"Bapak sengaja mengumpulkan kalian semua di sini. Sebagaimana sekolah yang penuh rasa solidaritas, sekolah kita akan berbagai amal, kepada orang-orang yang kekurangan," ucap kepala sekolah yang diketahui bernama Mortys.
Pak Mortys merupakan guru yang berasal dari australia. Lebih tepatnya blasteran Autralia dan indonesia. Setelah banyak menempuh pendidikan di luar negeri, ia kemudian pindah ke tanah lahirnya untuk menggapai mimpinya menjadi kepala sekolah. Sehingga, impiannya itu tercapai. Ia menjadi kepala sekolah di sekolah swasta lencana bangsa internasional.
Anak-anak dan guru pembimbing yang ada di sini hening mendengarkan pak Mortys yang berbicara.
"Kita di sini ingin mendiskusikan di mana kita akan berbagi amal. Satu lagi, sekolah kita tidak akan sendiri, murid-murid dari sekolah tuba akan bersama-sama dengan kita dalam misi ini," jelas pak Mortys.
"Kalian yang terdiri dari 60 orang ini. Dua perwakilan dari masing-masing kelas ada yang ingin mengajukan dimana kita akan berbagi amal?" tanya pak Mortys.
Sherly dari kelas 1C mengangkat tangan. "Bagaimana kalo panti asuhan pak," usulnya.
"Itu boleh juga," sahut pak Mortys.
"Sepertinya kita harus mencari orang-orang yang tak hanya membutuhkan uang, tetapi juga batuan kita," timpal murid kelas 1B bernama erral.
"Lalu bagaimana menolong di sandangbilitas," usul Gara.
"Usulan kalian bagus-bagus semua, tapi kita akan membagi 60 orang ini dalam berbagi amal pada dua tempat. Jadi, semua dibagi 30 dan 30 orang. Kita akan memilih dua tempat berbagi amal," jelas pak Mortys sekali lagi.
Tiba-tiba Jie mengangkat tangan. "Bagaimana kalo kita ke panti jompo dan melihat para anak-anak panti asuhan, pak? Lagipula kita juga akan di temani dengan murid-murid sekolah tuba. Pasti mereka juga akan memilih dua tempat. Pak Kepala sekolah bisa memberi tahu mereka untuk memilih tempat lain dan setengah dari mereka akan membantu kita," usul Jie.
Saat mendengar usulan Jie, pak Mortys dan anak-anak lain tersenyum mendengar usulan Jie. Terlebih A yang kini angkat suara. "Pak, saya setuju dengan usulan Jie."
"Iya pak, kami setuju usulan Jie!" seru murid-murid lain serempak.
"Baiklah. Bapak juga setuju pada usulan Jie, kita akan memilih dua tempat, yaitu panti jompo dan panti asuhan." Jie tersenyum saat usulannya itu di terima dengan baik oleh kepala sekolah juga teman-temannya.
"Baiklah. Diskusi untuk hari ini selesai. Buat pembagian dua tim akan diumumkan sepulang sekolah. Jadi, kalian ini gak boleh pulang sekolah dulu, tunggu pengumumannya."
"Baik pak!" seru mereka serempak.
Selepas keluar dari kantor kepala sekolah. 60 siswa dan siswi itu malah memilih untuk ke kantin. Tak ada angin tak ada hujan, Gilanglah yang mengajak anak-anak itu ke kantin dengan alibi Ia yang akan mentraktir.
Sudah tentu mereka tergiur dengan ajakan Gilang. Ini adalah kesempatan untuk makan banyak. Akh! Terserahlah dengan kelas yang pasti menunggu mereka.
"Lo mau ikut?" tanya arsy kepada temannya bernama Beny. Lelaki tampan, tapi bertubuh pendek. Ada perasaan ragu mengenai traktiran makan di kantin itu, bukan apa-apa, Arsy hanya takut kepada guru yang pasti sekarang ini sedang menunggu mereka.
"Udah! Jangan dipikirin. Bilang aja Gilang yang ngajak. Guru-guru itu pasti gak bakal marahin kita. Tenang aja sy," jawab Beny seraya merangkul sahabatnya itu.
Arsy hanya diam aja. Tak ada niat untuk membalas ucapan Beny. Meski ia berbicara lagi, Beny tetap tak akan menghiraukannya. Beribu alasan lelaki itu berikan untuk bisa makan dengan grastis. Siapa pun pasti mau makanan gratis bukan?
Sementara itu, A yang ikut dengan kakaknya di kantin mengambil duduk di samping Jie yang sibuk dengan handphonenya. Sangking sibuknya gadis itu, ia belum sadar akan kehadiran A di sampingnya.
Mata A seketika membulat saat Guan juga duduk di samping Jie. Entah kenapa, A juga tidak tahu. Seperti ada rasa tidak suka jika Guan terus mendekati Jie.
Gilang menepuk tangannya tiga kali membuat perhatian tertuju kepadanya. Kini, 60 siswa dan siswi itu sudah duduk memenuhi setiap meja dan kursi di kantin.
"Kalian boleh memesan apapun! Terserah, aku yang akan mentraktir kalian," ucap Gailang agak sedikit berteriak.
Murid-murid itu pun bersorak ria dan segera memesan makanan mereka. Tiga pelayan dan dua koki itu langsung beraksi di dapur untuk membuat makanan yang enak untuk murid-murid yang memesan makanan yang cukup banyak ini.
Gilang mengambil buku menu kala seorang pelayan datang ke mejanya.
"Saya ingin memesan sate lima porsi, juga spageti," ucap Gilang.
Berbeda halnya dengan meja A, Jie, dan Guan yang belum di datangi pelayan karena meja mereka berada paling ujung pada bagian depan. A terus melihat Jie yang sibuk dengan handphonenya hingga membuat A kesal. A akhirnya memilih pindah dengan seorang gadis yang dari tadi diam dan sendiri di mejanya.
"Kau sangat sibuk ya?"
"Hmmm?" Jie mendongak, tapi yang ia lihat adalah A yang berjalan ke arah seorang gadis. Lantas ia melihat ke sampingnya.
"Siapa yang---." Ucapan Jie terpotong ketika melihat Guan yang duduk di sampingnya. Matanya berubah menjadi tajam menatap Guan yang juga menatapnya.
"Lo? Ngapain duduk di sini?" sarkas Jie.
"Lah? Terserah gue dong. Lagipula kantin ini bukan milik orangtua lo. Seenaknya! Dasar!" celetuk Guan tak kalah pedas.
"Biasalah. Biasa aja!" ucap Jie penuh penekanan. Ia kemudian pindah kursi di samping A dan gadis pendiam itu. Sebelum itu, ia mendorong Guan hingga terjungkal ke belakang membuat Guan menjadi bahan tertawaan. Bahkan A sempat terkekeh atas tingkah konyol Jie itu.
"Jie! Awas lo!"
"Enak? Rasain! Makanya jangan suka nyakitin hati wanita, 'kan kena karma jadinya. Hhehe." Jie terkekeh.
"lo malu-maluin aja!" Celetuk seorang lelaki.
Guan bangkit dari jatuhnya, kemudian menatap garang laki-laki itu tadi. "Lo disana diam aja," ucapnya sembari menepuk-nepuk celana yang jadi kotor.
"Jie, hajar lagi!" seru laki-laki yang sama yang menghina Guan tadi.
Jie menaiki alisnya sebelah. "Tunggu! Lo siapa?"
"Kakekmu!" Ejek lelaki itu.
Seketika mata A membulat dengan hati yang berdegup sangat cepat. Disusul dengan lelaki itu yang juga ikut berdiri.
"Bryan?" tanya Jie.
"Yeah! Lo ingat juga!"
Jie dan lelaki yang bernama Bryan itu saling berpelukan. Bahkan, mata-mata anak-anak tersebut langsung melotot kala Bryan menggendong Jie seperti anak kecil.
Tak terkecuali dengan A yang sudah merasakan hawa panas memenuhi tubuhnya terutama pada bagian hati. Tatapannya terus menatap Jie dan Bryan tanpa lengah sedikitpun.
Kembali kepada Jie dan Bryan yang berhenti berpelukan.
"Lo kok bisa ada di sini?" tanya Jie dengan senyum merekahnya.
Bryan adalah sahabat masa kecil Jie yang sudah lama tak ia jumpai. Karena lelaki itu pindah ke Amerika saat mereka tamat dari SD. Dan sekarang Bryan tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka membuat Jie bingung sekaligus senang, karena ia bisa bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya itu.
"Hmmm, apa hayo? Coba tebak?"
"Ihk, ryan kebiasaan deh."
"Gue sama keluarga gue udah pindah ke sini dua bulan yang lalu, tapi aku gak bisa nemuin alamat rumah kalian. Aku bersekolah di sekolah tuba. Dan aku dikirim menjadi parnert kalian berbagi amal," jelas Bryan.
"Yang benar saja? Aku sangat merindukanmu Bryan. Kami sudah pindah dekat kompleks melati."
"Pantesan. Rumah kalian dulu udah di tempati orang lain. Aku juga merindukanmu Jie." Jie dan Bryan kembali berpelukan.
"Tadi aku melihatmu di kantor. Usulanmu bagus."
"Hah?"