Bisa dibilang pagi ini adalah pagi yang sangat mendebarkan bagi Riza setelah sekian lama dia hidup di dunia. Belum pernah ia segugup itu memilih baju terbaik di lemarinya. Mendapati balasan pesan Mahira yang setuju untuk betemu, membuatnya melambung. Tubuhnya sangat ringan.
"Biasa aja, woy! Mentang-mentang kencan pertama!" Renata berdiri di gawang pintu yang terbuka. Sembari mengunyah buah apel merah. Ia menatap sinis kakaknya.
"Itu, dah tahu. Kok masih ngledek." Riza mengembalikan kembali baju berkerah ke dalam lemari. Ia pun menyambar warna lain. Memantaskan di depan cermin seperti tadi.
"Kakak yakin mau serius sama Mahira?" Renata sudah berpindah. Ia duduk di ranjang kakaknya.
"Kalau kakak tidak yakin, kakak tidak mungkin melamarnya, Renata. Sejak awal kakak memang berniat menjadikan Mahira sebagai cinta pertama dan terakhir, kakak."
Apel di tangan Renata kembali ia gigit dengan keras. Hatinya tidak bisa sepenuhnya ikhlas menerima kondisi ini. Saat teman satu kelasnya justru akan menjadi kakak iparnya. "Norak warnanya!"
"Yang ini? Paling baru yang dibelikan Ibu, Ren. Masa norak?" Riza menatap kaos yang baru ia coba. Warna maroon dengan kerah dan bordir logo di dada sebelah kiri.
"Coba cari yang kemeja, kek. Kalau model kaos begitu, Mahira gak suka."
Riza menimbang pendapat Renata. Sebenarnya ia ingin memakai kaos agar tidak terkesan tua. Namun, menjadi berbeda dengan laki-laki yang dulu dikencani Mahira jelas bukan ide yang buruk. Perlahan Renata melangkah ke arah lemari baju. Ia menyambar kemeja lengan pendek milik kakaknya.
"Dah, pakai ini aja, Kak." Riza menerima baju itu. Ia meski kurang setuju terpaksa mengukuti instruksi adiknya. Karena yang lebih kenal dengan Mahira adalah Renata.
Setengah jam memantaskan penampilan, Riza keluar dari kamarnya. Ia berpamitan pada Rosita juga Renata. Lagi wajah gadis yang baru lulus SMA itu tampak aneh. Ia sebenarnya berniat menertawai penampilan kakaknya. Namun, urung. Karena memang seperti itulah niatnya. Membuat Riza ditolak oleh Mahira. Agar ia tak perlu memanggil gadis itu dengan panggilan 'kakak'.
"Hati-hati, Za. Gak boleh kesorean pulangnya. Ingat, kalian belum halal." Rosita mengkhawatirkan putra sulungnya yang sudah cukup umur itu. Ia tak tahu akan seperti apa pengalaman kencan pertamanya.
"Ya, Bu. Riza paham tentang itu." Setelah mencium punggung tanga ibunya dan melambai pada Renata, Riza Raikana pria berusia tiga puluh delapan tahun itu bersiap menyambut hari bahagianya. Ia melaju bersama motor jadulnya.
***
Sudah pasti ini bukan yang pertama kali bagi Mahira. Ia adalah playgirl di sekolah. Cowok-cowok keren sudah berhasil mengisi daftar nama orang yang jatuh cinta dengannya. Namun, saat akan berkencan dengan calon suaminya ia merasa aneh. Meski sudah tahu siapa itu Riza Raikana, ia masih belum paham betul. Renata jarang membahas kakaknya. Ia juga jarang bertandang ke rumah sahabatnya itu. Sembari menunggu jemputan Riza, Mahira membenarkan letak kerudungnya.
Sebenarnya kerudung yang ia pakai hanyalah sebuah formalitas karena dia sekolah. Kalau tidak, dia lebih ingin berekpresi dengan rambutnya.
Terdengar suara bising sebuah sepeda motor di depan rumah. Mahira yang memang berdiri di teras terperangah. Matanya langsung mengarah pada motor itu. Tidak seperti bayangannya. Jika sebagian dari mantan pacarnya mengenakan motor sport atau motor matic berbody besar dengan kaki bisa dilurukan di depan. Kini, calon suaminya justru membawa motor antik yang baginya sangat tidak menarik. Mahira menghela napas. Rasa tidak sukanya tidak boleh langsung ketahuan.
"He, dah lama, ya." Riza tanpa turun dari motor langsung bertanya.
"Belum, baru sepuluh menit."
"Oh, kalau begitu mau jalan sekarang?"
"Oke. Boleh." Mahira berjalan lebih dekat ke arah jok belakang motor. Dengan cepat gadis itu naik dan mendudukkan diri. Ia tidak canggung sama sekali.
Riza menoleh ke belakang. Ini kali pertama ia motornya dinaiki perempuan selain ibu dan adiknya. "Eh, kamu gak pamitan sama ibu kamu?"
"Tadi dah pamitan. Kata ibu kalau kamu datang langsung berangkat aja." Mahira tidak terlalu peduli soal pamit seperti itu. Lagian, ibunya juga sibuk.
"Oh, oke. Kita berangkat, ya." Riza kembali menatap ke depan. Ia menyelah motor jadulnya yang otomatis mengeluarkan suara bising. Dengan cepat menarik gas di tangan kanan dan meninggalkan halaman rumah Mahira.
Angan gadis itu menerawang ke angkasa. Langit biru yang memayungi mereka seakan menjadi mendung. Kali pertama baginya berkencan untuk sebuah hubungan serius. Ia memang populer dan pandai menarik lelaki. Namun, tidak untuk menjadi seorang istri. Cita-citanya masih tinggi. Masih ingin menikmati bersenang-senang dalam menjalani hubungan percintaan. Ia tak pernah tahu jika delapan belas tahunnya akan ditutup dengan menikah dan menjadi istri sah. Ia sungguh tidak tahu apakah akan berhasil menambatkan hatinya pada laki-laki ini. Mahira beralih menatap punggung Riza.
"Kalau Ibu sudah berkehendak, aku bisa apa. Tapi dari sekian banyak wanita kenapa harus kau gantunkan cintamu padaku?" tanyanya dalam hati.
Motor milik Riza membelah jalanan pinggiran kota. Sejak lama ia sudah berniat mengajak Mahira ke tempat itu. Tempat yang baginya sangat indah. Tanpa kata-kata yang mengalir Riza terus membawa motornya dan berhenti di sebuah tanggul bendungan. Dari jauh Mahira bisa melihat bendungan raksasa itu. Ia juga tahu kencannya akan sangat membosankan. Kembali gadis itu menghela napas. Menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
"Nha, dah sampai." Riza memarkirkan motornya. Menunggu Mahira turun dengan sedikit memiringkan motor ke sebelah kiri.
"Bisa, Kak. Aku gak sependek itu."
"Eh, maaf. Udah kebiasaan kalau sama Renata." Riza mengusap tengkuknya.
"Gak apa-apa." Mahira mengulas senyum. Sebuah senyum yang mengalirkan dopamin ke otak Riza. Hingga hatinya penuh dan ia menjadi sangat percaya diri. Mahira tidak begitu memerhatikan ekpresi Riza. Ia terus berjalan maju ke arah tanggul bendungan terbesar itu.
Tampak seorang nelayan tengah memainkan perahu geteknya. Di zaman serba teknologi dan modern ini beberapa orang masih bertahan hidup dengan cara lama. Semilir angin cukup membuat ujung kerudung Mahira terangkat. Refleks gadis itu menangkupkan tangannya.
"Jangan terlalu di pinggir," ujar Riza. Ia berdiri tepat di samping gadis pujaannya. "Nih."
Mata Mahira terbuka lebar. Riza bahkan sudah membawa minuman.
"Beli di mana?" tanyanya sembari menengok kanan kiri. Sepi tidak ada satu orang pun berjualan.
"Tadi sebelum jemput kamu. Aku tahu di sini gak ada yang jual."
"Aaaaa, begitu." Mahira sedikit canggung. Biasanya ia akan minum di cafe. Tidak dengan cara seperti ini.
"Duduk dulu kalau mau minum." Riza menukar minuman botol di tangannya. Menyerahkan yang sudah terbuka. Mahira menerima kembali botol itu. Lalu beranjak duduk. Sebuah desir aneh menelisik di hatinya.