"Dia ibuku"
Sedetik tadi. Dadaku seakan di pukul benda keras. Sakit dan sesak. "Kalian tidak mirip!" Aku percaya dia dan bibi penjual ramen adalah ibu dan anak. Aku hanya tidak mau mengakuinya. Meski sebenarnya, sifat merepotkan mereka sama.
"Apa kau tahu, sehari setelah kematiannya aku sangat menderita. Aku mengumpulkan semua tekadku sejak beberapa tahun lalu, hanya untuk bisa bertemu dan menyapanya kembali"
Aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya
"Dan yang bisa aku lihat hanya kejadian itu. Kau membunuh Ibuku" dia mulai menangis.
Aku bukan pembunuh! Tidak... Aku tidak tahu apa bedanya aku dengan pembunuh. Jika aku manusia, mungkin aku tidak ada bedanya dengan kriminal itu. "aku hanya memenuhi takdirnya" jawabku putus asa.
"Takdir apanya?! Ibuku sehat-sehat saja! Ibuku itu kuat dan-"
"Kau yang tidak pernah tahu bagaimana kondisi ibumu!! Bibi penjual ramen sakit keras bodoh! Paru-parunya bermasalah!! Lalu dimana kau selama ini?!"
"Apa urusanmu?!"
"Dia selalu makan sendirian!" Rasa sakit didadaku semakin intens. "Dia sangat kesepian! Dia menceritakan sedikit tentangmu, bagaimana dia harus mengurus mu tanpa figur seorang ayah. Dan dia pikir hal itu sangat menyulitkanmu"
"Dia bilang begitu.." air matanya deras mengalir. Ia berjongkok dan menyembunyikan wajah menangisinya. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Jadi aku hanya duduk disisinya dan menunggu tangisnya reda.
Beberapa kali aku melihat tubuhnya berguncang. Tangisnya tak bersuara, tapi aku yakin saat ini wajahnya basah karena air mata. Aku menepuk-nepuk pelan punggungnya. Mencoba meniru apa yang aku lihat, bagaimana seorang ibu menenangkan anaknya yang menangis saat di cafe dekat jalanan.
Tak berselang lama ia mengusap wajahnya dan menoleh padaku "Kau bicara dengan ibuku? Apa kalian akrab?"
"Hanya tiga hari aku bertemu dengannya" jawabku singkat
"Bagaimana mungkin makhluk ghaib sepertimu bisa berinteraksi dengan ibuku" wajahnya masih kusut, beberapa kali ia mengusap matanya.
"Aku bisa membaur dengan manusia jika aku mau, tapi tidak bisa terlalu lama" tanpa aku sadari aku masih menepuk-nepuk punggungnya, lalu tangannya menggenggam tanganku.
"Aku sudah tidak menangis, terimakasih" dia melepaskan genggamannya
"Kenapa kau tidak bersama bibi? Kalian bisa makan bersama, dan bibi tidak akan kesepian"
"Tiga tahun lalu kami bertengkar hebat lalu aku pergi dari rumah" dia menunduk "aku bekerja keras dan berusaha untuk menjadi fotografer profesional, akhirnya itu terwujud. Aku mengiriminya uang setiap bulan tapi, ibuku selalu mengembalikannya. Aku pikir ibuku membenciku dan masih belum bisa memaafkanku"
"Aku tidak melihat kebencian Dimata bibi saat ia membicarakanmu"
"Benarkah?"
"Dia sangat merindukanmu"
Dia kembali menangis, sedikit lebih tenang dari yang tadi "Tidak ada gunanya kau bicara sekarang, aku bahkan tidak bisa lagi bertemu dengannya. Meminta maaf padanya"
Benar.. kesedihannya itu, aku merasakannya. Bagaimana rasanya menyesal tapi sekuat apapun usaha yang kau lakukan, perasaan itu tidak bisa tersampaikan. Karena kau sudah benar-benar ditinggalkan.
"Aku harus bagaimana?" Dia kembali menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya.
Aku tidak tahu.
Ah.. sial. Aku jadi terikat dengan orang ini. Perasaan bersalah ternyata merepotkan ya. "Apakah kau ingin sesuatu lagi? Aku akan berusaha menolongmu"
"Aku tidak tahu. Apakah kau bisa kabulkan keinginanku?" Dia tidak mengangkat kepalanya. "Itu mustahil" dia melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu aku menjawabnya.
"Apakah keinginanmu adalah menghidupkan kembali ibumu?"
"Iya" suaranya pelan, aku hampir tidak mendengarnya.
"Hei, ayo kita keluar dan menikmati malam ini sebelum kau mati"
Dia menoleh perlahan dan menatapku, wajahnya merah dan sembab. "Apa maksudnya itu?"
"Kau mau melihat pemandangan yang paling aku sukai tidak?"
"Aku fotografer, sudah banyak pemandangan bagus kota Tokyo yang aku potret" jawabnya tak tertarik
"Oke, baiklah.." menyebalkan.
"Ramen" katanya tanpa menoleh "aku ingin makan ramen, tapi aku tidak ingin makan sendirian" sama halnya dengan bibi, pemuda ini juga kesepian.
Di sekitaran apartemennya ada sebuah kedai ramen yang tidak terlalu ramai. Dia berjalan pelan, sengaja agar kami sejajar. Walau badannya besar, melihat gerak-gerik dan tingkah lakunya dia seperti anak-anak yang kehilangan ibunya. Dia diam dengan tatapan kosong. Rasa kehilangan masih menguasainya. Rasa sakit itu mungkin lebih menyiksa dibandingkan dengan yang aku rasakan.
Aku menggandeng tangannya dan melihat wajahnya, setidaknya aku ingin dia tahu bahwa dia tidak sendirian.
Dia tersenyum. Manis sekali.
Di kedai ramen, dia makan sangat lahap. Aku hanya memandanginya. Sesekali dia mengusap air matanya.
"Bukankah makan sama-sama lebih nikmat?" Aku tersenyum
Dia mengangguk balas tersenyum.
Sudah pukul 8 malam. Kami sedang berada di sebuah cafe pinggir jalan, sekitaran Nishishinjuku kota Shinjuku. Dia sedang menikmati caramel macchiatonya. Instingku merasakan sesuatu yang tidak beres di sekitar sini. Tempat ini agak sepi, mungkin karena sudah agak malam.
Tapi..
"Hei, terimakasih banyak hari ini" dia bicara sambil terus memainkan pipet minumannya. "Aku tidak bisa mengatakan pada orang lain. Tapi, padamu aku bisa lebih jujur"
"Apa itu?"
"Aku sangat kesepian. Aku sering sekali mencoba menemui ibuku. Tapi, aku terlalu malu. Jadi hanya bisa mengawasinya dari jauh, aku sangat menyayanginya"
"Manusia memang rumit ya, jika saja kau bisa sedikit lebih mementingkan rasa sayangmu. Kalian berdua mungkin akan bahagia"
"Iya ya.. maaf ya" dia tertawa tapi ekspresinya begitu sedih.
"Kenapa minta maaf padaku? kau ingatkan, kau bilang aku yang telah membunuh ibumu~" aku mencibir.
Dia tertawa, sedetik tadi aku seakan melihat wajah bibi yang tertawa. mereka mirip, jelas saja. Pemuda itu anaknya kan?
"Hei, apakah ibuku tersenyum saat meninggal?"
"Ya, dia tersenyum"
senyumnya mengembang "Sekarang aku pasrah. Ayo lakukan saja, aku sudah tidak memiliki permintaan apapun" dia memejamkan mata, seulas senyum masih menghiasi wajahnya.
Aku meraih Gun milikku dan menarik pelatuknya "Keiji Kentou, aku ada untuk menyampaikan pesan padamu" lalu saat peluru itu melesat, sesuatu dari arah atas hampir mengenaiku, dengan gesit aku berguling ke arah kanan.
Ada peluru sebesar setengah ibu jari orang dewasa di tempat aku duduk tadi. Peluru ini, senjata yang digunakan dari jarak yang jauh. Seorang sniper! Pasti Owl!
"Ya Tuhan! Kenapa dia?!" Suara seorang wanita menarik titik fokusku. KEIJI! aku mendekatinya, tubuhnya terkulai di kursi cafe. Point bidikku meleset, seharusnya di leher. Peluruku bersarang di pipi sebelah kanan. Alasan kematian secara otomatis berganti. Aku yakin tidak akan ada masalah besar karena hal itu.
Wajah Keiji tersenyum, ia meninggal dengan damai. Semoga saja!
Yang harus aku lakukan adalah mencari Owl itu! mereka mulai mengganggu wilayahku. Siapapun Owl itu harus aku musnahkan.
Owl (burung hantu) seharusnya tetap di dalam hutan, sudut kota dan tempat sampah adalah milikku!
***