Riza menyapukan terus menerus paduan warna yang sudah ia siapkan. Tanpa sadar, Rosita sudah masuk ke bengkel seninya serta mengamati aktivitas melukisnya sedari tadi.
"Nunggu lulus SMA dulu, 'kan, Za?" Rosita menyentuh pundak Riza. Meski lembut, energi besar terasa di sana.
"Apaan, Buk?" Sontak Riza menoleh, mengamati wajah cantik pensiunan polwan itu.
"Mahira. Kamu nunggu dia lulus dulu, 'kan?" Rosita mengulang pertanyaanya. Sejak lama ia mengamati kecenderungan hati putranya.
Kuas dan palet kembali Riza letakkan.
Mendengar pertanyaan ibunya, membuatnya berpikir. Ia pun menatap lukisan bunga sebentar, lalu beralih menatap Rosita.
"Apa pantas Bu? Riza ... terlalu tua untuknya." Ia tak percaya diri dengan perbedaan usianya dengan Mahira.
"Pantas dan tidak bukan tergantung sudut pandang manusia. Bisa jadi di mata Allah tidak demikian. Kamu menjaganya. Cinta yang fitrahnya dari Sang Maha Cinta. Hanya memendam dalam diam, mengekspresikan pada lukisan dan sesekali bercerita pada Tuhan. Apa yang tidak pantas?" Rosita meyakinkan putranya yang nyaris tak pernah mengaku jatuh cinta.
"Apa Riza bisa diterima, Bu?" tanya Riza lagi semakin tak percaya diri.
"Bisa. Dua tahun lagi Ibu antar kamu ke Mahira, ya. Ibu lamarkan dia untuk kamu."
Rosita mengedarkan pandangan ke bengkel seni milik putranya. Sejak lama ia menanti kehadiran menantu di rumah itu. Berbagai macam bentuk perjodohan sudah ia coba agar Riza segera naik ke pelaminan. Namun, putranya terus menolak dengan alasan masih ingin sendiri. Hingga hari ini ia paham siapa yang diam-diam mendiami hati putranya. Rosita pun merasa haru. Sudut matanya tampak berkaca.
"Tidak terlalu muda, Bu?" Kali ini Riza mempertanyakan usia Mahira. Sepuluh tahun lebih muda apa tidak apa-apa?
"Perempuan lambat laun juga menua, Za. Bisa jadi saat kalian punya anak nanti, wajah kalian tak ada bedanya."
Rosita menyentuh lukisan bunga yang sedang dikerjakan putranya. Ia selalu kagum dengan bakat alam yang menurun dari almarhum suaminya. Namun, ia sedikit meragukan apakah putranya nanti bisa survive di kehidupan yang kejam dengan pekerjaan itu. Mencoba menjadikan Riza sebagai polisi, tak kunjung menemui jalan.
"Wah, ini gak buat mahar kan, Za?" tanyanya saat menyadari terselip inisial M dan R di pojok bawah kanan lukisan.
"Ya, enggak lah, Buk. Buat bukti cintaku sama Mahira nanti, kalau aku pernah mengaguminya seindah ini," jawab Riza tersipu.
Rosita mengulas senyum. Ia bahagia mengetahui isi hati putranya. Satu-satunya anak laki-laki kebanggaan keluarga akan menikah segera. Meski dengan gadis SMA yang usianya bahkan sama dengan usia adiknya. Rosita tak mau mempermasalahkan itu. Ia harus segera menghubungi Saras agar Mahira menjaga diri dengan baik. Tentang kabar Mahira yang play girl kerap terdengar di telinganya. Renata sering menceritakan sahabatnya itu. Rosita beranjak dari bengkel seni putranya. Ia meneruskan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Riza kembali merapikan peralatan melukisnya. Tak lupa menata ulang lukisan-lukisan yang sudah ia buat. Beberapa hari ini ia aktif memasarkan lukisan di platform jual beli online. Ia yang usianya sudah kepala tiga dan belum menikah, bertekad mengumpulkan uang mahar serta biaya pernikahan dari usahanya sendiri. Tidak mau terus-terusan menjadi beban ibunya yang pensiunan polwan. Ia juga berencana memikirkan lingkungan baru yang lebih cocok dengan hobinya itu. Ponsel Riza bergetar. Sebuah notifikasi dari platform digital jual beli online berwarna orange. Seseorang memesan lukisan.
[Adakah mahakarya yang lebih bagus? Semacam lambang cinta?] tanya calon pembeli itu di kolom komentar lukisan gambar matahari yang Riza tawarkan. Dengan cepat Riza pun mengetikan balasan.
[Lambang cinta seperti apa yang anda maksud? Karena lambang cinta itu banyak.]
Meski kerap melukis, Riza belum mampu megekspresikan jiwa cintanya ke dalam lukisan yang ia buat. Kecuali tentang Mahira.
[Lukisan bunga teratai yang dilukis penuh dengan rasa cinta. Saya menginginkan tanaman air itu sebagai lambang cinta. Seperti orang Bangladesh yang menganggap teratai sebagai kesucian cinta.]
Riza mencermati setiap kata yang dituliskan calon pembeli itu. Teratai? Water lily? Bukannya sesuai dengan yang sedang ia pandang saat ini. Tanpa berpikir lebih lama Riza memfoto lukisan itu lantas mengirimkannya.
[Semacam ini?]
Tak menunggu lama, komentar selanjutnya muncul.
[Berapapun harganya, aku siap membayarnya. Berapa penawaranmu?]
Riza membuka matanya lebar-lebar. Berapapun? Namun, lukisan itu teramat berharga. Itu lukisan yang ia khususkan untuk Mahira, pemilik hatinya. Ia tidak mungkin melelangnya. Riza tak membalas. Ia sedang berpikir keras.
[Aku beli harga lima ratus juta. Lebih juga boleh.]
Mulut Riza terbuka lebar membaca kalimat itu. Lima ratus juta? Pekiknya dalam hati. Ia jelas tak bisa menghargai lukisan itu. Terlampau kurang jika ditukar dengan uang. Riza pun menutup aplikasi jual beli online berwarna orange itu. Ia mengabaikan calon pembelinya begitu saja.
***
Riza menghabiskan waktu siang sampai sore di bengkel seninya. Ia berhenti hanya saat mendengar panggilan solat. Sudah menjadi ikrar bagi laki-laki itu untuk selalu tepat waktu mengerjakan ibadah itu. Dua tahun waktu yang banyak untuk berdoa. Ia berharap tak ada laki-laki lain yang mendahului niatnya untuk menghitbah Mahira. Ia ingin mengadukan semua perasaannya itu pada Sang Pemilik Perasaan sebenarnya. Ia tak mau hatinya tergoda. Sejak awal melihat Mahira masih dengan seragam merah putihnya, ia sudah meniatkan hati untuk memiliki gadis muda itu.
"Sekali-kali jamaah di rumah kenapa, Kak? Jadi imam buat kita," ucap Renata saat mendapati Riza bersiap.
"Lah, Kakak mau ke masjid. Kamu ikut jamaah ke masjid aja, kan deket," jawab Riza dengan membenarkan baju kokonya.
"Ya elah, bilang aja mau lewat rumah Mahira, 'kan?" kelakar Renata yang membuat wajah Riza merah padam.
"Emangnya Renata gak tahu? Jelas banget di wajah kakak." Renata terus menggoda kakaknya. Ia ingin mengonfirmasi apakah tebakannya tepat atau keliru dengan cara bercanda.
"Apaan, sih, kamu. Mengada-ada aja. Emangnya kamu mau nikah sama om om?" tanya Riza mengalihkan pertanyaan Renata. Ia memang belum mau adiknya tahu tentang perasaannya pada Mahira.
"Mau aja. Yang penting om-omnya gak kaya Kakak." Renata melirik tajam kakaknya. Ia pun meraih mukena dan ikut bersiap ke masjid. Sebuah misi sedang ia jalankan.
"Ayo, berangkat bareng!" seru Renata seraya melangkah keluar. Ia sengaja mendahului kakaknya. "Buk! Renata ke masjid dulu!" teriaknya.
Riza hanya bisa menggeleng. Mengingat usia adiknya yang masih belum matang. Tidak perlu ia tanggapi candaan Renata. Gadis itu akan paham dengan sendirinya saat waktunya tiba. Riza tidak mau Renata juga ikut memikirkan kisah cinta kakaknya yang tak kunjung menemui jalan. Ia membiarkan semua mengalir apa adanya sampai waktu terbaiknya benar-benar tiba.