Satu peleton Black Skull, berjalan dengan kompaknya menelusuri jalan beraspal layaknya sebuah parade. Kendaraan berlapis baja berlalu-lalang di sekitar markas. Roki berjalan seorang diri, sembari menenteng senjata agar dirinya tidak di curigai. Tiba-tiba seseorang memegang pundaknya, lalu dengan jantung yang berdegup kencang ia pun menoleh pada orang di belakangnya tersebut. Tampak seorang pria berbadan cungkring, berambut punk merah, mengenakan rompi anti peluru menyapanya dengan ramah.
"Yo kawan, sedang apa Divisi lima sepertimu ada disini? Bukannya seharusnya kamu menjaga penjara bawah tanah?"
"Ahh, aku di pindah tugaskan di penjara para budak. Apa kamu taudi mana penjara itu kawan?" Ucapnya dengan spontan.
"Aneh sekali, seharusnya anggota Black Skull tau seluruh tata letak lokasi bangunan di sini. Apa jangan-jangan?" sembari mendekatkan wajahnya, membuat Roki semakin berkeringat dingin.
Jari-jarinya mulai bergetar, sekujur tubuhnya mulai berkeringat dingin. Sepetinya ia tau identitas aslinya di balik topeng. Sebisa mungkin ia tidak ingin beradu tembak, setidaknya selama pencarian. Apalagi, terdapat banyak sekali kendaraan lapis baja serta peralatan canggih yang ia tidak ketahui. Itulah yang ia pikirkan sejak tadi.
"Jangan-jangan kamu baru disini," ujarnya melanjutkan perkataannya.
"Iya, saya baru disini."
"Sel budak berada tiga blok disini," sembari menunjuk.
"Oh disitu, terimakasih."
Akhirnya ia terbebas, kini dia bisa bernafas lega setidaknya untuk saat ini. Helicopter beserta pesawat canggih yang belum ia lihat melintas di angkasa. Dia pun terkagum-kagum saat melihatnya. Profesor Xenom menegurnya, agar dirinya kembali fokus pada misi penyelamatan. Tak berlangsung lama, tiga buah truck memasuki tempat di mana Angela di kurung. Secara perlahan-lahan, ia menyusup masuk untuk masuk ke dalam.
Sementara itu di dalam sel penjara, Angela hanya duduk sembari memeluk kedua lututnya. Berbeda dengan Roki, gadis kecil berambut pink itu di temani dengan dua gadis sepantar dengannya dan juga sebuah keluarga. Mereka semua di rantai seperti halnya anjing liar, raut wajah keputusasaan terlihat di raut wajah mereka. Sedangkan gadis kecil itu, menatap keluar sembari memohon keajaiban pada Sang Pencipta. Para penjaga, memukul-mukul tiang sel satu persatu sembari menatap penghuni sel dengan hina.
"Apa yang sedang kamu lihat?" tanya Viona teman satu sel, berumur sepantar dengannya.
"Menunggu pertolongan," jawabnya.
"Percuma, dari pada kamu berharap tidak pasti lebih baik siapkan mentalmu," sambung pria brewok dengan tubuh kurus kering.
"Tidak! Aku akan terus menunggu, kuyakin Kak Roki sedang datang kemari untuk menyelamatkan kita!"
"Roki? Apa dia kakakmu?" tanya Xenia, gadis beramput pirang panjang sebahu.
"Iya dia kakak tiriku, sekaligus pangeranku. Dia adalah salah satu anggota pasukan pembebasan."
"Tidak mungkin! Berhentilah bercanda, pasukan pembebasan sudah binasah. Tidak ada satu pun dari mereka yang selamat kecuali kakek psikopat itu!" kata wanita berusia 35 tahun, dengan rambut dan penampilannya yang acak-acakkan.
"Sudahlah kalian semua berhentilah berdebat, seperti kataku barusan lebih baik siapkan mental kalian karena sebentar lagi kehidupan sebenarnya telah menanti.
Gadis kecil itu tidak memperdulikan perkataanya, ia terus menanti dan menanti akan datangnya seorang pangeran yang akan menyelamatkannya. Lima jam telah berlalu, namun bantuan tak kunjung datang. Perutnya mulai keroncongan, serta rasa mulas mulai ia rasakan. Rasanya dia ingin mengeluarkan semua beban yang ada di dalam perutnya. Namun sayang, tidak ada kamar mandi atau suatu tempat yang layak.
Xenia, gadis berambut pirang pun bertanya dengan apa yang ia rasakan. Kemudian Angela pun menjawab, mengenai panggilan alam yang harus ia penuhi. Gadis berambut pirang menunjuk ke sudut ruangan, lalu menyuruhnya untuk menuntaskannya di sana. Mau tidak mau ia harus melakukannya, jika tidak maka itu akan sangat menyiksa bagi dirinya.
Aroma tak sedap mulai tercium, setiap kali ia melangkah semakin dekat dengan tempat tersebut. Gadis itu berkaca-kaca menahan rasa sedih tak bisa di bendung lagi. Kemudian dia mengusap air matanya, lalu berjongkok untuk menuntaskannya. Setelah itu, ia meminta maaf pada para penghuni satu sel. Mereka hanya tersenyum, lalu berkata bahwa aroma busuk serta segala hal menjijikan di dunia ini sudah menjadi sarapan sehari-hari.
Dari pada menjadi santapan para zombie, lebih baik mereka pasrah akan keadaan. Setidaknya dengan menjadi budak, kebutuhan perut terpenuhi walau hanya sepotong roti. Pintu sel secara serentak pun terbuka, kedua penjaga mengenakan topeng berjalan sembari menenteng senjata, lalu memerintahkan mereka semua untuk berbaris.
"Sepertinya sebentar lagi kita berpisah," kata Viona.
"Berpisah? Bukannya kita satu mobil yang sama?"
"Iya, tapi setelah ini kita akan di jebloskan pasar budak ilegal. Andaikan aku bisa bertemu dengan kakakku untuk terakhir kalinya." Jawabnya sembari melirik menatap sedih.
"Kalau boleh tau, siapa nama kakakmu?"
"Steve Verhesin."
"Apa?!"
"Angela kamu mengenal kakakku?!"
"Jangan banyak bicara dasar budak, cepat jalan!" kata salah satu penjaga, lalu menampar punggungnya dengan cukup keras.
Satu persatu dari mereka di pasang borgol, lalu mereka berjalan secara perlahan menaiki truck. Sampai sekarang Roki belum terlihat, tanpa sadar Angela mulai meneteskan air mata. Angela menangis histeris, sembari menyebut nama Roki secara berulang-ulang. Viona mengusap punggungnya, secara perlahan sembari menenangkannya. Sebelum berangkat, salah satu penjaga meminta Angela untuk turun lalu ia duduk kursi depan tepat di samping Sang Supir.
Setelah itu penjaga tersebut, berjalan masuk ke dalam truck untuk mengemudikan truck belakang. Kedua truck itu berjalan secara perlahan, kedua supir melambaikan tangan kepada sesama anggota Black Skull. Kini kedua truck itu sampai di gerbang, lalu lima penjaga gerbang melakukan pengecekkan berkala pada Sang Supir serta kedua truck tersebut. Lima belas menit telah usai, selesai pengecekkan kedua truck pun melaju dengan cepat.
Para zombie sejak tadi memukul-mukul dinding, mulai mengejar dua truck yang Angela tumpangi. Namun laju truck yang sangat cepat, membuat para zombie tak bisa mengejarnya. Secara serentak, seluruh borgol yang terpasang mulai terbuka. Namun raut wajah mereka semua, tetap tanpa ekspresi. Angela semakin menangis histeris, dan suara tangisan semakin kencang.
"Kak Roki! Kakak di mana! Angela takut kak!"
"He.he.he merindukanku?" kata Roki sembari membuka topengnya, lalu ia tersenyum manis kepadanya.
Tangisannya telah berhenti, berganti dengan kebahagiaan lalu ia langsung memeluk Roki dengan sangat erat. Pelukkannya secara tiba-tiba, membuat kemudi sempat kehilangan kendali. Angela melepas pelukkannya dan laju truck kembali stabil. Suara alarm terdengar nyaring, ia melirik pada kaca spion lalu Roki menekan sebuah tombol pemicu berbentung tabung kecil.
Boom!
Lima bangunan penting beserta dinding hancur lebur. Para budak duduk di kursi belakang, menoleh ke belakang menyaksikan markas Black Skull sudah menjadi lautan api. Roki pun tertawa terbahak-bahak sembari mengacungkan jari tengah ke luar jendela menghadap markas yang sudah porak poranda. Dendam yang selama ini ia pendam dalam penjara telah terbalas.
Setidaknya untuk sekarang, hari esok dan seterusnya ia tidak tau apakah para Black Skull akan menuntut balas. Apapun itu dia siap untuk membantai mereka jika para Black Skull muncul di hadapannya.