Carissa bangun pagi seperti biasa, tanpa sarapan atau ucapan selamat pagi, ia pergi ke kampus. Rani dan Daniel hanya bisa terdiam dan mencoba memahami keadaan Carissa sekarang. Hari itu benar-benar menjadi hari yang biasa saja buatnya, seperti hari kemarin-kemarin, walau sebenarnya Carissa menyadari hari-harinya akan berubah dalam waktu dekat. Awan mendung yang tidak terkira jumlahnya sudah bergelayut di dalam hidupnya.
Kini cewek itu duduk bertopang dagu di mejanya. Sengaja Carissa milih tempat pas di pojok, biar bisa sendirian. Tapi justru kelakuan Puput yang aneh bin ajaib itu menarik perhatian Martin, sahabatnya yang kebetulan datang pagi juga. "Rissa, tumben banget kamu datangnya pagi, biasanya datang waktu jam mepet. Terus ekspresi kamu kenapa begitu? Ada masalah ya? Atau lagi lagi?" cerocos Martin.
Carissa melirik sedikit kearah Martin dan menghela nafasnya kasar, "Aduh deh jangan berisik ya, datang pagi salah, datang siang juga salah, maunya apa sih?" sahut Carissa jutek.
"Dih jangan begitu deh, gak boleh. Pasti kamu punya masalahkan?" tanya Martin penasaran. Carissa terdiam dan menatap ke depan dengan tatapan kosong. Martin segera menarik bangku dan menyeretnya ke dekat tempat Carissa duduk. ''Aku perhatikan dari tadi kamu murung terus. Yakin tidak mau cerita nih sama aku? Biasanya kamu kalau ada apa-apa kan selalu cerita sama aku. Ayo cerita dong, biar lega," bujuk Martin.
Carissa masih cuek, lalu berkilah. ''Nggak ada apa-apa kok, Mar!''
"Dih! Ini anak! Jangan bohong kamu. Aku tahu kamu ini bohong, pasti ada masalahkan?"
"Ih dibilang nggak ada apa-apa, kok maksa banget sih!"
"Udah cerita aja, siapa tahu kan aku bisa bantu kamu."
"Udah jangan maksa! Aku nggak kenapa-kenapa kok. Baik-baik saja nih!" kata Carissa sambil memamerkan senyum palsunya, lengkap dengan gigi kelinci.
"Alasan! Tuh alis kirimu gerak-gerak tuh," kata Martin menunjuk kearah alis kiri Carissa. Seketika wajah Carissa memucat dan langsung meraba alisnya. "Tuh kan bohong, jangan bohong ya," timpal Martin. Carissa tersenyum masam. Dengan suara yang hampir berbisik, diceritakannya semua kejadian yang ia resahkan hingga tuntas. Semua itu keluar dengan lancar dari mulutnya. Semuanya, bahkan perasaannya yang jadi risau kerena kejadian tersebut juga tidak lupa diceritakan.
"Masalah itu ya?" tanya Martin.
"Iya, jadi aku harus bagaimana nih? Bingung tahu," ujar Carissa.
"Hah ... Bagaimana ya. Mending kamu begini saja, terima perjodohan itu, kalau memang tidak cocok. Ya sudah, pisahkan saja. Kalau cocok, lanjutkan saja sampai ke tingkat serius. Bagaimana?" saran Martin.
"Mudah sekali kamu ngomongnya gini gitu. Ini bukan permainan anak kecil, Martin!" ujar Carissa kesal.
"Ya maaf, aku mencoba membantu saja. Kalau begitu, bagaimana nanti selesai kelas, kita pergi ke taman bermain, mau tidak?" ajak Martin.
"Buat apa kesana coba? Tidak penting," jawab Carissa acuh.
"Buat menenangkan diri kamu, Rissa. Sekalian refreshing buat lupakan masalah kamu, untuk sementara waktu."
"Ya sudah deh, boleh."
"Begitu dong," kata Martin tersenyum sambil mengacak-acak gemas rambut Carissa. Kelas pun semakin ramai karena beberapa menit lagi, kelas akan segera dimulai. Martin pun langsung duduk di tempatnya. Carissa sendiri masih salah tingkah karena perlakuan Martin tadi. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Martin dalam hal ini, tapi Martin adalah satu-satunya orang yang mampu membuatnya tersenyum. "Aku beruntung bisa punya sahabat seperti kamu," gumam Carissa tersenyum menatap kearah Martin.
***
Mobil kijang berwarna hitam tepat berhenti di depan pintu gerbang kampus besar itu. Dirga meraih tasnya dan hendak keluar.
"Dirga tunggu!" cegat Santoso.
"Iya, ada apa Ayah?" tanya Dirga sambil berbalik.
"Jadi kapan kita akan menjemput gadis yang dijodohkan dengan kamu itu?" tanya Santoso. Dirga menghela nafasnya kasar, sejujurnya juga ia tidak mau menjemput gadis asing itu. Tapi karena Ayahnya selalu mendesak, dengan terpaksa pula, "Hari ini, setelah aku pulang dari kuliah," jawab Dirga lalu keluar dari mobil. Santoso tersenyum penuh dengan kemenangan dan pergi meninggalkan kampus itu.
Baru saja melewati pintu gerbang masuk, sudah banyak berdatangan gadis-gadis mengerumuni dirinya. "Apa sesulit inikah hidupku? Hidup tenang pun tidak bisa," gerutu Dirga.
***
Jujur saja, aku muak dengan kehidupanku yang selalu saja seperti ini. Memangnya apa yang membuat gadis-gadis ini selalu mengerumuni diriku? Tampan juga tidak, tapi gadis-gadis yang mengerumuni selalu bilang bahwa aku sangat mirip dengan Jaemin NCT. Siapa Jaemin? Dan siapa NCT? Jujur saja aku tidak mengenalinya.
"Aaa ... Oppa, tolong jadi kekasihku!"
"Aaa ... Kak Dirga semakin tampan saja!"
"Kak Dirga!"
Nah, ini yang selalu membuatku risih. Dengan kesal aku mencoba menerobos kerumunan gadis-gadis aneh ini dan berhasil sampai ke kelas dengan tepat waktu. "Aku benci keramaian, waktunya menikmati kegiatan yang produktif ini."
***
Setelah kelas usai dan berlangsung 4 jam lamanya, Martin dan Carissa pun pergi menuju taman bermain untuk menghilang beberapa beban pikiran yang menumpuk. Sesekali tidak ada salahnya kan untuk bersenang-senang? Tidak lupa dengan beberapa makanan ringan. Mereka berdua pun menantang nyali dengan naik roller coaster. "Hahaha, Martin ... Ini mengasikkan sekali!" seru Carissa.
"Iyalah, kalau tidak seru, berarti kamu tidak normal dung," sahut Martin terkekeh kecil.
"Enak saja hahaha ... Wuhuuu ...."
"Aku kira kamu tidak akan berani naik ini!"
"Enak saja! Aku ini pemberani tahu!"
Setelah naik roller coaster, mereka berdua duduk di sebuah bangku taman bermain tersebut sambil makan siang. "Carissa, aku setuju kalau jadi kamu, soal perjanjian terkonyol yang pernah ada di muka bumi ini. Tapi kamu harusnya bersyukur, Ris! Jarang-jarang lho ada orang yang nggak perlu susah-payah lagi buat cari jodoh,'' ujar Martin.
''Hah! Serius kamu? Yang benar saja, Tin. Dengar ya, aku aja bahkan nggak tahu wajah orang yang dijodohkan denganku, belum lagi sifatnya. Siapa tahu dia memilki kelainan, seperti maniak atau yang lainnya. Ihh, mikirinnya aja udah bikin enek dan takut!'' kata Carissa sedikit meringis ketika mengucapkan itu.
"Dan lagi aku masih muda. Masa setelah lulus sarjana aku harus nikah. Aku ingin kerja dulu, sukses dulu, senang-senang dulu baru menikah. Kalau bisa ketemu cowok yang bikin aku jatuh cinta, nah kalau gitu baru bisa nikah. Bukan kayak gini…," sambung Carissa panjang lebar.
Martin terdiam dan termenung sejenak. ''Kamu tuh bener-bener cewek banget ya!''
''Iyalah, aku kan cewek! Masa cowok! Gimana sih kamu ini!'' sahut Carissa sewot.
"Aku suka kamu, Riss."
DEG!
"What? Apa? Kamu bilang apa tadi?" tanya Carissa dengan mata terbuka lebar.
"Aku suka tipe cewek kayak kamu, Carissa. Jarang-jarang ada cewek kayak kamu, yang mikirnya jauh banget," jawab Martin tersenyum. Carissa membeku dan tidak berani lagi menatap kearah Martin. "Astaga! Perasaan dan cobaan macam apalagi ini yang Tuhan berikan kepada hamba," gumam Carissa.