Satu bulan setelah kelulusan Mahira Riza menghitbah Mahira tanpa kencan dan pendekatan. Lewat perantara Sari, teman SMA-nya yang juga saudara Mahira. Sengaja ia titipkan lukisan bunga teratai yang ia lukis dulu. Riza memilih tanaman air itu sebagai lambang cintanya. Layaknya orang Bangladesh yang menganggap teratai sebagai kesucian cinta.
"Kakak, Kakak beneran mau ngelamar, Mahira?" tanya Renata setelah mendengar desas desus yang beredar di lingkungannya. Ucapan Renata tentang Mahira benar adanya, ia menerima lelaki yang serius ingin menikahinya.
"Sama sekali gak bercanda, Kak?" Renata terus membuntuti Riza yang mencoba menghindari adiknya. Dengan santai Riza terus memindahkan satu per satu lukisan yang sudah dipesan. Ia melihat Renata pun tidak.
"Kakak!" pekik Renata. Hatinya dongkol karena diabaikan.
"Tidak perlu teriak-teriak. Kedengeran sama tetangga." Rosita datang dari ruang lain di rumah itu. Ia memang sudah berencana membahas dengan putrinya.
"Tapi, Buk. Mahira itu teman Rena, satu kelas satu bangku. Masa iya Mahira jadi kakak Rena, sih. Gimana perasaan Rena?" Perempuan muda itu terus berpikir.Ia tak bisa dengan mudah menerima kenyataan ini.
"Duduk." Mata Rosita mengarah pada kursi tunggu di bengkel seni milik Riza. "Kalian berdua!" imbuhnya. Riza yang memang mencoba cuek pun akhirnya menghentikan akrivitas memilah lukisan. Sembari mengembuskan napas kasar ia menuruti perintah ibunya.
"Dengarkan baik-baik. Tidak perlu ada perasaan tidak nyaman seperti itu. Mau kalian seumuran kalau Mahira memang mau menerima kakak kamu, kamu tidak bisa egois. Memang keluarga Mahira belum memberi jawaban akan tanggal pernikahan, tapi mereka sudah menerima lamaran dari Ibu." Rosita mencoba menjelaskan pada putrinya. Salahnya juga tidak melibatkan Renata sama sekali.
"Terus beneran bakal nikah, Bu?" Renata masih tak yakin saja dengan ucapan ibunya. Rosita menatap lurus pada Riza yang hanya diam saja.
"Beri penjelasan, Kak." Riza menarik napas dalam. Ia memang tak siap menjelaskan perasaannya pada Renata.
"Setiap hari kamu cerita soal Mahira, dada kakak bergemuruh. Entah karena memang cerita kamu yang seru atau karena karakter Mahira yang sangat unik bagi Kakak. Pastinya dimulai kapan, Kakak tidak paham. Tapi salah satu alasan Kakak tetap melajang di usia yang kepala tiga ini, ya, karena kakak nungguin Mahira." Riza merasa tak yakin penjelasannya bisa diterima. Ia bahkan jika harus membuat jarak dengan adik semata wayangnya itu, ia sudah sangat siap.
"Lukisan itu? Apa pelampiasan Kakak selama ini?" Mata Renata mengarah pada satu lukisan yang memang sangat berharga bagi Riza. Ia sudah berniat menunjukkan pada Mahira saat nanti Mahira sampai di bengkel seni ini. Riza hanya mengangguk.
"Ikhlas ya, Dik," ucap Rosita. Ia tahu betul putrinya itu sangat sayang dengan kakaknya. Renata tampak menimbang sejenak ucapan ibunya.
"Oke. Tapi Rena gak akan panggil Mahira Kakak. Dia tuh, soulmate aku, karib aku dna play girl kesayanganku." Renata mensedekapkan tangan. Ia tak pernah mau kalah dengan siapa pun.
"Oke, oke. Deal." Riza yang memang malas memperpanjang urusan mengikuti kemauan adiknya. Ia pun berdir, bersiap mempacking lukisan lain lagi.
Renata berlalu meninggalkan bengkel seni itu. Ia memikirkan banyak hal yang tidak mungkin bisa diungkapkan. Rosita tersenyum mendapati kedua anaknya memiliki karakter yang sangat berbeda. Ia juga bersiap pergi dari ruangan itu.
"Luar kota, Za?" Mata Rosita mengarah pada packing kayu yang Riza siapkan.
"Iya, Bu. Tiga sekaligus."
"Wah, bisa buat tambahan Mahar, tuh. Berapa total?" Rosita yang biasanya tak mau tau tergelitik dengan jawaban Riza.
"Ada lah. Cari aja di internet." Riza pun melewati ibunya. Dengan telaten mengemas lukisan-lukisan itu. Rosita hanya tersenyum. Ia tak mau menganggu putranya. Memilih melakukan aktivitas lain jauh lebih bijak.
***
"Riza, anaknya Rosita?" Tampak jelas mata Saras mengerjap saat mendengar nama pensiunan polwan itu. Sari yang merupakan keponakannya membawa kabar penting untuknya dan keluarga kecil itu.
"Iya, Mbak. Mas Riza yang bisa ngelukis. Yang satu kelas sama aku waktu SMP."
"Ah, yang bener. Salah paling kamu, Sar. Dia bukan suka sama Mahira tapi sama temen kamu paling."
"Nggak, Mbak. Sari dah konfirmasi. Emang Mas Riza gak pernah mau pacaran tuh karena ternyata suka sama Mahira. Makanya dia nunggu ampe Mahira lulus."
"Ya, ya, ya. Nanti biar aku kasih tahu Mahira." Saras berbicara dengan sangat nyaman. Tak tahu dari kamar di samping ruangan itu putrinya bisa mendengarkan dengan sangat jelas. Sudah pasti nasibnya ada di tangan ibunya sendiri.
Ruangan berukuran empat kali empat meter itu cukup membuatnya betah. Ia akan sangat senang saat waktu liburnya tiba. Bebas melakukan apa saja tanpa diketahui siapa pun orang di dunia ini. Ia sangat senang tinggal di kamar itu. Tak tahu jika sebentar lagi kehidupan dan kebiasaannya akan berubah. Mahira menatap gambar dirinya di cermin. Ia sudah bukan hal baru, di keluarganya restu ibu adalah sebuah kemutlakan. Mahira Maritza yang memang satu-satunya putri di keluarga itu hanya bisa pasrah.
"Ra, Mahira. Sini, Nak," panggil Saras dari ruangan itu. Dengan suara yang bergetar Mahira menjawab seruan itu. Ia melangkah keluar dari kamar yang membuatnya nyaman.
Bola matanya tak bisa berhenti mengagumi lukisan yang dibawakan Sari. Benar-benar sebuah maha karya yang sangat indah. Paduan warna yang disapukan oleh sang pelukis membuat karya itu sangat sempurna. Bunga mawar biru dengan vas di bawahnya tampak sangat menakjubkan.
"Baru lihat lukisannya udah menganga, gimana orangnya, Ra." Sari memetikan jarinya di depan mata Mahira.
"Serius bagus banget, Mbak." Mahira tak bisa berhenti berdecak kagum. Ia bahkan tidak mengindahkan tatapan ibunya.
"Itu buat kamu. Hadiah pertama dari orang yang mencintai kamu." Saras dengan gaya khas tegasnya membuka obrolan penting untuk putrinya. Mahira tahu, tak akan ada lagi opsi untuk pergi dari restu itu.
"Oh, aku kira ini punya Ibu." Mahira mengenyakkan diri di kursi sofa berwarna hijau tua itu.
"Bukan, itu bukan punya ibu kamu. Itu buat kamu Mahira. Ah, ya. Ada titipan juga." Sari mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop berwarna biru muda dengan ornamen titik-titik hujan. "Dari Riza Raikana. Kakaknya Renata." Senyum Sari mengembang. Begitu juga dengan Saras. Mahira menjulurkan tangan. Menerima surat itu dengan tatapan aneh tak terdefinisikan. Ia tak mengerti. Di zaman serba teknologi seperti sekarang masih ada yang melakukan pendekatan dengan melalui surat. Tangan Mahira bersiap membuka amplop itu.
"Halah, halah, Mbok ya di kamar, Mahira. Jangan depan Ibu kamu begitu." Sari mengingatkan keponakannya. Mahira mengulum senyum. Surat itu ia letakkan dalam saku celananya. Tatapan matanya tak henti pada lukisan bunga mawar biru yang begitu mengusik kalbu.
"Haruskah kuterima?" desisnya dalam hati.