Lagi keduanya hanya saling diam. Biasanya Mahira tipe memimpin pembicaraan. Namun, saat bersama Riza ia kehabisan kata. Gaya kaku serta kuno laki-laki itu membuat mereka menghadapi sebuah permasalahan yang terpampang nyata. Perbedaan usia juga persepsi yang pasti akan berbeda sekali. Diam dan canggung itu pun pecah saat Riza membuka topik pembicaraan.
"Rencana mau kuliah apa gak?" Mahira menoleh.
"Gak salah?"
"Maksudnya?"
"Kamu gak salah nanya kayak gitu? Udah jelas kan kalau kita itu dijodohkan. Itu artinya kita akan menikah." Sekali dipancing, Mahira bisa mengeluarkan lebih banyak kata dibanding Riza. Perempuan memang seperti itu.
"Iya. Maksudku setelah menjadi istriku." Riza merasa pertanyaannya kurang tepat.
"Oh, dibiayai suami?" Riza mengangguk. Jika memang Mahira ingin, ia tak akan menghalangi. Ia bahkan siap untuk membiayai.
Mahira mengulas senyum. "Hmmm. Aku lebih baik menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita karier. Aku tidak bisa mengambil keduanya. Saat sebuah kabar tentang perjodohan ini tersiar, aku sudah memutuskan tidak untuk melanjutkan kuliah. Itu artinya aku akan menjadi ibu rumah tangga saja."
Riza mengangguk. Ia begitu terpesona dengan pendapat Mahira. Memilih gadis itu untuk menajadi istri bukan suatu keputusan yang keliru. "Seandainya ada kesempatan mengambil keduanya apa kamu tidak mau?"
Dengan cepat Mahira mengangguk. "Ya. Aku tidak mau. Kalau memang mau kuliah aku maunya tanpa menikah. Tapi itu tidak mungkin akan terjadi."
Mahira mencoba menunjukkan bagaimana perasaannya sebenarnya. Ia memang belum kenal dengan Riza. Ia bahkan belum bisa memutuskan untuk jatuh cinta. Namun, tanggal pernikahan sudah ditentukan. Sebuah perasaan aneh hinggap di hati Riza. Salahkan ia meminang gadis belia ini? Mahira menyadari Riza sedikit terbebani. Gadis itu pun menatap lurus ke arah bendungan.
"Dunia itu luas. Begitu juga perasaan manusia. Aku yakin meski hari ini aku belum sepenuhnya paham perihal perjodohan ini, aku tetap tak bisa membantahnya. Aku tidak mau ada yang tersakiti. Terlebih, Kakak yang katanya sudah memendam lama cinta untukku. Jujur aku tidak yakin dengan jalan ini."
Riza melakukan hal yang sama. Menatap lurus bendungan itu. Ia yakin jika bahagia yang ia tuju hanyalah bersama Mahira. Ia juga optimis gadis itu akan bisa menerima. "Pelan-pelan dan perlahan. Perlahan kita saling mengenal juga saling sayang. Aku percaya cinta yang halal jauh akan lebih menentramkan."
Mahira beralih menatap lai-laki di sampingnya. Rahangnya tampak mengeras dengan hidung mancung. Matanya juga tajam. "Apa bisa?"
Riza mengangguk. "Aku janji untuk itu."
Mahira masih menatap laki-laki yang dalam satu bulan ke depan akan menjadi suaminya. Ia terus meyakinkan diri sembari menyangkal perjodohan ini. Sadar sedang diperhatikan, Riza menoleh. Keduanya beradu pandang dengan begitu syahdu. Mata Riza lekat menatap paras ayu Mahira.
"Buka sedikit hatimu. Aku akan masuk dengan perlahan. Tidak terburu-buru dan tetap membuatmu nyaman. Aku tahu apa harapan terbesarmu, Mahira. Segera menikah jika ada yang menghitbahnya. Betul, bukan?" Mata Riza mengerjap. Ia teramat senang berhasil mengungkapkan perasaannya.
Mahira mengulas senyum tipis. Laki-laki di depannya begitu polos. "Kata siapa?"
"Renata. Renata yang bilang begitu." Riza masih sangat yakin dengan ucapan Renata.
Mahira terkekeh. "Dasar gadis itu." Segera Mahira memalingkan wajah. Kembali menatap bendungan yang luas. Seluas itu perasaan manusia. Sampai tak ada yang bisa menebak seperti apa sebenarnya yang dirasa.
"Masih ada waktu. Kita masih bisa melakukan pendekatan, bukan?" Riza terus mengalirkan kata. Ia tak mau kehilangan kesempatan.
Mahira bangkir dari posisi duduknya. Ia semakin mendekat ke ujung tanggul. Tatapannya masih lurus ke depan.
"Oke. Kita coba," jawabnya seraya menyunggingkan senyum. Lagi jantung Riza berdegup kencanng. Semenyenangkan ini jatuh cinta tak sepihak. Keduanya memandang lurus panorama.
***
Renata terus membuka akun instagramnya. Berharap ada sebuah story yang dibuat oleh Mahira. Gadis cantik itu sangat penasaran ke mana kakaknya dan sahabatnya kencan. Meski mendesak, kakaknya tak membocorkan. Renata terus mengingat seperti apa gaya pacaran Mahira saat di sekolah. Sahabatnya itu sangat populer.
"Kenapa harus dia, sih? Kaya gak ada orang lain aja?" tanyanya seroang diri. Ia geram dengan pikiran buruk yang melintas di kepala. Bantal sofa pun ia lemparkan hingga jatuh ke lantai.
"Duh, duh, duh, duh. Bisa rusak ini bantal ibu." Rosita berdiri di belakang putrinya. Ia mengamati aksi melempar bantal tadi.
"Eh, Ibu. Lagi latian lempar lembing, Bu." Renata pun memungut bantal itu.
"Ada apa? Kenapa begitu? Kamu kesal sama Kakak?" Bukan seorang ibu namanya jika tidak tahu kondisi putra putrinya. Rosita dengan mudah mengenali sikap kedua anaknya.
"Dari mana Ibu tahu?" Renata memandang aneh pada ibunya yang mirip cenayang.
"Tertulis jelas di wajah. Kamu bisa kan nerima Mahira? Lagian dia juga lebih tua beberapa hari dari kamu. Gak apa-apa kalau nanti panggil Kak." Rosita mengusap lengan putrinya.
"Mau sama siapa aja sebenarnya Rena gak maasalah, Bu. Tapi, kenapa harus Mahira?" tanya gadis itu dengan wajah yang memelas.
"Memangnya kenapa?" Rosita justru berbalik bertanya.
Bisa saja Renata mengungkapkan semua. Tentang Mahira yang populer dan playgirl. Namun, ibunya memiliki penilaian sendiri terhadap seseorang. Perempuan itu tidak akan mudah menganggap orang lain buruk hanya karena ucapan satu orang saja. Lagian, baginya Mahira masih sangat muda. Ia masih bisa menanamkan pendidikan karakter pada calon menantunya itu.
"Dari pada diem aja di depan TV, bantuin Ibu masak, yuk. Nanti biar pas kakakmu pulang ada makanan." Rosita merayu putrinya. Ia ingin gadis itu juga paham tentang bagaimana tugas seorang perempuan.
Renata menatap lekat wajah teduh ibunya. Ia jelas tak bisa menyakiti wanita itu. Mulai detik itu, Renata tak lagi ingin memusingkan tentang Mahira. Ia hanya perlu membuka hati untuk menerima kehadiran sahabatnya di rumah itu satu bulan lagi. Renata mengangguk mantap. Ia pun turun dari sofa itu, lalu melangkah ke arah dapur. Sengaja mendahului ibunya.
"Bisakah Mahira berubah? Bisakah gadis itu menyesuaikan diri?" Pikiran Renata masih terfokus pada Mahira Maritza. Ia tak yakin dengan sahabatnya sendiri. Terlebih belum lama ia juga tahu kalau Mahira masih punya pacar. Apakah hubungan keduanya berakhir jika Mahira menikah? Atau gadis ayu itu akan mengambil keduanya dan menjaga dalam jarak aman. Rosita menepuk punggung Renata.
"Ngalangin jalan, Nak."
"He, iya, Bu." Renata pun kembali melangkah. Ia menyimpan resah terkait hubungan kakaknya dan sahabatnya. Pikiran gadis itu terbagi.
Rosita mengeluarkan bahan-bahan hasil foodpreparation-nya dari kulkas. Ia tipe ibu rumah tangga yang belanja satu minggu sekali. Daftar menu juga biasanya sudah ia susun.
"Masak daging, Bu?" tanya Renata saat membantu membuka wadah berwarna ungu itu.
"Iya. Nanti biar Mahira makan di sini. Nyobain masakan Ibu." Rosita sangat antusias. Ia jelas sudah ingin memiliki menantu.
Perlahan Renata melepaskan tangannya dari wadah itu. Ia berubah malas. "Sesenang itu, Bu, tahu kak Riza berkencan?"
"Tentu, Nak. Ibu sudah ingin ada anak mantu di rumah ini." Mendengar jawaban ibunya membuat Renata kesal. Ia meletakkan daging itu sembarangan. Ia bersiap beranjak dari dapur.
"Rena lupa ada janji sama temen, Bu. Rena keluar dulu," ucapnya seraya meninggalkan ibunya.
"Loh, Ren. Gak jadi bantu Ibu masak?" Rosita tak bisa mengejar putrinya. Irisan bawang di talenan memintanya untuk segera diselesaikan. Perempuan paru baya itu menghela napas. Ia memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Termasuk menjelaskan banyak hal pada putri cantiknya.