Sejak semalam Naoki tidak tidur, otaknya terus berpikir. Siapa gadis itu? Kenapa dia bisa tahu namanya? Lalu alarm jam weckernya berbunyi, tandanya sudah pukul 6 pagi. Naoki mendengus, entah sudah berapa puluh kali ia mendengus. Makoto-sensei akan datang pukul 8, tidak lain dan tidak bukan untuk membahas keputusan Naoki berhenti sekolah, dan itu tidaklah menyenangkan bagi Naoki.
Keputusannya sudah benar-benar tidak bisa diubah, Makoto-sensei kali ini harus menyerah berdebat dengannya. Kadang, Naoki penasaran kenapa Makoto-sensei begitu peduli dengannya. Kenapa masa depannya seakan menjadi prioritas bagi wali kelasnya itu.
Tidak pernah ada seseorang yang benar-benar peduli padanya selain sang ibu dan pamannya yang baru saja meninggal. Mereka semua penuh kepalsuan, bahkan ada beberapa yang secara terang-terangan membencinya. Ia harus berhenti sekolah apapun yang terjadi. Menjadi manusia bebas. Dan jika dokter benar dengan vonisnya, maka Naoki hanya ingin mati dengan tenang.
Hal itulah yang selalu membuatnya gusar, tentang hak asuh dirinya yang kini ada di tangan sang ayah. Kegelisahan merangsek masuk pada alam pikirnya. Jika sekarang pamannya sudah tidak ada, mau tak mau ia harus tinggal dengan ayah dan keluarga barunya. Itu bukan hal yang menyenangkan bagi Naoki.
Melihat rutinitas sebuah keluarga utuh yang 'bahagia'. Melihat bagaimana kemesraan ayah dan wanita yang bukan ibunya berlangsung setiap waktu, secara terus menerus dari dekat. Memuakkan! Pemandangan yang bertolak belakang dengan apa yang dialami ibunya. Ibunya yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
Lamunannya terus berlanjut, tiba-tiba kenangan tentang kebahagiaan bersama keluarga kecilnya berputar bagai film hitam putih yang baru saja berpindah chanel di otaknya. Sudah lama sekali... Ia mendesah pelan, berat. Bernafas bagai tercekik. Marah? bohong sekali jika ia tak marah dengan keadaan, semua baik-baik saja-setidaknya itu yang Naoki tahu. Lalu wanita itu muncul dan boom! Semua seperti sebuah kepingan yang berserakan dimana-mana.
Ibunya... hampir setiap detik, setiap hela nafasnya terfikirkan tentang ibunya. Tapi sejak sang ibu di rawat di rumah sakit jiwa, tak sekalipun Naoki menjenguknya. Lebih baik tak melihatnya, dari pada semua jadi mengganggu hatinya. Pengecut.. senyum sinis terlukis di bibirnya. Menertawai diri sendiri..
Dia meringkuk diatas tempat tidurnya, menenggelamkan wajahnya, memeluk diri sendiri dengan eratnya. Rindu... sudah sejak lama rindu itu menghujam tubuh ringkihnya, datang terus menerus seperti serbuan hujan di awal bulan Juni. Ma, mama.. tubuhnya mulai bergetar, tangisnya tak bersuara meski ia tahu tak ada siapapun dirumah itu.
Isak tangisnya yang bagai badai, tak mengijinkan ia berhenti walau hanya untuk menarik nafas. Tak mengijinkan sedikitpun semua inderanya menyadari sesuatu.
Hingga tiba-tiba tangan besar dan dingin menyentuh punggungnya, sekejap Naoki menoleh. Disana Makoto-sensei melihatnya dengan panik "Ada apa? Apa yang terjadi?" air mata Naoki masih mengalir dengan deras, seakan tidak memperbolehkannya untuk bicara. Tubuhnya masih bergetar "Ada apa?" suara Makoto hampir tak terdengar.
Naoki hanya menggeleng. Makoto berlari ke dapur dan membuatkan susu coklat hangat. Saat ia kembali ke kamar, Naoki sedang terduduk lesu. Wajahnya lusuh dan memerah, matanya sembab, dan sesekali tubuhnya berguncang karena senggukan. Makoto duduk disampingnya dan menyodorkan susu coklat hangat padanya, gelas itu sudah ada di tangannya tapi, ia sama sekali tidak melihat wajah Makoto.
"Hei.. jika tidak mau cerita tidak apa-apa, aku hanya khawatir terjadi sesuatu yang buruk padamu"
Naoki masih berusaha mengatur nafasnya, lalu pelan tapi pasti matanya yang berkilauan karena air mata yang belum sepenuhnya kering menatap Makoto "Ini sangat memalukan Makoto-sensei" dia menyesap minumannya "Jangan pernah menerobos masuk ke kamarku lagi"
Makoto hanya menghela nafasnya. Sekejap tadi pandangan Naoki menakutinya "Maafkan aku"
"Kenapa susu coklat?" naoki mendelik sambil mengangkat gelas pada makoto "Aku lebih suka mocca" dia sudah lebih baik sekarang.
"Adikku, dulu dia suka sekali susu coklat hangat. Aku selalu membuatkannya saat suasana hatinya sedang buruk. Dan itu selalu berhasil."
"Yah.. ini berhasil. Terimakasih"
"Syukurlah.." mereka berdiam cukup lama, suasana jadi begitu canggung "Aku akan menjadi walimu jika kau mau" Makoto bicara tanpa melihat Naoki. Meski sebenarnya Makoto tahu betul 70% Naoki akan menolaknya.
Beberapa menit mereka terdiam, tidak ada jawaban dari Naoki. Ia hanya menatap Makoto sebentar lalu berpikir. Mencari-cari alasan sebenarnya dari wali kelasnya itu, yang begitu peduli padanya. Memangnya apa keuntungan yang akan Makoto dapat dari mengasuh bocah merepotkan seperti dirinya?
"Sensei.. aku minta maaf. Dokter pernah berkata padaku bahwa harapan hidupku pendek, aku tidak tahu pasti kapan aku akan mati. Tapi, firasatku bilang itu tidak akan lama lagi" bukan hanya itu alasannya.
Saat kau masih memakai seragam, kau akan terus dianggap anak-anak yang butuh bimbingan orangtua. Ia ingin lepas dari hal itu. Baginya, ia lebih baik sendirian. Lagipula, untuk orang sekarat seperti dirinya sekolah sudah tidak ada artinya. Tidak ada masa depan baginya
"firasatmu itu ... yang benar saja!" Makoto mendengus
"Apa-" lamunan Naoki buyar seketika
"Doktermu bukan tuhan yang menentukan batas hidupmu, dan firasatmu itu bukanlah pertanda yang selalu benar" ada sedikit amarah pada nada bicaranya kali ini "Yang aku harapkan darimu adalah tidak putus asa, jika memang usiamu tidak cukup panjang maka lakukanlah hal-hal yang kau sukai, buat kenangan seindah mungkin dengan teman-temanmu, kejar sekuat mungkin tujuan hidupmu hingga saat kau mati nanti tidak ada penyesalan yang terjadi"
"Dokter lebih tahu apa yang mereka katakan sensei! Kau tidak mengerti. Jangan memberikan harapan kosong. Mereka lebih baik bagiku. Mereka mengatakan sebuah fakta! Bukan hanya omong kosong seperti yang sensei katakan saat ini!" Naoki tidak bisa menguasai dirinya, ia menyalak seperti anjing liar. Tangannya mengepal erat. Keinginan Naoki untuk hidup lebih besar dari yang Makoto pikirkan. Tapi, ia tidak ingin membohongi diri sendiri dengan dalih berpikiran positif.
"Aku tidak mengerti apa yang kau rasakan" Makoto menunduk "Karena itu beritahu aku! Aku tidak mengerti kenapa kau mudah sekali menyerah? Kau bahkan masih bisa menjerit-jerit sekeras ini! Kau masih bisa meneriaki gurumu. Berlari kesana kemari dengan trolli seberat 5 kilogram, kau masih bisa menertawai manga komedi yang terbit setiap Minggu, kau masih bisa memakai seragam sekolah, kau masih bisa mengobrol dengan teman sebayamu. Kau masih hidup!! Lalu apalagi yang kau risaukan? Semua orang akan mati. Aku bahkan bisa mati kapan saja. Aku bahkan bisa mati saat perjalanan pulang dari sini"
Bayangan Sagiri yang hanya bisa terlelap dalam koma membebani pundak Makoto. Ia tidak bisa mengontrol kata-katanya, mungkin saja ini akan sangat menyakiti Naoki. Ia tidak tahu. Tapi yang jelas, Makoto merasa jika ia tidak mengatakannya, ia akan menyesalinya seumur hidup.
"Tolong kuatkan dirimu Naoki! Lakukan apapun sebisamu sebelum kau mati, agar tidak ada hal yang kau sesalkan nantinya"
Mata Naoki membulat, air mata yang tadi sudah berhenti kini mengalir kembali. Kata-kata Makoto terdengar kejam tapi entah bagaimana tidak sedikitpun menyakiti hatinya. "Sensei.. mayat tidak bisa merasakan penyesalan" ia mengusap air mata sambil tertawa. Naoki yang biasanya sudah kembali.
'Syukurlah!! Syukurlah!!' Makoto tersenyum lega.
"Aku ada satu permintaan Makoto-sensei" Naoki menunduk, mencoba menata kalimat di otaknya
"Apapun, katakan saja" Makoto tersenyum
****