh, Kak. Nggak apa-apa ya?"
Angela menyandarkan punggung dan membaca dengan santai kisah seorang wanita yang berjuang dalam ketidakberuntungannya untuk bertahan hidup bersama satu anaknya. Inspiratif.
"Tahu nggak, Kak. Waktu ini Papa janji bakal beliin gue apapun yang gue inginkan untuk ultah sweet seventeen gue. Gue minta mobil dan papa janji bakal beliin. Tapi sebenernya cuma untuk ngetes aja sih. Buat gue yang penting papa selalu ada, siap dengerin curhat gue tiap jam makan malam, nganterin sekolah tiap pagi. Itu aja cukup. Papa emang sayang banget sama gue."
Jari Angela yang memegang buku mendadak mengencang. Dadanya bergemuruh sementara telinganya dipenuhi denging aneh, membuatnya sesak seketika. Ia masih bertahan untuk terlihat tak peduli.
"Agatha, duduk disini aja."
Suara Andrei membuat semuanya lebih tak tertahankan, nada lembutnya saat memanggil gadis itu, dan balasan manja darinya. Angela hampir melempari mereka dengan buku saat ponselnya bergetar dan ia mengangkatnya.
"Kenapa, Kak?" Tumben Adrian meneleponnya di hari kerja, pagi-pagi pula. "I'm fine. Kenapa lo?" Mau tak mau mood Angela sedikit membaik. Dari sudut matanya ia melihat Agatha menyimak dengan serius percakapannya dengan Adrian. Angela memilih bangkit bersama bukunya dan kembali ke kelas. "Lo tahu dari mana gue kena insiden? Oh…kirain… Iya deh, Mister Cenayang. Sok amat." Angela berjalan ke konter peminjaman buku dan menyerahkan kartu perpus beserta buku yang akan dipinjamnya. "Oke. Kak, gue masih penasaran sama kaki tangan lo itu. Kapan lo akan kenalin ke gue? Apa perlu gue yang datang ke rumahnya?"
"Nanti, La. Penasaran amat lo! Udah ah! Gue mau lanjut kerja. Gue cuma cemas aja sama lo. Jangan lupa makan siang. Mama mengeluhkan itu ke gue, maksa gue membujuk lo."
"Iya, Kak. Thanks udah nelpon gue."
Angela menerima kembali buku dan kartu perpustakaannya. Semakin jauh ia melangkah, ia mendapat ide yang makin menggebu di kepalanya. Ia melihat sosok Roni di kejauhan dan melambai, dibalas cengiran di wajah lelaki itu.
"Kenapa?" tanya Roni.
"Ron!" Angela mencekal lengannya. "Gue minta bantuan lo, please!"
"Jangan yang aneh-aneh aja, La."
"Bukan!"
"Trus apa?"
"Boleh nggak gue duduk sebangku sama lo? Mulai hari ini sampai seterusnya. Please?"
Roni mengangkat satu alisnya, memandang Angela yang penuh harap di hadapannya.
"Gue pikirin dulu."
"Oh." Angela sedikit heran. "Oke."
"Ada syaratnya, La."
"Apaan?"
"Makanya gue bilang gue mau pikirin dulu."
"Hih! Jangan yang susah-susah, Ron! Jangan yang menguras kantong juga!"
"Nggak yang seperti itu kalo dari gue!"
"Jangan lama-lama berpikirnya!"
"Cerewet!"
***