Chereads / Which One Should I Choose / Chapter 3 - Dia Dirga

Chapter 3 - Dia Dirga

"Siapa? Masa kamu tidak tahu sih," kata Lela sedikit kesal. "Ya maksud aku itu siapa?" tanyaku lagi.

"Dia Dirga, satu jurusan sama aku. Dia adalah mahasiswa yang populer di kampus kita. Kira-kira kamu, dia cocok tidak sama aku?" tanya Lela dengan mata berbinar-binar.

"Cocoklah ... Kamu suka ya sama dia?" tanya Carissa balik.

"Ya begitulah, sudah mending kita lanjutkan pekerjaan kita. Habis jam kerja baru kita bicarakan lagi, kamu ada waktukan habis jam kerja?"

"Hm, ada."

"Baiklah." Ku lihat Lela kembali bertugas melayani pesanan pelanggan yang baru datang. "Dasar aneh," gumamku. Lela memang sedikit agresif orangnya tapi baik. Sepertinya Lela cukup cocok dengan Dirga, entah kenapa ada sedikit aneh dengan nama Dirga itu. "Kenapa jiwa penasaranku muncul tiba-tiba. Coba saja tadi aku melihat wajahnya, jadi aku tidak penasaran lagi," gerutuku.

***

"Kok lama banget sih makannya?" tanya Martin kesal.

"Maklum, ini jam makan siang," jawab Dirga dingin.

"Eh jangan dingin begitu jawabnya, gimana cewek tidak mau dekat sama kamu, kalau kamu dingin seperti ini," protes Martin.

"Berisik ah, suka-suka akulah," sahut Dirga.

"Dih, dikasih tahu juga masih mau nyolot." Mobil Toyota hitam pun melaju pergi meninggal cafe tersebut. Martin sendiri tidak tahu kalau ada Carissa yang bekerja disana. Seandainya tadi ia masuk, pasti sudah bertemu dengan Carissa sekarang.

Dirga sendiri termenung memikirkan seorang gadis cantik, yang hampir masuk kriterianya itu. Kulit putih, tinggi, kurus, dan cukup ramah. "Cantik ... Sangat cantik," gumamnya.

Mobil Toyota hitam itu berhenti di depan rumah mewah nan besar sekali. Seperti mansion lebih tepatnya. "Eh kalian berdua sudah pulang, ayo masuk ke dalam," sambut Ayah mereka, Pak Santoso.

"Iya Ayah, aku ke kamar dulu ya," kata Martin pergi meninggalkan Dirga dan Ayahnya. Santoso mengajak Dirga untuk duduk di sofa ruang tamu sambil minum teh.

"Dirga, Ayah mau bicara sebentar sama kamu, bisa?" tanya Santoso.

"Baiklah, apa yang ingin Ayah bicarakan sama aku?" tanya Dirga balik.

"Ini soal perjodohan kamu dengan anak dari sahabat Ayah sendiri, jadi kapan kita akan menjemput dan membawanya kesini?"

Dirga terdiam sejenak, ini merupakan pertanyaan yang sulit sekali untuk dirinya. Karena ia juga belum siap akan perjodohan ini, dirinya masih ingin bebas kesana kemari. "Soal itu aku belum bisa memutuskannya Ayah, kan sudah aku bilang sama Ayah. Aku sendiri belum siap untuk ini, aku masih ingin bebas," jawabku dengan lantang.

"Dirga, dengarkan Ayah. Ayah sudah beri kamu waktu 3 hari untuk memikirkan ini, tapi kenapa kamu tidak bisa memutuskannya hari ini?" desak Santoso.

"Aku tidak siap Ayah! Aku ingin bebas dulu! Aku tidak mau jika perjodohan ini terlaksanakan. Memangnya atas dasar apa Ayah menjodohkan aku dengan orang lain? Bukannya aku menentukan sendiri pilihanku?"

"Sudah saatnya Dirga, kamu ini sudah berumur 22 tahun, sebentar lagi Ayah juga akan turun jabatan. Dan kamu satu-satunya yang Ayah pilih untuk meneruskan perusahaan Ayah."

"Jawab aku Ayah, atas dasar apa Ayah menjodohkan aku?"

Santoso terdiam dan Dirga bangkit pergi meninggalkan Santoso sendirian. "Soal itu aku tidak bisa menjelaskannya, Dirga," gumam Santoso.

***

Jam menunjukkan pukul 5 sore, jam kerja Carissa dan Lela berakhir. Mereka berdua sama-sama meregangkan otot mereka yang sudah kaku dan pegal-pegal. "Ayam goreng mau tidak?" tanya Lela.

"Boleh deh, ayo kesana," ajak Carissa. Mereka berdua pergi ke tempat ayam goreng kesukaan mereka, setiap kali pulang kerja mereka berdua akan selalu kesana. "Pak! Ayam goreng 2 porsi, 2 gelas es tehnya, sama tahu tempenya, satu porsi," ujar Lela.

"Baik Non, tunggu sebentar ya," sahut Bapak jualan Ayam goreng itu. Sambil menunggu pesanan datang, Carissa membuka WhatsApp dan membalas beberapa pesan dari Martin. "Eh maaf ya baru balas, tadi aku ada urusan. Ini mau makan," balas Carissa lalu mematikan kembali handphonenya.

"Carissa, emang bener kamu tidak tahu sama Dirga?" tanya Lela memastikan.

Carissa mengangguk kepalanya, "Iya, tentu saja aku tidak tahu. Memangnya dia kenapa?"

"Dia itu anak terpopuler di jurusannya. Sudah tampan, tinggi, pintar, kaya tapi cuek jutek dingin sifatnya," jelas Lela.

"Ya, terus kenapa kamu mau sama dia?" tanyaku.

"Karena dia tampan, masalah ia tidak pernah bicara dengan siapapun kecuali aku. Jadi aku ini merasa diistimewakan sama dia," kata Lela tersipu malu.

"Hahaha, semoga dapet ya ... Incaranmu itu."

"Pasti donk." Tidak lama kemudian pesanan Carissa dan Lela sampai. Dengan perut keroncongan meronta-ronta, langsung mereka berdua sikat sampai habis. "Hati-hati Rissa, makannya nanti tersedak, nanti mati lagi," ejek Lela.

"Biarin ah, sudah lapar banget nih."

***

"Akhirnya kenyang juga, kalau begitu aku pulang dulu ya Lela, hati-hati kamu di jalan. Sampai jumpa besok lusa," ujar Carissa.

"Ya, kamu juga hati-hati di jalan, sampai jumpa besok lusa juga," ujar Lela. Dengan semangat pulang ke rumah, Carissa mengayuh sepeda. Semilir angin bertiup ringan, membuatnya sangat tenang. Seakan langsung lupa tentang perjodohan dan mimpi itu.

"Paman, Bibi, aku pulang!" teriakku lalu memakirkan sepeda di dekat motor Pamanku.

"Sudah makan?" tanya Rani.

"Sudah kok, Bi. Aku mandi dulu ya."

"Iya, sana." Aku berjalan menuju kamar tidur dan bergegas mandi. Hidupku memang tidak terlalu disiplin, aku sangat benci aturan, sangat benci jika ada orang yang menghalangi apa yang ingin aku mau. Tapi beginilah aku, aku suka dengan kehidupanku, sangat suka. Tetap santai tapi berenergi.

Selesai mandi dan berpakaian aku pun turun kebawah, untuk makan malam sebentar. Ya, aku memang sudah makan tadi, yang ini hanya makan sedikit saja untuk menghargai Bibiku yang sudah masak susah payah untukku.

"Selamat makan," kataku.

"Iya Nak Rissa, makanlah," ujar Daniel, Pamanku.

***

Ku hirup dalam-dalam angin magrib yang sejuk, berharap ini bisa menenangkan pikiranku dan bisa membantu aku menemukan jawaban atas pertanyaan dari Ayahku itu. Sungguh semua ini membuat kepala dan otakku lelah memikirkannya. Disisi lain, aku penasaran bagaimana rupa orang yang dijodohkan denganku itu? Bagaimana jika ia tidak masuk ke dalam kriteriaku? Pasti akan sangat sulit untuk diriku beradaptasi.

TOK ...TOK ... TOK ...

"Ya silahkan masuk."

"Maaf Tuan muda Dirga, Tuan Santoso menyuruh Anda untuk turun makan malam ke bawah," kata sang pelayan.

"Ya, 5 menit lagi aku akan segera kesana."

"Baiklah Tuan muda." Pintu kembali tertutup, "Pasti Ayahku akan menanyakan pertanyaan itu lagi setelah makan malam. Menghancurkan mood saja," gumamku.

Ku hirup lagi udara dan berharap ada ketenangan. "Apa sebaiknya aku menerima perjodohan ini, dengan begini juga Ayahku itu tidak akan menanyakan ini itu. Setelah perjodohan ini, aku tinggal manipulasi saja keadaan dan seolah-olah bahaya wanita itu yang meninggalkan aku, dengan begitu aku bisa bebas."