Chereads / Lentera tak bersayap / Chapter 10 - Penunggu...

Chapter 10 - Penunggu...

Menunggu adalah hal tidak enak tapi terkadang harus. Bisa jadi karena demi kebaikan atau bisa jadi itu karena tak ada hal lain yang bisa di lakukan. Dimana ada penantian di situ ada kesabaran untuk menghadapi rintangannya. Tulisan sabar itu enteng tapi berat untuk di jalani. Apalagi yang kamu tunggu adalah sebuah kebersamaan dengan orang-orang terkasih, yang tidak bisa di sembarang waktu untuk bisa bersamanya. Sejak Afwa memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar kota bersama teman sebayanya, sejak itu pula orang tuanya Afwa sangat jarang bisa bersama, hanya dengan telfon mereka bisa saling memberi kabar.

"Heee.. Pak, Bapak, Pak.. sudah pagi Pak! ayoo siap-siap!" Ajak ibunya Afwa pada suaminya yang masih terlelap tidur.

"Emang ini jam berapa bu...?" jawab lirih suaminya sambil matanya masih tersayup belum usai dengan kantuknya.

"Jam dua Pak."

"Yaa ampun, yaa besok pagi lah, ini bapak juga baru saja bisa merem loo Bu..."

"Kita itu meski cepat Pak.. Ibu itu sudah rindu dengan Afwa dengan Lifa Pak. Sudah lama kita tidak ketemu."

"Iya Bu.. iyaa... tapi kasihan juga Pak Supir yang belum istirahat, kasihan dia juga baru tidur, semalaman bapak dan dia ngobrol Bu."

Mendengar suaminya berkata begitu ibu Afwa hanya diam tak kuasa menahan air matanya. Sudah lama dia merindukan anak dan cucunya. Sudah bahagia mendengar anaknya akan datang tapi gagal karna Lifa masuk Rumah Sakit, tambah lagi mendengar suaminya justru membela supirnya Lifa.

"Hmm.... kecewa aku pokoknya Pak kecewa...."

Ibu Afwa yang coba berdrama agar kekecewaannya terlihat.

"Iya Bu.. iya.. Bapak siap-siap dulu, tapi sudah itu air mata boyo nya gak usah di pasang, di suruh sabar kok susah."

Ucap suaminya sambil bangun dari tempat tidurnya rasa rindunya kepada Afwa sudah tak bisa lagi di tunda. Bertahun-tahun terlewati dengan penantian, dan kian membuat sesak di dada, tapi rintangan itu belum berakhir. Hingga hari ini meski hanya tinggal sedikit lagi waktu itu akan tiba, tapi terkadang yang hampir sampai itulah yang terasa lebih berat untuk terlewati. Seperti yang pernah di alami oleh Maula. Bertahun-tahun menunggu adalah hal biasa, dia bisa dengan mudah melaluinya cukup dengan menyibukkan dirinya dengan kegiatan sehari - hari, hingga waktu yang Maula rasa berat menjadi mudah untuk di lewati.

"Nak besok Bapak kalian pulang, tapi jangan tanyakan bagaimana kabarnya"

Ucap ibu Maula kepada dirinya dan kakaknya yang sedang belajar.

"Maksud Ibu apa? kenapa tidak boleh tanya kabar nya?"

Maula yang merasa ada hal yang aneh selain dari rasa hatinya yang memang gundah, dan ibunya hanya menjawab.

"Ibu juga tidak tau, tapi begitulah yang di katakan oleh Bapakmu, barusan dia telfon Nak."

Yang terfikir oleh mereka mungkin kepulangannya kali ini tidak membawa banyak uang seperti waktu-waktu lalu. Tapi itu bukanlah masalah. Tiada yang lebih Maula inginkan selain kesehatan, keselamatan hingga sampe di rumah dan menikmati waktu bersama keluarga meski hanya sebentar.

Malam pun kian larut, tapi mata Maula tidak bisa terpejam. Dia sudah sangat merindukan bapaknya. Hingga rasa dan perasaan yang memunculkan kata-kata resah mulai hadir di dalam lubuk Maula.

"Kenapa ada rasa tak enak di dalam hati ku Pak? apakah Bapak baik saja, semoga Bapak dalam keadaan baik selalu di sana"

Gumam hati Maula yang kian bertambah gundahnya. Air matanya mulai menetes, seakan waktu sedang berhenti berputar, terasa begitu lama perpindahan dari detik ke detik selanjutnya. Berkali-kali dia tengok jam tapi belum juga berpindah jarum pendeknya.

Ingin rasanya dia terlelap tidur dengan mimpi indah dan bangun dengan kebahgiaan kala ada Bapaknya yang sudah ada di depan mata nya.

"Nak... tidurlah... mimpilah yang indah Bapak berangkat kerja dulu."

Seperti ada suara seperti itu yang terdengar di telinganya Maula, sesaat setelah matanya bisa terpejam, dia pun langsung terbangun. Dengan berharap itu bukanlah mimpi, karena suaranya terdengar begitu nyata. Tapi ternyata itu hanyalah tambahan mimpinya belaka yang mungkin terjadi karena kekawatiran kepada Bapaknya. Memang Maula baru mendengar kata dari ibunya "Jangan tanyakan kabar apapun jika bapak pulang." Tapi ikatan batin antara anak dan orang tua begitu erat. Hingga meski Maula belum tau seperti apa yang sedang terjadi. Namun hatinya peka, perasaan nya mampu menyerap keadaan yang belum bisa di tebak.

Pagi pun datang, dengan seperti biasanya. Maula keluar rumah untuk menunggu bapaknya pulang.

"Kok Bapak belum pulang ya kak..?"

Tanya Maula kepada kakaknya , yang juga sedang menunggu bapak mereka, dan kakaknya hanya mengangguk terdiam. Tidak berapa lama kemudian tampak kedatangan bapaknya Maula yang mereka nantikan.

"Bu... Ibu... Bapak pulang bu..."

Ucap Maula yang memanggil-manggil ibunya yang sedang menjemur baju di belakang Rumah. Dan Maula kembali ke depan untuk menyambut Bapaknya.

Tapi kali ini banyak hal yang membuat dirinya bingung, dia melihat bapaknya berjalan dengan di dampingi orang-orang berseragam, dan tangannya di sembunyikan di belakang. tambah lagi melihat ibunya yang tiba - tiba menangis dan menanyakan apakah kejadiannya. Dengan isak tangis ibu Maula memohon-mohon agar suaminya di lepaskan. Maula hanya bisa diam dan ikut menangis melihat semuanya, tapi dia tak tau apakah yang terjadi. Tetapi dalam hatinya terasa begitu kuat adanya sebuah kepedihan. Melihat wajah bapaknya yang penuh dengan air mata. Badannya seakan lusuh lelah, tapi apalah daya seorang Maula waktu itu. Dia tidak berani mendekat karena tidak tega melihat seorang yang sangat dia sayangi ada di posisi itu. Sedangkan dia tidak bisa berbuat apa-apa . Sedangkan sudah tidak ada waktu lebih lama lagi. Orang-orang itu membawa bapaknya bersamanya. Sedangkan ibunya hanya bisa menangis tersedu-sedu. Kemudian memeluk Maula dan kakaknya, dan berkata agar mereka sabar untuk melaluinya bersama. Maula tak mengerti tapi bisa memahami bahwa mereka sedang ada di dalam masalah yang besar. Hingga bapaknya di bawa orang-orang tersebut tanpa ada yang bisa membelanya, sesak rasa di dada, kekecewaan yang sungguh tak terduga, tak ada kata yang tepat untuk melampiaskan nya, mata Maula hanya bisa terpejam mengenang masa indah yang sudah berakhir.

"Nak... kamu boleh miskin harta, tapi jangan untuk miskin moral, Bapak tidak pergi.."

Mata Maula terbuka lebar yang ternyata sudah ada bapaknya di depannya. Memang sudah tak ada waktu untuk bapaknya Maula untuk menjalani kebersamaan bersama keluarga. Ini hanyalah kebijakan dari polisi yang akan membawanya. Yang mungkin ini adalah hari terakhir untuk bisa memeluk anak-anaknya, semua tak ada yang tau hari esok akan seperti apa, semua orang pasti memiliki harapan masing - masing, dan pastilah harapan itu adalah hal yang dia senangi, sesuatu yang buat dia nyaman, dan itu juga yang pernah di perjuangkan bapaknya Maula untuk keluarganya yang tercinta. Tujuannya sangat mulia tapi cara yang dia pakai adalah sebuah kesalahan. Memiliki uang banyak membuatnya terlena , lalai dari kesadarannya, hingga dia bangga menjadi pencuri kayu yang di lindungi oleh Negara. Sesal tak ada guna, waktu tak akan kembali. Keceriaan dari wajah anak-anaknya yang dia harapkan tapi ternyata tangisan mereka yang dia dapatkan. Betapa pedih rasa melihatnya. Kini mengakui sebuah kesalahan saja tak cukup untuk mendapatkan permaafan atas semua kesalahan yang sudah terjadi. kata maaf sudah tidak lagi cukup untuk menebus dari tanggung jawabnya, bahkan kebaikan yang berpuluh tahun tak dapat menebusnya. Penyesalan kini tinggallah penyesalan yang menjadi teman kini di dalam jeruji besi. Miris rasanya untuk di kenang. Di kala waktu diamnya bukan Maula belajar menjadi sosok pendiam. Tapi itu karena dia sedang terlarut ke dalam masa lalunya.

Duduk sendirian menatap ke arah pandangan kosong, sementara pikirannya entah dimana. nafas mulai mendalam. terkadang tak mampu menahan air matanya.

"Pak bangun pak." tangisan ibunya waktu itu masih saja terngiang dalam benaknya. Suasana ramai di dalam rumahnya.

"Ada apa kenapa banyak orang yang datang ke rumah ini." dan pertanyaan itu yang terulang-ulang yang tak bisa di lupakan.

Bagi Maula itu terasa mimpi dan dia ingin segera bangun dan kembali dengan keadaan kemaren. tidak ada ungkapan yang dapat mewakili perasaannya. air matanya pun hingga mengering suaranya tak lagi berkata-kata. Pasrah menghadapi semuanya.

Hingga kini belum ada yang bisa mengobati luka kehilangan untuk Maula. hanya cara terbaik baginya setelah bernafas dalam dan mengangguk untuk dirinya sendiri. Bahwa dia harus tetap tegar menjalani semuanya. Ada seorang ibu yang harus di bahagiakannya.