Sepanjang jalan Naoki hanya diam memandangi jalanan yang bergerak semu dari kaca jendela taxi. Sesekali menoleh pada Makoto lalu tersenyum. Makoto memang tahu sebelumnya bahwa siswanya ini pendiam tapi tidak disangka bahwa Naoki semembosankan ini. "Rumahmu jauh juga dari rumah sakit ya" dia mencoba mencairkan suasana.
"Sejujurnya tidak juga, kita jalan memutar. Kalau jalan kaki dari rumah sakit hanya 2 kilometer sampai ke tempat aku tinggal" Naoki tersenyum tanpa merasa bersalah
"Ah.. begitu. Kalau kau sehat sudah aku pukul kepalamu" Makoto meringis merasa kalah
Naoki tertawa masih merasa tidak berbuat salah "Karena sensei sudah pesan taksi yaa jadi sekalian saja kita jalan-jalan kan?" Setengah berpikir Naoki melanjutkan "Ah! Bagaimana kalau sekalian kita ke pusat perbelanjaan, banyak hal yang belum aku beli" Naoki tersenyum lagi
"Aku harus berhati-hati denganmu"
Tawa Naoki pecah, membuat gaduh satu mobil "Aku takkan minta dibayari kok tenang saja ya sensei"
***
Di pusat perbelanjaan mereka berhenti. Tidak banyak barang yang dibawa Naoki, hanya tas ransel berisi beberapa baju salin saat di rumah sakit. Makoto membawakannya setelah turun dari mobil. Naoki berhambur keluar dengan ceria, sedangkan Makoto hanya mengikuti seperti seorang pelayan.
"Sensei, kita langsung saja ke foodmart oke" Naoki menunjuk dengan ceria
"Tidak ada masalah dengan foodmart, tidak ada sama sekali.. yang jadi masalah itu adalah kau dengan baju piamamu dan sendal kamar rumah sakit yang tidak kau kembalikan! Dan kau berjalan denganku yang berpakaian rapih ini. Tidakkah kau berpikir orang-orang akan memperhatikan kita ?"
"Hmm tidak juga, tidak peduli. Asalkan Makoto sensei tidak memanggilku dengan sebutan Nao-sama dengan nada manja" ia terkikik sedangkan Makoto hanya menggelengkan kepala.
Sudah banyak makanan Yang ada dalam troli Naoki, beberapa bungkus roll tissue toilet juga tidak luput ia beli. "Hari ini judulnya belanja bulanan" Makoto mendengus memperhatikan setiap gerak gerik Naoki yang gesit.
"Oi lihat dirimu. Kau seperti bukan orang yang baru keluar dari rumah sakit"
Naoki menoleh, lalu tersenyum. "Benarkah?" trolinya sudah penuh. Dia menghentikan langkahnya kemudian berbalik kearah Makoto "Anu Makoto sensei, sepertinya cukup. Kita pulang saja" tangan kirinya menggenggam kerah piamanya dan nafasnya tersengal.
Sebelum pulang dari rumah sakit dokter yang merawat Naoki berpesan kepada Makoto, bahwa Naoki harus terus meminum obatnya, tidak boleh terlewat satu kali pun, dan Naoki juga tidak boleh terlalu lelah.
Seharusnya sepulang dari rumah sakit tadi Makoto langsung menuju rumah Naoki dan beristirahat. Jika sudah begini, yang ada hanya menyesal. "Minum ini, kau sudah lelah. Memang seharusnya kita pulang. Kau tunggu di dekat pintu keluar disana ada tempat untuk duduk, biar aku yang mengantri di kassa" Makoto menyodorkan botol minum dan Naoki hanya mengangguk, tangannya pelan menyodorkan kartu kredit "Bayar pakai ini, dan kembalikan lagi padaku ya Makoto sensei" Makoto hanya tersenyum sinis
Banyak sekali kantong belanja yang dibawa Makoto, ia terlihat kesusahan menuju tempat Naoki menunggu. Sedangkan Naoki hanya melambai ceria pada gurunya itu, yang tentu saja disambut muka masam Makoto. Belum juga dekat jarak antara mereka, Makoto berseru "Hoi! Naoki!! Kau berbohong agar aku yang membawa semua belanjaanmu kan?! Benar-benar kau ya!"
Naoki mengangkat alisnya tinggi tinggi "Selicik itukah aku?"
"Ah sandiwara apa itu?!" Makoto menuju ke arah taksi dengan kecepatan yang tak bisa diikuti Naoki, sedangkan Naoki hanya tertawa pelan.
"Maaf sensei, maaf"
"Ayo kita pulang! Jika nanti dijalan kau memintaku berhenti disuatu taman, aku akan menguburmu hidup-hidup" wajah Makoto serius.
Delapan belas menit taksi berjalan, memasuki komplek perumahan dan kemudian berhenti di sebuah rumah dengan pintu pagar kayu yang tinggi dan dipernis mengkilat kehitaman. "Ini rumahmu?" Tanya Makoto pelan
"Rumah ibuku. ayo Makoto-sensei kita harus cepat masuk. Kalau tidak bibi tetangga akan menculikmu" Naoki terkikik
Setelah membayar taksi, Makoto mengikuti langkah Naoki. Pintu pagar kayu itu berat dan berbunyi ketika dibuka, ada taman di depan rumah dengan beberapa pohon bonsai yang terawat dan bunga bunga mawar putih di bawah jendela besar. Dari luar rumah dua lantai itu terlihat kosong. Naoki sibuk merogoh kantong "Kunci" katanya, lalu menoleh pada Makoto
"Yang benar saja, kau menghilangkan kunci rumahmu?"
Makoto mendengus
"Kurasa tidak, sebentar" dia beranjak dan menyusuri beberapa pot bunga besar disekitar jalan setapak menuju pintu "Nah ada! Ada!" Seru Naoki lalu berlari kecil menuju pintu besar yang terbuat dari kayu "Aku lupa kalau aku tidak pernah membawa kunci rumah" katanya sembari cengengesan.
Wajah Makoto datar seakan sudah terbiasa dengan kelakuan anak muridnya itu "Belanjaanmu berat, jadi biarkan aku lepas dari derita ini"
Pintu terbuka, dan semua gelap. Kordyn abu-abu gelap menutupi jendela besar, tampak seakan-akan tidak pernah di buka. Dari cahaya yang masuk dari pintu utama membuatnya bisa melihat meski samar. Ada sofa merah dengan bahan beludru dan meja kaca dihadapannya. Naoki menyalakan lampu, lalu semua terlihat dengan jelas. Di sebelah kanan terlihat dapur mini yang tertata rapih, sedikit bergeser ke kiri ada sebuah ruangan dengan pintu warna biru muda yang tertutup, Makoto simpulkan ruangan itu adalah kamar mandi. Lalu ada tangga kayu yang minimalis, dari ruangan utama terlihat tangga itu mengarah ke lantai dua yang Makoto tebak beberapa ruang kamar tidur.
Makoto meletakan semua belanjaan itu di lantai dekat sofa. Dan bergumam melihat kordyn masih tertutup "Kau suka rumahmu sesuram ini?" matanya mendelik kearah Naoki yang sibuk membuatkan minum di dapur minimalisnya.
"Hm?" seakan tidak perduli
"Apanya yang hm?"...tangan Makoto usil, ia menarik kordyn sehingga cahaya dari luar masuk menerangi ruangan. Bunga mawar putih terlihat dari jendela besar bercat putih itu.. "Bagaimana tidak sakit? Rumahmu kurang sirkulasi cahaya matahari dan oksigen"
"Inikan sudah sore sensei" Mata Naoki menyipit merasa terganggu dengan cahaya yang tiba-tiba "Sirkulasi cahaya?" Ia tertawa pelan. Mengejek.
"Mana ibumu?"
"Tidak ada"
"Kau tinggal dengan siapa?"
"Sendiri"
Mulut Makoto langsung bungkam.. saat Naoki mendekat dengan nampan ke arahnya, ia melihatnya. Mata Naoki yang kesepian. "Kemana mereka semua?"
Makoto menatap langsung mata coklat terang Naoki.. mereka diam sesaat.
"Ibuku... dia dirumah sakit.."
"Sakit ap-"
"Jiwa"
Naoki menyeruput kopi mocchanya, itu bukan kisah menyenangkan untuk menjadi pembahasannya kali ini. Makoto merasa ia adalah guru bagi Naoki namun, bukan berarti bisa mencampuri semua urusan Naoki.
Mereka diam, seakan tidak ada lagi yang bisa di katakan. Hanya mata Naoki yang mengawasi air wajah gurunya yang sedikit tertunduk. "Ada apa sensei?, sensei tidak suka moccha?"
"Tidak, aku lebih suka teh"
"Kenapa tidak bilang?"
"Kau tidak bertanya... maaf aku menanyakan sesuatu yang tidak menyenangkan"
"Tenang saja, santai saja. sensei bertanya aku menjawab. Di luar dari seperti apa pertanyaannya itu bukan salah sensei.. ayah dan ibuku bercerai. Ayahku beselingkuh dengan bawahannya di tempat mereka bekerja. Ibuku orang yang lemah, dia sering sekali histeris saat tahu ayah berselingkuh, sehingga kami membawanya ke rumah sakit jiwa. Lalu perceraian itu terjadi begitu saja, ayah dan selingkuhannya menikah.. dan hidup bahagia. Tamat" Naoki tersenyum pada Makoto yang tampak terdiam.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku tidak memusingkannya sensei, ayah masih mengirimi aku uang dan membayar sekolahku. Bagiku dia cukup bertanggung jawab"
"Perasaanmu?"
"Yaahh.."
"Jika saja tidak ada wanita itu, bagaimana-apa yang sebenarnya kau harapkan tentang keluargamu ini?" Makoto menjadi kalut, ia tidak bisa menguasai dirinya. Ia melihat sagiri dalam diri Naoki. Kesepian itu, kesedihan itu terpantul dalam mata terang Naoki.
"Sensei.. wanita itu mungkin saja tidak salah. Ayah, aku tidak membencinya. Aku hanya kecewa karena ia begitu egois"
(Yang benar saja! Dasar naif) dahi Makoto mengkerut. Kesal.
"Siapa yang selama ini mengurusmu?"
"Pamanku yang baru saja meninggal. Selain dengan dia, aku tidak bisa menyesuaikan diri" Naoki menarik nafas dalam "Karena itu sensei ini waktu yang tepat untuk mengatakannya"
"Apa itu?"
"Aku akan berhenti sekolah"
***