***
"Aku tidak menjadikan dia yang ke dua, karena dia adalah yang pertama dalam hatiku." —Gasendra to Yasawirya.
***
"Tuan Arya, ada yang ingin aku bicarakan empat mata denganmu," pinta Gasendra seraya bangkit dari kursi.
Sebuah kebetulan yang sangat di luar ekspetasi dan membuat Yasawirya tersenyum sinis.
"Kebetulan sekali, Pangeran. Saya juga ada hal penting yang harus dibicarakan dengan anda," ujar Gasendra dengan mantap, "empat mata juga," imbuhnya.
Gasendra membalas senyum Yasawirya. "Kalau begitu, mari kita bicara. Silakan anda berjalan lebih dulu."
Yasawirya berjalan lebih dulu, kemudian merotasikan matanya malas tanpa seorang pun yang mengetahui.
'Dasar pria licik! Dia menyuruhku jalan lebih dulu karena tidak tau kawasan rumah ini, kan?'
Sementara Carelia dan putrinya hanya bisa melihat kepergian dua pria dengan umur yang jauh berbeda dengan seribu tanda tanya di kepala.
"Hal penting apa yang akan Ayah urus, Ma?" Arunika mengalihkan pandangan kepada Carelia setelah dua pria itu keluar dari ruang makan.
Carelia mengedikkan bahu. Dia juga tidak tau hal penting apa yang akan dibicarakan oleh suaminya. Tapi, ada satu tebakan yang mungkin bisa benar dan bisa juga salah.
Arunika Arya.
"Membahasmu kali," sahut Carelia, kemudian berdiri dan meminta para pelayan untuk membereskan semua peralatan makan. Dia menoleh pada putrinya yang melongo seperti orang bodoh, kemudian berkata, "Daripada seperti orang bodoh, lebih baik kau jadi orang baik saja. Ayo bantu Mama!"
Arunika mengedipkan kedua matanya dengan polos seraya menelan saliva.
"Baik, Ma."
***
Yasawirya menghentikan langkah di sebuah pendopo kayu jati yang lengkap dengan ukiran-ukiran mewah nan detailnya.
Dia berbalik dan mempersilakan sang pangeran untuk duduk di dalam sana lebih dulu.
"Silakan duduk, Pangeran."
Gasendra membuka sandal kulitnya, kemudian berjalan mendahului Yasawirya dan duduk dengan posisi sila di atas lantai kayu pendopo tersebut, diikuti oleh Yasawirya.
Dua pria yang duduk saling berhadapan itu terdiam sejenak, sebelum Yasawirya membuka suaranya.
"Anda duluan," pinta Yasawirya dengan tatapan serius. Dia sangat tahu kalau ini bukan waktunya untuk main-main. Ini menyangkut masa depan putri kesayangannya, Arunika Arya.
Gasendra menghela napas panjang sebelum mengutarakan niatnya di hadapan sang ayah.
"Saya jatuh cinta pada putri anda, Tuan Arya."
Yasawirya mengangguk pelan. Sejak pertama kali pria licik itu meninggalkan kotak perhiasan di tokonya pun, Yasawirya sudah sangat menyadari jika Gasendra tertarik pada putrinya.
Tapi, jatuh cinta ... apakah bisa secepat itu? Yasawirya menatap ragu pada pria di hadapannya.
"Apa anda yakin itu cinta?" tanya Yasawirya dengan tatapan menyelidik, "bukan nafsu semata?"
"Cinta dan nafsu itu beriringan, Tuan Arya. Jika aku mencintai putrimu, pasti aku juga menginginkannya," jawab Gasendra dengan mantap.
Yasawirya menatap kosong pria di depannya. Ada rasa takut dan tidak rela jika putri kecilnya diserahkan secepat ini pada Gasendra. Apa lagi Gasendra itu ....
"Bagaimana dengan Putri Agni dan Pangeran Narasimha?"
Gasendra tertegun. Ah, ya ... dia memang sudah punya istri dan satu anak sejak empat tahun lalu, tapi pernikahan itu tidak pernah dia inginkan.
Pernikahan yang hanya berdasar pada politik, tanpa ada rasa cinta sedikit pun di dalamnya. Bahkan, memiliki anak pun hanya sebuah kecelakaan tak disadari olehnya yang dibuat untuk alat pewaris takhta oleh Jahankara, ayahnya.
Tapi, saat dia bertemu dengan Arunika ... Gasendra langsung yakin, jika Arunika adalah belahan jiwa yang selama ini ditunggunya. Arunika adalah gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertama dan akan menjadi terakhir selama hidupnya. Gasendra berani menjamin akan hal itu, bahkan dengan jiwa dan raganya.
"Bagaimana?" tanya Yasawirya lagi. Dia berharap Gasendra mundur perlahan saat mengingat akan hal itu.
Tapi, ternyata dia salah ...! Pria itu menjawab hal di luar dugaannya. Hal yang tak diketahui selama empat tahun ini dan spesialnya— dia adalah orang pertama dari Bangsawan Arya yang mengetahuinya.
"Aku tidak menjadikan dia yang ke dua, karena dia adalah yang pertama dalam hatiku."
Yasawirya terdiam dalam waktu yang cukup lama. Masalahnya, ini bukanlah perihal cinta saja, tapi perihal masa depan putrinya juga.
Bagaimana kalau putri polosnya itu celaka jika masuk ke lingkup istana yang kejam dan penuh dengan pertumpahan darah?
Apakah pria di hadapannya bisa menjaga Arunika dengan baik? Apakah pria di hadapannya bisa menjamin kehidupan dan keselamatan putrinya?
Dan yang terpenting, apakah Arunika akan bahagia jika dia mengizinkan pria yang telah beristri itu mendekatinya, lalu meminangnya sebagai teman hidup? Mana dijadikan istri ke dua pula ....
Semua pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung tentang Arunika memenuhi pikirannya. Dia tak mampu berucap lebih lagi karena itu.
Penerangan dengan obor api serta suara jangkrik dan katak dari kolam kecil yang tak jauh dari sana, menambah kesan sunyi di antara mereka berdua.
Yasawirya menutup maniknya dalam waktu yang lama. Dia memikirkan keputusan yang sulit untuk putri dari Bangsawan Arya.
Di hadapannya, ada sang pangeran yang masih menanti perizinan dari calon ayah mertuanya dengan penuh harap.
Sampai Yasawirya berucap dan sukses membuat hati Gasendra cukup mencelos.
"Maaf, Pangeran, saya tidak bisa menjawabnya sekarang."
Perizinan tak keluar semudah itu dari bibir Yasawirya. Dia butuh waktu lama untuk memikirkan itu, lalu mendiskusikannya pada Carelia. Dia juga harus memastikan putri kesayangannya itu selalu mendapat cinta dan kasih yang cukup dari orang-orang di istana
'Yah, aku memang tidak yakin sih kalau Tuan Arya mengizinkan secepat itu. Tapi, suatu hari nanti ... kau pasti akan mengizinkannya.'
"Kalau begitu, akan kutunggu izin dari kau, Tuan." Gasendra pun berdiri dan menuruni tangga pendopo, lalu memakai sandalnya. Dia berjalan dengan membawa sedikit rasa kecewa menuju ruang utama di kediaman Bangsawan Arya, dan meninggalkan Yasawirya yang masih memejamkan mata seraya menghela napas berkali-kali.
Gasendra harus bersabar dan berusaha lebih giat lagi agar Arunika jatuh cinta padanya, serta mendapat restu dan izin langsung dari bibir Yasawirya.
***
Suara sandal yang bergesekan dengan lantai marmer putih itu terdengar di ruang utama kediamannya.
Dia segera menghampiri sang istri yang duduk seraya menyesap obat herbal yang telah diracik khusus oleh tabib pribadi.
Yasawirya duduk tak jauh dari sana sambil mengurut kening dengan tangan kanannya.
"Kau bilang apa ke Pangeran Gasendra?" selidik Carelia dengan tatapan mata yang memicing.
Yasawirya menjawab hanya dengan gelengan lemah. "Tidak ada, hanya menunda jawaban saja," singkatnya, "Dia sudah pulang?"
"Ya, sudah pulang. Memangnya tadi dia tak berpamitan denganmu?"
"Entahlah. Antara dia yang memang tak berpamitan atau aku yang tak menyadarinya," ungkap Gasendra.
Dia menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan sang putri yang sejak tadi mampir di kepalanya. "Arunika mana?"
"Dia mengantar pangeran."
"Oohh." Gasendra mengangguk paham seraya memejamkan mata dan mengurut keningnya. Tiga detik kemudian, dia terpekik kaget di tempat dengan tubuh yang menegang.
"SIAPA YANG MENGANTAR SIAPA?!"
———
To be continue ....