Chereads / Which One Should I Choose / Chapter 6 - Soal Perjodohan

Chapter 6 - Soal Perjodohan

Diam-diam aku memperhatikan Dirga dari luar kelas, kami berdua memang satu jurusan. Karena hari ini ada persentasi, kebetulan sekali aku dalam sesi 2 sedangkan Dirga masuk sesi 1 karena inisial namanya huruf D. Senang sekali bisa melihat makhluk tertampan itu lancar dalam persentasinya. Ini memang agak sulit untukku, tapi aku belajar bahwa harus percaya diri dan yakin dengan diri sendiri.

Ku lihat Dirga meraih tasnya dan berjalan keluar kelas. Cepat-cepat aku mengeluarkan sekotak berisi makan siang yang memang aku buat khusus untuk dia. Hembusan angin lalunya membuatku mabuk sekali. "Dirga tunggu!" cegatku yang membuat langkah kakinya berhenti.

Dia pun berbalik, "Ada apa?" tanyanya heran.

Aku berjalan mendekatinya dan memberikan kotak makan siang itu padanya. "Ini aku tadi pagi buatkan salad sayur dan roti isi untuk kamu, karena kamu kemarin sudah bantu aku mengerjakan tugasku," ucapku.

"Maaf, aku tidak bisa menerimanya, ambil saja untukmu," tolak Dirga dengan halus.

"Ayo ambillah, lagipula aku membuatnya memang untuk kamu. Kamu suka kan makan salad sayur dan roti isi?"

"Tidak usah, ambil saja untukmu, Lela."

"Hei, jangan seperti ini ... Tolong terimalah," paksaku lagi.

Ku lihat dia menghela nafas dan dengan terpaksa menerima kotak makan siang itu. "Terima kasih."

"Ya sama-sama, kalau begitu aku harus pergi." Dengan cepat aku mempercepat langkah kakiku pergi ke sembarang arah. Tampaknya ia akan suka sekali dengan salad dan roti isi itu. Soalnya ketika ia makan siang di cafe, selalu memesan itu. Jantungku mungkin tidak akan sehat lagi sekarang, karena debaran-debaran cinta ini.

***

"Menarik," gumamku tersenyum miring menatap kotak makan siang. Lumayan bisa menghemat uang saku, dengan tidak sabaran pula aku mencari bangku dan membuka kotak makan siang itu. dan memang benar, isinya adalah salad sayur dan roti isi. Aku sangat suka sekali dengan makan sehat ini.

"Terima kasih Lela." Sambil menunggu Martin adikku, aku pun memakan isi kotak makan siang itu sampai habis. Tidak lama kemudian, mobil Martin terparkir. Jarak dudukku memang tidak tahu dari tempat Martin memakirkan mobil. "Akhirnya dia datang juga." Aku langsung menutup isi kotak makan dan memasukkan ke dalam tas.

***

"Terima kasih ya Martin buat hari ini, aku senang banget," kata Carissa.

"Iya sama-sama, terima kasih karena sudah mau menghabiskan waktu bersamaku," kata Martin tersenyum. Carissa mengambil tasnya dan membuka pintu mobil. Secara tidak sengaja, mata Carissa bertemu dengan mata Dirga. Dirga sendiri menatap heran kearah Carissa. "Eh, anak ini bukannya yang Lela bilang itu ya?" gumam Carissa.

"Hei kalian berdua harus berapa lama seperti itu?" tanya Martin dengan nada cemburu. Carissa cepat-cepat menyingkir dan Dirga masuk ke dalam mobil. "Aku pulang dulu ya, Carissa. Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai rumah, jangan lupa untuk mengabariku," ucap Martin.

Carissa mengangguk kepalanya dan tersenyum lalu pergi meninggalkan mobil Martin tersebut. Dirga menatap heran dan penuh tanda tangan kearah Martin. "Hah? Apa? Jangan menatapku seperti itu dong, serem. Di kira aku punya hutang apa sama kamu," kata Martin.

"Siapa cewek itu?" tanya Dirga.

"Sahabat dekatku, memangnya kenapa?" tanya Martin balik.

"Oh, kirain pacar kamu." 

"Calon pacar juga maksudnya," sahut Martin. Dirga yang tidak peduli pun mengeluarkan handphone dan earphonenya lalu menyalakan lagu. "Dih! Aneh ih!" gerutu Martin.

***

Carissa menggayuh pedal sepedanya menuju rumah, perutnya juga sudah keroncongan untuk minta diisi. Semakin semangat pula ia menggayuhnya. Dalam perjalanan, kepalanya terus berputar-putar dengan sosok misterius Dirga. Bagi Carissa, Dirga adalah satu-satunya orang yang ia temui di muka bumi ini yang terlihat banyak menyimpan rahasia dan teka-teki. 

Dirinya sendiri berusaha untuk fokus, namun berjuta-juta pertanyaan selalu saja timbul entah dari mana-mana. "Aku pulang!"

"Eh Nak Carissa sudah pulang, ayo masuk, cuci tangan kakinya, ganti baju lalu makan. Bibi sudah masakkin ayam goreng, sambal tomat, sama tahu tempe goreng," ujar Rani.

Seketika Carissa otak yang penuh penasaran langsung teralihkan dengan ucapan Bibinya. "Oke Bibi, dalam 1 menit aku akan kembali lagi kesini." Carissa bergegas lari ke kamar untuk ganti baju dan cuci tangan kaki. Belum sampai 1 menit, Carissa sudah sampai di ruang makan. "Waktunya sikat sampai licin!" serunya.

Rani senang sekali melihat Carissa kembali tersenyum dan bersemangat seperti biasanya. Tiba-tiba telepon rumah berdering. "Sebentar ya Rissa, Bibi angkat telepon dulu."

"Iya Bibi." Rani berjalan menuju telepon tersebut lalu mengangkatnya. "Iya halo, dengan siapa?"

"Halo, saya Santoso, nanti sore saya dan anak saya akan menjemput Carissa serta menanda tangani perjanjian itu," ujar Santoso. Wajah Rani memucat dan berbalik melihat kearah Carissa. "Aku sendiri tidak mau membuat Carissa sedih," gumam Rani.

"Baiklah kalau begitu, jam berapa nanti Bapak datang ke rumah?" tanya Rani.

"Jam 5 sore, terima kasih."

"Ya, sama-sama." Rani meletakkan kembali telepon tersebut dan berjalan menuju ruang makan. "Siapa yang menelepon Bibi?" tanya Carissa penasaran.

"Tidak ada kok, cepat habiskan makananmu, nanti Bibi mau bicara sama kamu," pinta Rani. Tanpa banyak suara, Carissa langsung menghabiskan makanannya.

***

"Sudah Ayah kasih tahu ke orang rumahnya bahwa kita akan berkunjung nanti sore," ujar Santoso.

"Hah ... Terserah Ayah saja. Aku tidak peduli," ujar Dirga jutek.

"Jangan seperti itu, sekarang kamu kerjakan tugas-tugas kuliahmu itu, jangan sampai nanti malam, tugas kuliahmu itu menganggu bincang-bincang nanti malam."

"Iya Ayah." Dengan malas dan lesu, Dirga bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Martin sendiri curiga dengan pembicaraan Ayahnya dengan seseorang di telepon tadi. "Perjanjian apa kira-kira?" gumam Martin. "Atau jangan-jangan tentang perjodohan kali ya? Atau tentang pekerjaan mungkin," sambungnya.

***

"Terserahlah, aku juga tidak terlalu peduli pentingnya perjanjian ini. Yang penting terima-terima saja, terus manipulasi keadaan, terus tentukan kehidupanku sendiri." Seketika bayangan cewek yang berpapasan denganku tadi muncul kembali. Sosok dirinya membuatku penasaran dengan dia, tapi aku rasa tidak mungkin untuk merebutnya dari Martin.

Pastilah Martin akan sangat kesal denganku, sebaiknya jangan. Pintu kamarku langsung dibuka kasar oleh Martin. "Aduh kamu ya, kalau mau masuk ke kamar orang. Coba ketuk kek pintunya, jangan asal masuk," marahku.

"Aduh, adik sendiri masa kaget! Eh, memang jam 5 sore, kamu dan Ayah mau kemana sih?" tanya Martin.

"Itu bukan urusanmu, ini urusanku dengan Ayah. Jadi jangan diganggu gugat ya, atau terima sendiri akibatnya."

"Ayo kasih tahu dong, penasaran tingkat dewa nih," rengek Martin.

"Dibilangin bukan urusanmu, jangan ngotot dong, sana kerja tugas kuliahmu itu, nanti tidak selesai."

"Ayolah ih kasih tahu, aku penasaran sekali!"

"Iya-iya, tapi diem ya, jangan kasih tahu siapa-siapa."

"Iya, janji. Memangnya apa itu?" tanya Martin sungguh-sungguh.

"Soal perjodohan," jawab Dirga.

"Hah? Apa? Dengan siapa?"