Waktu tak pernah mau tahu seberapa lama rasa itu berkumpul menjadi satu. Berpadu dalam deru rindu yang kerap merayu. Tunjukkan ... buktikan kalau kamu memang menyukainya. Tunjukkan ... buktikan kalau kamu pantas menjadi pendampingnya. Setiap hari bisikan itu mengusik telinga. Suara-suara aneh yang datangnya sebenarnya dari dada. Kecamuk rasa yang bermuara pada kegundahan. Was-was saat tak bisa melihatnya. Sebuah getar hangat, saat ia ... jatuh cinta.
***
Riza tak perlu menampakkan batang hidungnya. Cukup dari bilik bengkel seni miliknya mengamati setiap hari gadis pujaannya. Antara pukul tiga hingga setengah empat sore. Yang pasti jika Riza tidak melihat gadis itu melewati bengkel seni, gadis pujaannya sedang membawa motor sendiri. Ia sangat tak suka saat hal itu terjadi, karena ia tak bisa mencurahkan perasaanya dan mengabadikan pertemuan sepihak mereka dalam kanvas besar.
Bukan, bukan wajah gadis itu yang manis dengan bibir tipis. Bukan juga penampilannya dengan seragam abu-abu beserta kerudung putih. Riza menggambarnya menjadi sebuah bunga. Bunga yang selalu indah dipandang oleh siapa saja. Tak terkecuali ia yang senantiasa berdiri jauh. Entah berapa banyak macam kombinasi warna yang disapukan, setiap kali Riza berhasil melihat senyum gadis itu.
"Kemarin warna ungu, sekarang gradasi biru. Besok apa lagi, Kak?" Renata selalu heran dengan kebiasaan kakaknya.
"Kalau perlu semua warna." Riza menyapu kembali kanvas dengan kuas.
"Kakak mau koleksi bunga ini? Kenapa gak ditanam aja?" Renata masih terlalu lugu. Ia belum tahu jika kakaknya yang bobi melukis sedang jatuh cinta.
"Ya. Besok Kakak beli. Mau ke mana?"
"Ke tempat Mahira, ngerjain tugas."
Mendengar nama itu membuat jantung Riza berdegup lebih kencang. "Kok gak di tempat kita aja? Kenapa kamu terus yang ke sana?"
"Males lah, berantakan. Yang ada malah belajar ngegambar." Renata keluar dari bengkel seni.
Riza belum juga menitip pesan untuknya. Tidak, ia tidak mungkin menitip pesan untuk Mahira. Tak bisa semudah dan senyaman itu. Mahira seumuran Renata. Bisa dibayangkan betapa anehnya pria dewasa yang belum pernah kedapatan berpacaran tiba-tiba mengungkapkan rasa. Yang ada ia hanya akan ditertawakan.
Waktu Riza dihabiskan penuh di bengkel seni itu. Keluar jika ada job melukis dinding sekolah atau rumah orang. Selebihnya, lukisan-lukisan itu ia jual online. Bengkel seni di sebuah pinggiran kota belum begitu diminati, jadi ia tidak berbangga diri. Mahira namanya. Sejak lama Riza menaruh perhatian pada gadis itu saat Mahira masih berseragam SD. Hanya saja saat Mahira mulai melewati masa-masa SMA, ia harus selalu siap menerima kabar buruk terus menerus. Kabar yang selalu membuat dadanya bergemuruh.
***
Sore hari Renata kembali ke rumah menenteng keresek bening.
"Dapat makanan lagi?" tanya Riza saat adik kesayangannya menaruh pisang goreng di piring.
"Iya Kak, traktiran." Renata tersenyum. "Habis jadian ama ketua Osis baru." Renata selalu menceritakan apa saja tentang sahabat-sahabatnya, terlebih Mahira.
"Kamu jadian ama ketua Osis?"
"Bukan aku, Kak. Mahira, Mahira yang habis jadian. Dia tuh, populer, gak kaya aku." Renata terkesan cemburu dirinya kalah populer.
"Populer kayak gitu kok seneng. Bilangin ama Mahira gak usah pacar-pacaran mulu. Ujungnya juga patah hati terus kan, dia?" Terakhir kali Mahira belum lama putus dengan kekasih yang katanya atlit basket.
"Loh, kok Kakak tahu?" Renata melahap pisang goreng, ia santai sekali duduk di sofa ruang tamu kami.
"Kan, kamu cerita terus. Lupa kalau Kakak udah kaya tong sampah buat kamu?" Riza mengambil juga pisang di piring. Menggigitnya keras. Seolah sedang memakan karet. Kesal, hatinya jengkel.
"Haha. Iya, aku cerita terus ya ama Kakak."
"Habis SMA mau kuliah ke mana tuh si Mahira?" Setiap kali Renata membuka cerita tentang Mahira, Riza gencar mencari informasi.
"Ehm ... kayaknya sih gak kuliah. Dia bilang kalau ada yang serius, mau langsung nikah aja. Kuliah, pusing katanya."
"Serius?"
"Iya, Kak. Kalau gak percaya tanya aja sendiri." Riza tak meneruskan pertanyaannya. Bahaya jika Renata curiga.
"Ini anak ibu pada ngapain, ya? Asik banget ngobrolnya." Rosita yang selesai menyiapkan makan malam bergabung.
"Ini kak Riza, nanyain Mahira terus tiap Rena habis ke sana." Renata nyerocos saja mulutnya.
"Mahira putrinya Bu Saras?" Rosita menanyakan itu pada Riza, bukan pada Renata.
"Iya Buk. Naksir kali ya, Kak Riza. Beneran, nih?" Menyadari hal itu raut wajah Renata berubah.
"Apaan sih pada ngelantur. Emang kamu mau Ren, nikah beda usia sepuluh tahun?"
"Nggak lah Kak. Ogah." Renata menjulurkan lidahnya.
"Nah, tuh paham." Riza menutupi rasa yang semakin hari semakin menjadi.
Rosita mengukir senyum di bibirnya. Seolah tahu saja putranya memang memendam rasa pada Mahira.
"Siapa tahu Mahira mau, Za. Kalau beneran suka nanti Ibu sampein. Biar kamu gak fokus ngelukis mulu."
Kumandang adzan isya terdengar. Membuat Riza lolos dari kecanggungan di keluarga. Ia tidak bisa menutupi rasa antusiasnya atas ucapan Rosita. Benarkah Ibunya mengizinkan? Riza pun menyingkir dari obrolan keluarganya. Secepat mungkin mengambil air wudhu. Meraih sarung dan kopyah di lemari kamar, berlari kecil mengejar iqamah.
"Tidak boleh terlambat masuk masjidnya, biar semua doa diijabah segera," batin Riza.
***
Pagi hari Riza dibuat salah tingkah dengan pemandangan di depan rumah. Mahira beserta motor revonya terparkir di halaman depan. Ia sudah rapi sekali dengan tas gendong yang cukup besar. Mungkin jika lelaki lain, sudah pasti akan menyapa dan basa basi sambil menunggu Renata keluar. Sayangnya Riza tidak bisa melakukan itu. Melihat Mahira saja membuatnya gugup tak keruan. Bahkan selang air yang sedang ia gunakan untuk menyiram tanaman, dibiarkan mengucur begitu saja. Tidak tepat sasaran.
Renata menepuk lengan Riza lalu berpamitan.
Dari jarak cukup dekat Mahira tersenyum padanya. Gadis itu mengangguk, lalu naik motor bersama adiknya. Tanpa pernah menyadari sudah menebar pesona pada pria yang seharusnya sudah menikah dan mempunyai anak. Segera mungkin Riza mematikan selang. Berpindah ke bengkel seni, meraih cat warna dan kuas. Ia harus mengekspresikan pertemuan mereka.
"Seperti warna yang tersapu oleh kuasku. Berpadu indah menghidupkan sketsa bunga. Memberi nyawa pada setiap sapuan, menjadi sebuah karya berharga nan langka. Begitulah, caraku mencintaimu."
Riza menulis pesan cinta di bagian bawah lukisan bunga yang kemarin belum tuntas. Lukisan itu bukti kekagumannya pada Mahira. Bukti bahwa ia ingin memilikinya dengan cara tak biasa. Cintanya tidak diumbar seperti lelaki kebanyakan. Satu kata cinta pun belum pernah ia utarakan pada perempuan. Sejak awal Riza bertekad menjadikan Mahira satu-satunya cinta yang ia punya. Serapi mungkin menyimpam perasaan itu, menunggu usia gadis itu cukup untuk dijadikan istri.