Chereads / KARASU / Chapter 16 - REST

Chapter 16 - REST

Aku masih terduduk lesu, bayangan masa lalu Miki dan Sano telah hilang, bersama dengan jejak-jejak keberadaan mereka. Penampilanku sangat buruk, mantelku compang camping dan beberapa luka menganga di bagian tubuhku, pendarahan mungkin sudah berhenti, hanya saja regenerasinya entah kenapa begitu lambat.

Angin berhembus menerpa wajahku, menyadarkan aku dari lamunan yang tidak berujung. Ini masih di atap sebuah gedung. Aku bimbang apakah aku harus pergi atau tetap disini menunggu luka-luka ini pulih. Lalu suara pintu besi yang sedang di buka di ujung sana membuatku mau tidak mau pergi dari tempat ini. Aku berpindah dengan cepat.

Sekarang aku berada di sebuah jalanan sepi di bawah fly over. Beberapa meter dariku ada sebuah Vanding Machin, rasa pusing kembali datang dan membuatku ambruk. Belum sempat aku terbangun, suara sesuatu yang terjatuh membuatku menoleh cepat. Disana, hanya berjarak 1 meter dariku. Naoki membatu melihatku dengan tatapan takut sekaligus terkejut, ia menjatuhkan beberapa botol minuman isotonik. Sial.. disaat begini. Jujur saja aku sedang tidak ingin bermain-main dengannya.

Masih dengan ekspresi yang sama, dia mendekat kearahku. "Kau terluka parah!" Suaranya bergetar, mungkin baginya melihat seseorang babak-belur begini baru pertama kalinya. Aku sudah tidak punya energi lagi untuk membuat lelucon. Aku hanya bisa tersenyum, lalu dia membuka jaketnya dan memakaikannya padaku. "Ayo ikut aku ke rumah sakit" dia memapahku tanpa permisi.

"Jangan ke rumah sakit" suaraku pelan, entah dia bisa mendengarnya atau tidak. Aku tidak boleh ke tempat umum! Itu akan memicu kebingungan, dan aku tidak suka saat mereka mulai panik. Alasannya tentu saja karena Karasu bukan manusia, seorang dokter yang pasti ahli dalam anatomi akan langsung mengerti hal itu.

Aku mencengkram kuat tangan Naoki, dan dia berhenti "Jika tidak kerumah sakit, maka ijinkan aku membawamu ke rumahku untuk aku rawat!" Ah.. dia memang anak yang baik dan sopan. Jika saja tidak jahil...

Cukup jauh kami berjalan, 20 menit aku lalui dengan rasa yang campur aduk. Semua orang yang berpapasan melihat kami, wajah mereka penuh dengan keingintahuan yang tak berarti. Membuat muak.

Beberapa kali Naoki membenarkan posisi tanganku, beberapa kali juga aku mendengarnya menarik nafas panjang. Dia kelelahan? Walau terlihat baik-baik saja, Aku tahu dia bukan orang yang 100% sehat. Mungkin saja sebenarnya berat badanku ini adalah beban yang melebihi kapasitas kekuatan nya. Saat aku sibuk melihat wajahnya yang penuh peluh, langkah kami berhenti.

Aku baru menyadarinya. Kami sudah sampai di depan sebuah rumah dengan pagar kayu besar. Rumah Naoki. "Ayo" dia menoleh padaku dan kembali membenarkan posisi kami. Aku melepaskan tangannya dengan pelan dan berdiri dengan tegak dihadapannya.

"Aku akan berjalan sendiri" dia terkejut, tentu saja. Dengan luka seperti ini manusia pasti akan lemas bahkan pingsan.

"Kau kuat sekali.. kenapa tidak dari tadi" dia mendengus lalu membukakan gerbang kayu itu, berjalan mendahuluiku yang masih terkejut dengan jawabannya tadi.

Aku tarik kembali kata-kata bahwa 'dia anak baik' dalam hatiku, dan membuangnya jauh-jauh. "Ayo masuuuuk" Naoki kembali dan menarik tanganku.

Di dalam. Dia mendudukkan aku di sebuah sofa dengan bahan beludru, lalu beranjak ke dapur. Aku hanya bisa mengawasinya yang sibuk mencari-cari sesuatu kesana dan kesini. Beberapa menit berlalu dia kembali dengan sebuah kotak putih berukuran sedang dengan lambang plus berwarna merah. "Kau tidak keberatan aku merawat lukamu kan?"

Dia mengambil jaketnya yang tadi menutupi sebagian tubuhku, meletakkannya di sisi sofa, dan membuka kotak putih itu. Kurasa aku tidak harus menjawab pertanyaannya. Dari wajahnya, dia tidak menerima kata 'tidak'. Ya sudah.. biar saja dia sibuk dengan luka yang sebentar lagi menutup dengan sendirinya ini.

Saat ini dia sedang sibuk membersihkan luka-lukaku dengan antiseptik, beberapa sudah ia balut dengan kasa steril. Sungguh, obat semutahir apapun tidak akan berpengaruh pada luka yang aku derita. Tanpa pengobatan apapun esok hari luka-luka berat sekalipun akan sembuh dengan sendirinya.

"Kau ini anggota Yakuza atau apa sih?!" Akhirnya dia bersuara, setelah belasan menit hanya sunyi dan suara2 kesibukannya. "Aku merasa kau terlibat dengan dunia hitam. Kau tahu dunia hitam?" Lucu sekali. Saat dia mengatakan 'dunia hitam' dua jari telunjuk dan jari tengahnya naik turun. Aku tidak bisa menahan tawa.

"Apanya yang lucu?!" Dia mendengus dan melanjutkan lagi membalut luka di lenganku "Ayo tunjukkan lagi dimana lukamu!"

Hmmm.. aku rasa dia akan merasa tidak nyaman jika aku tunjukkan.

"Ayo! Nanti infeksi!!" Katanya seperti ibu-ibu yang rewel melihat anaknya terluka sehabis jatuh dari sepeda.

"Disini" aku menarik keatas celanaku, menunjukkan luka sayatan di kaki kananku dekat tulang kering "Lalu disini" aku menunjuk paha kiri bagian atas "Dan disini" tanganku hampir membuka beberapa kancing kemejaku dan menunjukkan luka di bawah dada sebelah kiri sampai akhirnya tangan Naoki menggenggam pergelangan tanganku. Aku spontan menoleh. Wajahnya merah dan tidak mau melihat kearahku.

"Itu area yang sulit untuk aku obati. Kau bisa mengobati dirimu sendiri mulai dari sini" katanya masih tidak mau melihatku

Haha~

"Loh? Kenapa? Kau bilang akan merawatku? Ayo tanggung jawab! Semua lukaku Lo, semuanya tanpa terkecuali. Aku tidak bisa mengobati luka-lukaku sendiri karena tanganku tidak bisa menjangkaunya" aku menggodanya, melihat wajahnya yang memerah sangat menghiburku.

Lalu tiba-tiba rasa pusing yang luar biasa datang menghujam kepalaku dan menyerap semua kesadaranku. Aku terkulai, sayup-sayup aku dengar suara Naoki yang panik. Setelah itu.. aku bagai ditelan sebuah kehampaan tak berujung.

Semuanya putih ..

Aku hanya bisa melihat telapak tanganku, lalu suara Isak tangis seseorang mulai terdengar.

Siapa?

Seseorang itu sedang terduduk membelakangiku tak jauh dariku, dia menangis..

Siapa?

"Niicchan?" Eh? Kenapa aku memanggilnya niicchan? Apakah dia kakakakku? Kenapa dia menangis?

Dia tetap membelakangiku, aku semakin mendekat padanya. Aku bisa melihat tanganku yang hampir menyentuhnya, dia berhenti menangis. Tanganku sudah ada di bahunya, dan sedetik sebelum dia menoleh aku tersadar.

Hal pertama yang aku lihat adalah pemandangan wajah Naoki dari bawah, dagunya yang lancip, lekuk pipinya, bulu matanya yang lentik beberapa kali berkedip melihat televisi, entah acara apa yang ia lihat. Aku hanya mendengar suara tawa dari sana. Aku.. ada di pangkuannya. Aku tidur di pangkuannya!

"Oh! Sudah sadar ya?" Dia melihatku, wajah manisnya dekat sekali.

Aku baru menyadarinya, pakaianku sudah berganti. Sebuah kaos polos hitam yang ukurannya sedikit kebesaran di tubuhku, dan celana baggie panjang yang juga kebesaran. Semua luka yang aku derita sudah dibalut dengan kasa secara sempurna. Aku yakin dia akan jadi dokter yang hebat suatu saat nanti. Senyum tipis menghiasi bibirku, dan kurasa dia menyadarinya. Wajahnya kembali memerah.

"Ara araaaa~ kau jahat sekali. Beraksi disaat aku tidak sadar ya?" Kepalaku masih di pahanya, dengan tiba-tiba dia bangun membuat kepalaku terbentur pelan permukaan sofa.

"Aku tidak bermaksud begitu, yang penting lukanya aman kan?!" Dia berdeham sedikit

"Jadi apa yang kau lihat? Hmmm?" Menggoda seorang remaja tidak pernah semenyenangkan ini

"Dengar ya! Tidak ada yang bisa aku lihat darimu. Dada rata, pantat rata, tidak ada yang menggoda sama sekali! Aku bahkan berfikir kau itu laki-laki dengan wajah perempuan!!"

Argh!! Anak ini!! Sial, aku sekarang paham maksud dari 'senjata makan tuan'. Dimana Harga diriku?!. Aku terdiam tidak bisa membalas.. aku kalah telak.

"Terimakasih telah merawatku, aku akan pergi sekarang. Suatu hari aku akan membalas Budi ini" aku bangkit dan meraih pakaianku yang dilipat rapih dan diletakkan di salah satu sofa. "Oh iya, sebentar lagi ada tamu untukmu" aku menyadari seseorang sedang berjalan mendekati pagar kayu rumah ini.

"T,tunggu setidaknya makan dulu. Aku akan buatkan makanan-"

"Bye bye" aku membuka pintu depan lalu menutupnya kambali. Aku mendengar suara derap langkah Naoki mengejarku. Tapi, saat ia membuka pintu itu bukan aku yang ada disana.

Seseorang yang tidak bisa aku temui.

"Lho?! Makoto-sensei?!" Naoki terkejut "Kau lihat seorang gadis keluar dari sini?" Wajahnya pucat

"Kau bersama seorang gadis?!"

Aku melihat mereka masuk ke dalam rumah. Tentu saja Naoki masih tidak percaya apa yang telah terjadi. Entah kenapa aku bersyukur pergi secepat mungkin, karena seseorang yang Naoki sebut Makoto-sensei itu membuatku tidak nyaman.

Setelah pertemuan ini, aku tidak menyadarinya. Bahwa ternyata takdir buruk akan datang pada Naoki tanpa permisi.

***