~Ini lebih menyakitkan ... kehilangan teman sekehidupan. Bye Noe. Kami akan sangat kehilanganmu~
•AGANDARA•
Perjalanan mereka untuk mencapai tempat tujuan di gang X, lebih tepatnya mencari Neo yang entah dimana keberadaannya. Mereka sebagian ada yang menaiki motor dan satu mobil sedan yang dikendarai oleh Gilang serta ditumpangi oleh Rayn, Abra, dan Amon.
Sementara yang naik motor adalah Master A, Alfraid, dan Daniel.
Kecepatan kendaraan mereka sangat tinggi. Dengan kelajuan yang sudah sampai dibatas rata-rata kecepatan. Agandara sudah dipenuhi dengan emosi yang sangat tinggi.
Tatapan mereka sudah bukan tatapan seorang manusia lagi, tapi bagaikan seorang iblis yang tengah murka dan sebentar lagi akan meledek.
Bagaimana tidak, teman kesayangan mereka lagi disekap oleh orang yang pastinya tidak sayang kepada nyawanya. Berani sekali ia menangkap seseorang yang membuat Agandara murka. Ia pasti tidak sayang dengan nyawanya karena ia sedang bermain api dengan Agandara yang pastinya Agandara tak akan memberinya ampun.
Master A menggertakan giginya emosi. Hatinya sudah tak ada malaikat lagi. Ia pastikan orang itu menyesal karena telah menyekap salah satu dari mereka. Noe adalah lelaki periang dimana A tak bisa bayangkan jika Noe ketakutan saat ini.
"Noe, bertahanlah," gumam A.
Tiba-tiba handphone A berbunyi. Secara otomatis A sudah menyambungkan telfon dengan headset bluetooth di telinga bagian kanannya.
"Master, putar sebelah kanan. Disitulah gang X."
"Oke Rayn."
A segera memutar motornya diikuti oleh Alfraid dan Daniel. Namun, mobil yang dikendarai oleh Gilang terpaksa berhenti di depan gang karena jalan pada gang sangat sempit. Mobil mereka tak bisa memasuki jalan gang itu.
Gilang, Rayn, Amon, dan Abra keluar dari mobil. A dan duanya lagi sudah menunggu mereka di dalam gang. Mereka kemudian berjalan dengan Rayn yang memegang tab untuk mencari lokasi dimana Noe disekap.
"Itu mereka!" Amon menunjuk A, Al, dan Niel yang menghampiri mereka.
Tujuh Agandara sudah berkumpul. Kini saatnya mencari dimana keberadaan Noe.
"Rayn, lo udah dapat lokasinya?" tanya A.
"Belum, tapi entah kenapa sinyalnya di sini kuat sekali dengan nomor handphone itu. Lihat." Rayn menyodorkan tabnya kepada A.
Teman-temannya juga ikut melihat. Di dalam tab Rayn, sebuah sinyal merah yang dimana itu mewakili nomor handphone yang menghungi A. Sementara yang sinyal biru menunjukkan gang X.
"Rayn sinyal putih ini?" A dan yang lainnya bingung kala melihat sinyal putih di samping sinyal biru.
Rayn segera mengecek sinyal itu. Rayn membulatkan matanya. "Sinyal putih? Teman-teman ini aneh, gue gak pernah ngasih kode putih di tab gue, tapi kenapa sinyal ini tertangkap oleh tab gue?" Rayn juga bingung.
"Sepertinya, seseorang telah meretas tab lo," tebak Gilang.
"He-eh. Gue setuju banget ama ucapan Gilang," sahut Abra.
"Mungkin...." mereka menatap Niel.
"Gue tahu! Apa mereka sengaja ngasih kode supaya kita tahu dimana keberadaan Noe." Kali ini Alfraid yang menebak.
Semua mengangguk setuju dengan tebakan Al.
"Tapi kenapa?" Amon tiba-tiba bertanya membuat semuanya jadi bingung dan bertanya-tanya kenapa mereka memberitahu tempat Noe disekap.
"Gue ngerti. Ini pasti jebakkan. Mereka memberi kita kode melalui sinyal putih. Jadi, jika itu putih ...." Abra menunjuk sebuah poster di depan mini market.
"Gudang gula putih!" ucap mereka serempak.
"Jadi, mereka menjebak kita? Mereka tidak menjebak Noe di sini, tapi digudang gula terbengkalai?" tanya Niel.
Semua mengangguk.
"Iya, tapi gue yakin orang yang menelfon itu tadi pasti ada di sini," tebak Alister.
"Kalo begitu mereka ... pasti...."
A memberi kode dengan telapak tangan yang diputar ke kanan yang berarti mereka harus berpencar. Tiga yang tinggal dan mencari tahu tentang gang X dan yang empat yang menuju ke tempat gudang putih.
Mereka berpencar dengan Rayn, Amon, dan Gilang yang tetap berada di gang X. Sedangkan A, Alfraid, Niel, dan Abra menuju gudang putih.
Mereka tersenyum smirk.
Rayn berjalan duduk di trotoar gang. Menompang tab pada pahanya. Gilang dan Amon pergi menelusuri tempat gang X tersebut. Mereka sudah menyusun rencana.
Rayn terus mengotak-atik tabnya dengan handphonenya. Sebuah cip Rayn masukkan ke dalam tabnya untuk mencari tahu apakah tabnya itu sudah diretas atau tidak. Tab milik Rayn itu bukan sembarang tab, tapi tab yang sudah dibekali sebuah jaringan yang dapat meretas apapun tanpa menggunakan laptop atau komputer.
Jadi, Rayn memindai tabnya seperti laptop. Menurut Rayn membawa laptop itu menyusahkan. Itulah kenapa ia memindai tabnya seperti laptop agar ia tak kesusahan.
Rayn melihat tabnya sudah diretas, kini dirinya yang akan meretas balik jaringan teknologi mereka.
"Bravo!" Hanya jari yang menari di atas tabnya membuat semua kembali normal. Rayn berhasil meretas kembali jaringan yang berani meretas tabnya.
"Inilah akibatnya jika kalian bermain-main dengan Rayn sang peretas handal," gumam Rayn. Kini ia yang memiliki semua jaringan yang meretas tabnya.
Kemudian Rayn kembali meneliti jaringan itu. Meresuk lebih ke dalam jaringan.
Mata Rayn tiba-tiba membulat sempurna kala seseorang memegang punggungnya dari belakang.
"Rayn," panggil orang itu.
Rayn menghembuskan nafasnya kala melihat seseorang itu adalah Amon. Namun, dimana Gilang.
"Amon? Lo ngapain?" tanya Rayn.
Amon menjongkok membisikkan sesuatu.
"...."
"Sudah saatnya," batin mereka berdua tersenyum sinis.
Rayn dan Amon segera berlari entah kemana. Menelusuri setiap persudut gang. Mereka berlari sangat cepat. Sesampai mereka di tempat yang mereka tuju yaitu dimana seorang lelaki berdiri. Dia adalah Gilang.
Lelaki itu kembali berkumpul.
"Gue dan Amon udah temukan markas mereka," ucap Gilang.
"Jadi, tinggal nunggu Master dan yang lainnya," sahut Amon.
"Mereka pikir bisa menipu kita. Lagipula ini membuahkan hasil. Gue yang sekarang mengontrol jaringan mereka." Rayn tersenyum sinis.
"Kerja bagus Rayn!" Amon dan Gilang merangkul Rayn dengan senang.
Tak lama kemudian seorang lelaki datang dengan topeng di wajahnya. Kedatangan lelaki itu yang tiba-tiba membuat mereka terkejut.
"Kalian memang pintar," ucap lelaki itu.
"Bukan seperti kalian. Dasar bego!" celetuk Amon.
Lelaki itu berjalan lebih dekat ke arah Amon, Rayn, dan Gilang. Tangan lelaki itu merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah pistol.
"Aku akan menghabisi kalian," ujarnya.
Gilang mendorong Rayn, dan Amon ke belakang. Gilang maju ke depan dengan senyum sinisnya. Gilang menghampiri lelaki itu lalu mengambil tangan lelaki bertopeng itu yang sedang menodongkan pistol ke arah mereka lalu mengarahkannya pada dadanya.
"Tembak! Ini gue lebih permudah buat lo."
Lelaki itu mengernyit dengan tingkah Gilang. Sungguh tidak takut mati.
"Baiklah kalo itu mau lo." Belum juga lelaki itu menarik pelatuknya,
SRET!
Lelaki itu membulatkan matanya kala sebuah pisau menusuk bagian ginjalnya. Lantas Gilang mengambil senjata lelaki itu dan kembali menodongkan ke arah lelaki itu.
Tubuh lelaki itu berdiri terbujur kaku melihat lelaki di belakangnya yang tengah tersenyum miring ke arahnya. Detik kemudian lelaki itu ambruk seketika dengan darah yang mengucur pada bagian tubuh yang tertusuk.
"Huh! Syukur lo datang," ujar Gilang mengantongi pistol itu.
"Tahu gue deg-degan kalo beneran lelaki itu mau nembak Gilang," sahut Rayn.
"Gue akan selalu tepat waktu untuk melindungi kalian." A memeluk tiga temannya itu menyalurkan kasih sayangnya.
Pelukan itu terlepas setelah sekian detik mereka berpelukkan.
"Mana Alfraid, Abra, dan Niel?" tanya Amon.
"Mereka sudah memasuki ruangan itu. Mari kita susul," ajak A.
"Arghhh!...."
Mata mereka membulat kala suara yang sangat familiar terdengar begitu saja.
"Noe!"
PUK! PUK! PUK!
Suara tepuk tangan terdengar menggema di dalam ruangan itu. Siapa lagi pelakunya kalo bukan Alister. Agandara terkejut bukan main kala melihat Noe yang diikat di kursi dengan tangan yang penuh darah.
Emosi Agandara meledek melihat wajah Noe yang kesakitan. Darah seolah mendidih ingin sekali membogem wajah manusia brengsek yang telah berani mengganggu ketenangan mereka.
Niel yang sudah tak tahan lagi melihat Noe yang kesakitan bergerak untuk mengeluarkan jurus tekondonya. Namun, terhalangi oleh Gilang yang menahan tubuhnya.
"Lang! Kok lo nahan gue sih. Lihat Noe kasihan dia." Niel meronta di dalam dekapan Gilang yang menahannya.
"Sabar Niel! Biar Master yang atur. Master gak mau lo kenapa-napa. Sudah cukup Noe." Gilang mencoba menenangkan Niel yang hilang kendali.
A mengernyit heran melihat seorang paruh baya berdiri di samping Noe dan seorang lelaki yang ditakuti oleh Noe di kampus yang bernama Aldo tengah berdiri di samping paruh baya.
"Kalian punya nyali juga menculik salah satu dari kami?" A berjalan selangkah. Matanya tak henti melihat tubuh Noe yang tak berdaya.
Lelaki paruh baya itu tersenyum smirk lalu mendekati A. "Nyali itu tidak tergantung pada usia. Kalian itu, pemuda-pemuda yabg bodoh! Jangan ikut campur karena Noe itu urusan kami. Noe adalah keluarga kami."
"Sepertinya kau terlalu banyak bicara. Omong kosong! Jika memang benar Noe adalah keluargamu kau tak akan memperlakukannya seperti itu." Tiba-tiba Niel menyahut yang mampu menyulut emosi kakek tua itu.
"Lepaskan Noe. Ini kesempatan terakhir kalian," ucap A.
"Kalo kami gak mau, lo mau apa?" Lelaki bernama Aldo itu dengan sadisnya menginjak tangan Noe yang berdarah.
"Argahh!...." teriak Noe kesakitan.
"BEDEBAH KALIAN! MAJU!" A memerintahkan Agandara untuk bertindak.
Agandara sudah tahu bahwa mereka habis menyiksa Noe dengan memotong jari-jari Noe. Betapa teririsnya hati mereka mengetahui kenyataan bahwa Noe....
"Gue gak bakal ampuni kalian. Kalian harus tahu itu!" A sepertinya sudah hilang kendali. Ia menerjang dengan brutalnya para anak buah penculik Noe.
Setelah merasa ada celah untuk menghampiri Noe, A segera bergegas menghampiri lelaki itu dan meninggalkan yang lainnya untuk menjalani sisa-sisa manusia brengsek itu.
Aldo dan lelaki paruh baya yang diketahui adalah Ayahnya malah kabur lari terbirit-birit dengan takutnya kala melihat anak buahnya terjatuh dalam hitungan detik akibat ulah Agandara. Lebih baik mereka kabur daripada harus menjalani keadaan seperti anak buahnya. Dasar egois.
"Noe, lo gak apa-apa, 'kan?" tanya A khawatir. Lalu melepaskan semua ikatan Noe.
Noe menggeleng pelan. "Mereka adalah pa-paman g-gue A. M-mereka te-telah membunuh k-kakek gue," ucap Noe terbata-bata.
Master A memeluk Noe. Memberi kehangatan kepada lelaki itu. "Lo bertahan, ya?" Noe mengangguk pelan.
Namun, tanpa A sadari seorang lelaki yang yang masih bernyawa menodongkan pistol ke arah A. Noe yang melihat itu terbelalak.
BRUK!
DOR!
DOR!
A terpaku melihat tubuh Noe tertembak. Agandara lansung bungkam dengan mata yang berkaca-kaca.
"NOE!" Agandara langsung menghampiri Noe.
Sedangkan Gilang yang sudah emosi menembak lelaki itu dengan brutal hingga peluru di dalam pistolnya habis.
Niel menangkup pipi Noe. "Noe? Buka mata. Jangan tinggalin Agandara. Lo..." Pecah sudah tangis Niel dan Agandara. Bergantian memeluk tubuh Noe.
Noe tak berdaya lagi. Denyut nadinya tak bisa dirasakan oleh Abra. Nafas dan degup jantung Noe tak terasa lagi oleh Agandara.
"Noe!"
"Tidak Noe! Lo harus bangun!"
"Noe, lo bercanda, 'kan? Lo gak mati, 'kan? Lo...."
"Noe buka mata lo. Kalo gak gue nangis nih."
"Noe, siapa teman gue yang petakilan? Gue masih ingin bersama lo Noe."
"Plese lo jangan jangan pergi. Agandara gak utuh tanpa lo."