Tentang dia, iya dia yang berhobi kerja keras dan humoris, dia sangat suka warna hitam untuk kaos kesehariannya seakan dia tak pernah mengganti baju nya.
"Ituuuuuuu mulu."
kata Khifdza. Tapi yaa biarin aja lagian juga kalau mau di bilang gak mampu beli ya.. kebutuhan itu kan bukan cuma baju, tapi juga ada orang-orang yang kita sayang yang sedang kita perjuangkan.
Dengan harapan adanya kita, adanya usaha kerja keras kita, berharap kita mendapatkan jalan rejeki agar tak berkekurangan sandang pangan.
Dan tentu juga investasi itu perlu, bukan suatu kesombongan jika seorang meninggalkan kehidupan mewah lantaran ingin ada sisa meski sedikit uang untuk di simpan.
Kemampuan manusia itu berbeda cara, termasuk cara orang dalam berusaha menyisihkan uang, ada yang sukses sesuai rencana, ada juga yang menjadi buah simalakama, di buang sayang, enggak di buang bikin ribet.
Contoh yang mudah punya uwang untuk membeli sebuah bibit pohon anggur yang awalnya tergiur dengan iklan, berharap bahwa bibit yang di tanam akan sesuai dengan iklannya. Tapi semua itu ternyata berbeda jauh, terbalik 180 derajat, kesabaran dan usaha sudah maxsimal tapi mungkin karena keberuntungan belum berpihak, alhasil... mau di buang sayang, enggak di buang gak ada guna. Dan inilah juga yang sedang terjadi pada Khifdza.
"Capek banget Bos rasanya"
Maula yang mulai mengadu kepada Khifdza dan menunjukkan tangannya yang ada beberapa baret karena mereka sedang membersihkan lahan.
Tentu saja bukan lahan anggur, percayalah Khifdza tidak sekaya itu sampe punya kebun anggur, tapi mereka sedang membersihkan kebun kopi yang nantinya kopi hasil dari panen tersebut menjadi minimum yang menjadi menu utama di kedai miliknya.
"Iya La' tau..." kata Khifdza dengan menampol lengan Maula dan mengambil camilan yang di bawa dari rumah.
"Wooooo... Bos ini memang sangat pengertian ya.. Paling tau kau aku itu suka dengan roti isi ini." kata Maula yang sedikit memuji Khifdza
"Ngarang itu bukan aku lah yang nyiapin tapi Nenek tadi."
Maula hanya menjawab
"Oooooo..."
Dan belum lah selesai mereka makan ada seorang yang datang bahwa memberitahukan bahwa ada tamu penting yang datang ke rumah Khifdza.
"Hmmmmmmmmmmmmm..." gumam Maula yang mulai penasaran, "
"Kepanjangan itu La."
"Apa nya bos yang panjang?" tanya Maula nyeleneh.
"Hmmmmm nya itu." Khifdza menjawab.
Namun Maula justru tertawa yang dia kira yang kepanjangan itu Kopi yang dia bawa. Makanya jadi sedikit bingung bagaimana bisa kopi itu menjadi panjang dalam penglihatannya.
Mereka pun segera bergegas pulang, di tengah perjalanan Maula bertanya karena rasa penasarannya yang amat banyak.
"Bos inget gak yang waktu lalu itu?." tanya Maula merayu.
"Hmmm.." jawab Khifdza dengan terburu dan memang sedang tak terfikir tentang pertanyaan Maula.
"Kok hmm doank Bos, Bos inget kan yang waktu itu bilang bahwa bos itu punya firasat akan bertemu dengan Bidadari dalam kurun waktu yang dekat ini."
Tambah Maula menjelaskan
"Ahhh ngawur kamu mana ada bidadari yang mau ketemu gue, gue ma sadar diri La'."
Tak berapa lama mereka sampai, terlihat di depan kedai mobil yang Khifdza kenali, dia sudah tau siapakah tamu istimewa itu, tak menyangka hari ini adalah hari istimewa, kedatangan seorang tamu yang sangat di hormati oleh Khifdza.
"Halooo Khifdza apa kabar, udah lama tidak berkunjung ke tempat bapak.."
sapa pak Juki. Beliau adalah pemilik toko bunga hias dan banyak tanaman lainnya yang tersedia di lahan yang cukup luas.
"Sungguh suatu kehormatan bagi kita atas kedatangan bapak ke tempat saya, mari pak silahkan duduk, maaf membuat anda menunggu, maklum calon petani lagi belajar di kebun."
Khifdza yang begitu bergembira dengan kedatangan pak Juki sampai-sampai tak terasa begitu banyak curhatan yang keluar dari lisannya.
"Ah.. Kamu... Jangan seperti itu orang tua ini kan juga butuh jalan - jalan sesekali."
Gurau pak Juki sambil menepuk-nepuk pundaknya Khifdza.
"Iyaa pak, jangan sungkan ke tempat saya pokok nya tempat ini siap dua puluh empat jam terbuka untuk bapak."
Sementara khifdza berbincang dengan pak Juki, Maula menggantikan posisi Khifdza untuk mulai mempersiapkan segalanya untuk mengisi kedainya, di Rumah belakang Kedai dia membantu-bantu nenek dan kakeknya Khifdza.
"Kamu kenapa itu tidak kawani Khifdza di sana nak?" tanya kakek nya yang sedang ada di sampingnya Maula.
"Enggak lah kek, nanti kalau aku ikut paling aku cuma jadi vas bunga."
"Dia penyihir kah...?" tanya nenek nya yang tidak faham akan apa yang di katakan oleh Maula.
"Aaaduh... bukan gitu Kek... Nek... tapi bisa bisa saya cuma jadi pajangan."
tambah Maula ingin menjalaskan tapi paling juga hanya akan membuat tambah pusing saja. unek-uneknya susah untuk di ucapkan. nanti jika Maula berbicara banyak pasti pertanyaan pun akan tambah banyak. Akhirnya Maulapun hanya ingin diam dan seakan dia sangat sibuk karena tak bisa meladeni pertanyaan-pertanyaan dari nenek kakeknya Khifdza.
Bukanlah suatu yang aneh jika Maula belum bisa berfikir bijak dalam menyikapi kondisi kala berada di antara orang-orang tua seperti nenek dan kakeknya Khifdza, selain umur dia juga tidak terbiasa berhadapan dengan orang yang sudah tua yang harus sabar dalam menghadapinya, selain dia tidak punya kakek - nenek, Maula pun tak punya seorang ayah, namun ada kakak laki-laki yang bisa menjadi tempat berbagi pikiran terutama untuk segala kebutuhan ibunya, namun kakaknya jarang pulang karna tempat dia bekerja jauh, jadi hanya Maula yang setiap hari selalu ada untuk ibunya, memang lah usia ibunya belum tua, tapi Maula dan kakak nya tidak ingin ibunya bekerja mereka berusaha agar ibunya bahagia menjalani hidup nya. mereka tidak ingin satu-satunya orang yang mereka sayangi menyimpan beban pikiran dalam hal kebutuhan mencari uwang .
Setiap hari sang ibu hanya mengurus rumah, di samping Rumahnya ada Kolam ikan yang cukup luas dan itu warisan dari bapaknya Maula yang masih ada hingga kini, mereka bersama saling menjaganya karena itu adalah peninggalan dari orang yang mereka sayangi.
Bapak Maula sudah lama pergi menghadap yang maha kuasa, tak ada perpisahan yang indah tapi takdir... Siapa yang bisa mencegahnya, kematian itu tak bisa di tunda dan tak bisa tau apa alasannya atau di mana kah tempat nya, bapaknya Maula adalah orang yang penyayang, suami yang tanggung jawab dalam keluarganya, rela bertaruh nyawa sekalipun itu harus di lakukan demi anak-anaknya.
Tujuannya benar tapi ternyata caranya yang salah. Dari Maula kecil bapaknya bekerja jauh dari rumah, sangat jarang untuk pulang. Masa-masa paling bahagia adalah ketika mereka bisa bersama, bekerja keras demi mereka hingga apapun pekerjaannya berani di tempuhnya. Bertahun-tahun terlewati dengan baik saja, kian lama kian banyak uang yang di dapatkannya tapi kian tak jelas tempat pekerjaannya.
"Sudah pulang Pak?" sapa ibunya Maula kepada sang suami yang baru saja sampai di rumah, Maula dan Leo juga segera memeluknya dengan penuh keceriaan.
"Iya Bu Bapak sudah rindu dengan Maula dan Leo dan sekarang juga tempat kerja bapak sudah tidak terlalu jauh, jadi bisa pulang sebentar besok atau nanti sore berangkat lagi,
Bulan berganti bulan keadaan masih sama seperti itu pulang sebentar dan kembali pergi, bagi Maula dan kakak nya itu sudah hal biasa. Keseharian tanpa bersama dengan bapaknya menjadikan mereka memiliki pribadi yang mandiri, mereka bisa memahami pekerjaan ibunya dan tidak ingin menambah repot, mereka berdua belajar dan mengerjakan tugas sekolah bersama-sama.
"Bu.. Apa hari ini Bapak akan pulang?" Tanya Leo pada ibunya, karena biasanya satu minggu sekali pulang dan ibunya berkata
"Iya kak nanti Bapak pulang, mandi sana ajaklah Maula mungkin sebentar lagi Bapakmu pulang ibu mau mengangkat jemuran karena hari sudah sore"
jawab ibunya dengan penuh kasih sayang.
Tak berapa lama kemudian hal bahagia yang mereka harapkan terwujud, Bapaknya pun sampai di rumah dan keesokan harinya kembali berangkat seperti biasanya,
"Sampai ketemu minggu depan Nak, Bu.. Bapak pamit pergi ya."
begitu ucapan bapaknya lalu melangkah pergi meninggalkan Rumahnya.
Sebagai seorang istri tentulah bahagia jika suami nya memiliki pekerjaannya dengan pendapatan yang menjanjikan, percaya dan tidak memiliki kecurigaan itu baik tapi ternyata itu menjadi sebuah kesalahan lantaran melewati batas hingga menjadi ketidakpedulian hanya yang di pentingkan bisa memiliki banyak uwang, tapi semua bisa saja berubah sewaktu-waktu dari yang tak pernah pulang hingga rajin pulang ke rumah dan bisa saja waktu kembali seperti dulu lagi yang sangat susah untuk berkumpul dengan keluarga, seperti hal ini jugalah yang terjadi kepada keluarga Lifa, orang tua Afwa ( mama Lifa) sangat jarang untuk bisa bertemu dua atau tiga tahun tidak pasti bisa bersama. Hanya bisa komunikasi lewat ponsel, meski begitu mereka sudah merasa sangat cukup bahagia, yang penting semua nya sehat, selain kendala dari pekerjaan tapi juga jarak yang lumayan jauh, memerlukan waktu hingga dua hari dalam perjalanan, itu baru pengorbanan waktu bukan biaya nya, untuk keluarga lifa tak akan pernah ada yang nama nya kurang uang, tapi kalau kurang waktu, itu sudah selalu terjadi karena tuntutan dari pekerjaannya, dua hari memang waktu yang sedikit dan terkesan ringan tapi untuk mereka yang memiliki tanggungan pekerjaan yang tiap hari badan sudah lelah otak sampai putek tapi harus di jalani, waktu yang sebentar itu bisa menjadi hal yang berat tentunya.
Andai itu di ucapkan oleh seorang yang tidak ada di posisinya tentulah bukan masalah. Semua itu tinggal niat, semua itu tergantung di niat nya. meski dalam satu minggu harus di tempuh, Jika demi niat pasti terlaksana, iyaa semua itu demi niat dan yang mengatakannya adalah orang yang tidak ada di posisi sebagai mana yang harus di jalani oleh orang tua Lifa , bukan mereka melupakan demi kepentingan sendiri , mereka baik saja hanya.. Meski begitu ada saja mulut yang berbicara kanan kiri, mencari-cari keburukannya.
"Fa.. ada telfon dari Ibu, Ibu mau ngomong sama kamu sayank..."
panggil mama Lifa kepada nya, Lifa pun segera mendekat, sebutan ( ibu) adalah panggilan mama Lifa untuk ibu kandungnya sedangkan (nenek) adalah ibu dari ayahnya.
"Haloo nek apa kabar di sana?." Lifa yang mulai berbincang dengan neneknya dan dari percakapan itu seakan mereka saling merindukan, Lifa adalah cucu perempuan satu-satunya , iyaaa satu-satu nya.
"Apa kata ibu tadi?" Tanya mama Lifa kepadanya, dengan hati riang gembira Lifa menjawab.
"Katanya nenek udah kaaaaaaaaangeeeeen banget sama aku Ma jadi akhir bulan ini nenek mau ke sini katanya." jawab Lifa dengan bertambah ceria.
"Ya udah Lifa istirahat saja sana tapi Kakak belum pulang yaa Fa."
Mama Lifa yang belum lega jika Ketryn belum sampai di rumah.
"Mungkin bentar lagi Ma.. Keket pulang paling juga lagi makan di tempat pacarnya." jawab Lifa menenangkan Mamanya.
"Ah kamu, kakak itu sekarang udah sibuk banyak kerjaan di kantor. manalah sempat makan di luar. apalagi sudah malam Fa."
"Eeeh iyaa itu suara mobilnya udah kedengeran ma." mama Lifa pun segera menyusul Ketryn.
Ketryn yang turun dari mobil membawa jas dan tas kerjanya. terlihat wajahnya yang tak bisa menyembunyikan rasa lelah tubuhnya.
"Huuh... capek banget Ma..., Mama belum tidur?" Tanya ketryn.
"Belum.. sayang kalau kamu belum pulang, masih kepikiran, tumben kok sampai jam segini apa kerjaan kamu tambah banyak?"
"Enggak sich Ma.. cuma tadi ada tamu, orang dari PLN dia lagi ada demo untuk prodak terbaru nya gitu.. jadi ketambahan waktu dikit."
"Ya sudah ganti baju dulu sana, kayaknya kamu kecapean, biar Mama siapkan makanan untuk kamu."
Ketryn pun meng-iyakannya.
Seperti biasa setiap pulang dari kerja Ketryn menyapa tanaman bunganya, dia memiliki satu pohon bunga yang sangat dia sukai.
"Heeeyy pujaanku tambahin tunas-tunas barunya ya... tetep hidup ya... met malem anggrekku."
Begitulah ucapan Ketryn tiap sore dia sampe di halaman rumah sejak adanya anggrek tersebut, dan pas saat Ketryn mengusap-usap daunnya dan tangan yang satunya melonggar kan dasi yang masih rapi di kerah kemejanya, Lifa melihat dengan penuh penghayatan dalam hatinya heran sebegitunyakah! dia menyukai anggrek tersebut.
"Huuuh... untung aku memang beruntung coba aja kalau itu anggrek mati waktu ku tinggalin itu... waaaaah... mampus gue bisa jadi perkedel nasib hidup gue di tangan si Keket haaaadecch mengerikan huh."
gumam Lifa sambil mengusap dadanya yang nafasnya sedikit sesak mengingat apa yang sudah terlewati, tak menyangka Ketryn begitu amat menyayangi anggrek tersebut.
"Fa ngapain lu..? Tanya Ketryn yang merasa aneh.
"Enggak kok Ket... itu tadi." bela Lifa untuk dirinya sendiri.
Ketryn yang sudah lelah tidak mempedulikan apa yang ingin Lifa katakan, Ketryn segera bergegas ke kamarnya , sementara Lifa masih santai sendirian di sofa.
"Bibi mau kemana Bi..? Lifa bertanya kepada bibi nya yang lewat di samping nya.
"Mau panggil non Ketryn itu makanan nya udah siap. non Lifa mau ikut makan kah? biar Bibi sekalian siapkan untuk non Lifa."
"Oooo yaa sudah lah tidak usah Bi.. saya sudah makan tadi. ya sudah sana panggilah dia nanti kelaperan kasian." ucap Lifa bertutur sok bijak. dan tak lama kemudian Ketryn pun turun dan mendekati Lifa.
"Lu gak makan Fa?" tanya Ketryn sambil berjalan menuju ruang makan.
"Gak ah.. Pusing." balas Lifa
"Haha anak kecil pusing, pasti mikir harga permen yaaa?" jawaban Ketryn yang sengaja iseng padanya dan berlari untuk ngindarin lemparan bantal dari Lifa sambil tertawa. kejadian seperti ini memang sering terjadi. meski mereka sudah bukan anak-anak kecil lagi. tapi keceriaan mereka kadang hadir dalam hal semacam ini.
"Ma.... si Keket ma" Lifa yang sengaja panggil-panggil mamanya untuk mengadu. Semua mendengar dan juga Ketryn tapi itu terasa lucu saja dan hal biasa, dan seperti biasa Ayahnya lah yang datang pada Lifa
"Kenapa Fa? tanya ayah nya.
" Yah... Keket itu yang mulai, pokoknya aku gak mau besok berangkatnya sama keket, pokoknya gak mau..." adu Lifa kepada ayah nya.
"Iya iya... besok sama Ayah, tapi kalau kamu telat ayah gak nanggung ya.
Ketryn pun datang dengan tertawa melihat Lifa yang masih konyol dalam menghadapi candaan dirinya. dan menambah iseng candaannya.
"Biarin Yah.. kalau Lifa gak ikut berangkat bareng aku. biarin saja Yah. beliin Odong-Odong saja Yah. kan seru nanti Lifa sambil nyanyi hahahaha"
"Gak takut gue Ket. tuh Yah si Keket kaya gitu kan. pokoknya gue gak mau berangkat bareng dia Yah. gak mau."
"Iyaa sayang sudah. sekarang sudah malam tidur ayoo. anak Ayah yang manis besok jangan sampai telat. besok Ayah yang antar ya."
mendengar Ayahnya seperti itu Lifa puas rayuannya ampuh ternyata mampu meluluhkan Ayahnya. dalam hatinya berkata
"Yea yea gue menang."
melihat Lifa yang merasa menang Ketryn pun kesal.
"Ok.. Kalau gak mau berangkat bareng aku jalan kaki aja sono, ayah itu gak mungkin bisa jalan pagi" ucap Ketryn menegaskan dan ingin menambah gemas sikapnya Lifa, tapi justru mendengar itu Lifa jadi sangat ingin latihan nyetir mobil. Tapi dia juga tau, kapan waktunya bisa ada.
Keesokan pagi nya tak ada perubahan mereka biasa rukun, berangkat bersama, Ketryn mengantar kan ke Rule seperti biasa, ini di karenakan kampus Lifa dan tempat kerjanya Ketryn itu satu arah selain itu juga karna waktunya yang pas. Hanya saja kalau sore terkadang Lifa di jemput supir karna jam kerja Ketryn yang berbeda.
Namanya juga Kakak adiklah ya.. bentar berantem, bentar baikan. ntar baikan lagi.
sebenarnya mereka saling menyayangi. meski tak sesempurna keluarga lainnya. perubahan bisa saja terjadi karena banyak faktor. dan yang sering terjadi adalah terkadang karena kasih sayang orang tuanya yang di rasa tidak adil, hingga menimbulkan perselisihan di dalam persaudaraan.
Antara Ketryn dan Lifa memang tidak terlihat sedikitpun rupa wajahnya yang mirip. terkadang sampai sering kena ledekan dari teman kerjanya Ketryn.
"Tadi aku lihat kamu Ket di lampu merah, tapi kayaknya kamu gak sendiri dech. Ada yang duduk di sebelah kamu, siapa?" tanya rekan kerjanya Ketryn belum tau kalau Ketryn memiliki saudara perempuan.
"Adik gue. kenapa?"
"Oh adik ya? cantik tapi bisa gak ada mirip, miripnya ma kamu ya."
mendengar ucapan tekanannya yang demikian membuat Ketryn enggan untuk membalasnya. dalam benaknya kenapa juga meski repot-repot berucap sesuatu hal, jika itu tidak menyangkut dengan dirinya sedikitpun.
Boleh saja terbuka tentang keluarga. Tapi itu hanya untuk orang-orang tertentu saja.