Chereads / MALPIS / Chapter 55 - Chapter 49 - Men Fighting

Chapter 55 - Chapter 49 - Men Fighting

Alya melihat jam dinding di depan televisi sudah menunjukkan pukul 8.40 malam dan Ben belum juga pulang. Ia menghubungi suaminya untuk bertanya keberadaannya. Beberapa kali ia menunggu teleponnya tersambung namun tidak dijawab. Alya mencobanya sekali lagi dan tetap saja pria itu tidak menjawab teleponnya. Ia memutuskan untuk makan lebih dulu, karena ia sudah cukup lapar.

Alya menggoreng telor mata sapi dengan nasi putih serta kecap manis. Ia membawanya ke depan televisi. Seketika ia teringat dengan Dewa. Ia tahu bagaimana kesepiannya makan seorang diri. Helaan napasnya terdengar disana.

Arif menelepon atasannya. Beberapa saat ia menunggu namun teleponnya tidak diangkat. Ia meneleponnya sekali lagi dan akhirnya pria itu menjawabnya.

"Ada apa, Rif?" Tanya Ben setengah berteriak.

Arif mendengar suara berisik diseberang telepon itu. Ia tahu itu adalah suara musik. "Foto Roy sudah didapat, Pak." Ia menyampaikan pesan itu.

"Oh iya sudah, bagus. Saya tidak menyangka secepat ini. Besok saja kita bicara dikantor." Ben menutup teleponnya.

Arif menatap layar ponselnya damn membayangkan atasannya sedang menghabiskan waktu berdua dengan Elena. Arif menahan rasa bersalah sekaligus kasihannya pada Alya. Ia menelepon wanuta itu. "Halo, buk." Sapanya lembut.

"Iya, ada apa Arif?" Alya baru saja selesai mencuci piring bekas makanannya. Rasa was-wasnya muncul karena Arif yang meneleponnya tiba-tiba. Ia takut akan mendengatkan berita yang tidak mengenakan. Ia selalu punya perasaan itu.

Arif diam sejenak. Ia mengumpulkan keberaniannya. "Buk, sepertinya bapak akan pulang terlambat malam ini. Karena beliau ada meeting mendadak dengan klien di hotel." Ia tahu kalau wanita itu pasti menunggu suaminya pulang. Dan ia juga tahu kalau atasannya pasti tidak memberitahu keberadaannya seperti yang sudah-sudah.

Alya merasa lega. Senyumannya mengembang tipis. "Oh, saya kira ada apa kamu telepon. Iya, gak apa. Terima kasih ya sudah beritahu saya." Serunya lembut.

Arif menahan rasa ibanya yang siap meledak. "Bapak pesan, ibu jangan menunggu bapak pulang. Ibu bisa tidur lebih dulu." Tambahnya.

Terdengar tawa Alya pelan. "Hahaha... oke. Bilang bapak hati-hati ya pulangnya." Pesan Alya.

"Iya, buk." Arif menarik napas dalamnya. "Selamat malam, buk." Ia menyudahi sambungan telepon itu. Ia berharap atasannya bisa dengan segera membuka mata dan menyadari betapa istrinya begitu baik.

Roy membuka pintu kamar hotelnya. Ia melihat seorang wanita muda dengan pakaian seksi berdiri didepannya. Senyuman keduanya saling menyahut. Roy membuka pintu kamar hotelnya lebih besar untuk mempersilahkan wanita itu masuk.

***

Dewa menunggu diatas motornya dengan gelisah. Ia melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 10.28 malam dimana ia sudah menunggu selama dua puluh menit dari jam pulang kerjanya. Dewa ingin memastikan kalau Ben atau pun Elena kembali ke hotel. Ia ingin melihatnya dengan jelas agar kecurigaannya terbukti. Dewa bahkan memindahkan motornya agar menyudut dan lebih leluasa.

Roy sedang melampiaskan gairah dan nafsunya kepada wanita yang datang menemuinya tadi. Ia tidak bisa melakukannya dengan Elena hingga ia harus melakukannya dengan orang lain.

Tiba-tiba pintu kamar hotelnya dibuka dari arah luar dan segerombolan orang berpakaian santai lengkap dengan jaket kulit masuk ke dalam kamar, kemudian langsung menangkap basah Roy dan wanita itu tengah diambang surgawi. Roy terpaksa menghentikan aktifitasnya dan langsung mengenakan pakaian lengkapnya. Mereka dibawa ke kantor polisi.

Sebuah mobil sedan menuruni basemen dan memarkirkan mobilnya. Dewa menundukkan kepalanya karena sorot lampu sedan itu. Ia mengintip dan melihat Elena dan Ben turun dari mobil yang sama. Dewa sudah tidak bisa menahan emosinya. Bahkan kedua orang itu berjalan dengan santai menuju lift. Dewa mengejarnya. Ia melihat lift itu bergerak menuju lantai tujuh belas. Ia ingin menyusulnya.

Dewa tiba dilantai tujuh belas dan ia mengelilingi koridor itu untuk menemukan Ben disana. Sayangnya tidak ada pergerakan ataupun suara. Disana juga tidak ada yang mencurigakan. Dewa yakin mereka berdua ada didalam salah satu kamar. Hanya saja ia tidak mungkin mengetuk semuanya. Dewa tidak menyerah. Ia kembali mengelilingi koridor itu hingga sebuah bunyi pintu menyeruak. Dewa bersembunyi dan mengintip perlahan. Sosok Ben baru saja keluar dari salah satu kamar. Bahkan wajah pria itu mengumbar senyum. Dewa menatap Ben yang sedang berjalan menuju lift. Ia mengikuti pria itu dan melihat lift itu berhenti dilantai enam yaitu area perkantoran.

Dewa berdiri didepan sebuah kamar dengan nomor 1702. Ia mengetuk pintu kamar itu dan menunggunya sesaat. Daun pintu itu dibuka dan Elena muncul masih dengan dress yang sama. Dewa mengencangkan rahangnya melihat Elena berdiri didepannya.

"Siapa ya?" Tanya Elena dengan wajah bingung.

"Maaf, salah kamar." Dewa pergi begitu saja menuju lift dan meninggalkan Elena yang keheranan.

Dewa berjalan di koridor lantai enam. Langkah kakinya menbawanya ke depan sebuah ruang bertuliskan Benjamin Malpis. Ia membuka pintu itu dengan paksa.

Ben menoleh kaget ke belakang ketika ia mendengar pintunya dibuka. Ia tengah memasukkan beberapa kertas dokumennya ke dalam tas kerjanya untuk dibawa pulang.

"Ada apa kamu kesini?" Ada sedikit keraguan dan kekhawatiran diwajahnya saat melihat bocah itu menatapnya dengan serius.

Dewa melangkah mendekati Ben dengan kepalan tangannya yang sudah mengeras. Ia memukul Ben dengan brutal hingga pria itu jatuh.

"Anda sudah menikah tapi kenapa anda masih berduan dikamar dengan mantan istri anda?!?" Teriak Dewa emosi.

Ben memegang wajahnya yang kesakitan. "Itu bukan urusan kamu." Ia mencoba berdiri.

"Seharusnya anda tidak melakukan itu!" Dewa memukul pria itu sekali lagi.

Ben terpancing. Ia tidak mau kalah dengan bocah SMA. Ia bangkit dan memukul Dewa dengan kuat hingga bocah itu tersungkur dibawah meja kerjanya. "Kamu tahu apa?!" Bentak Ben. Ia melepaskan jas kerjanya dan meletakkannya diatas meja.

Dewa tidak tinggal diam. Ia berdiri dan menendang perut Ben dengan sepatunya hingga meninggalkan bekas di kemeja putih itu. "Kalau anda masih cinta dengan Elena kenapa menikah dengan perempuan lain!" Tegasnya. Ben terjatuh di atas kursinya yang beroda hingga kursi itu terseret menghantam lemari kabinet dibelakangnya. Dewa meraih kerah baju itu dan memukul Ben dengan emosi. "Harusnya anda tidak menikah!"

Ben melepaskan tangan Dewa dari kerah bajunya lalu ia mendorong tubuh itu dengan kuat. Bocah itu mundur beberapa langkah. Ben menarik kerah baju Dewa kembali dan memukulnya beberapa kali hingga Dewa terjatuh diatas sofa tamunya. Ben membuka kancing lengan kemeja dan kerahnya. Ia menahan pukulannya karena ia melihat wajah Dewa sudah berdarah dan lebam dibeberapa tempat. "Kamu kenapa sebenarnya?" Tanyanya setengah berteriak. "Kamu tidak perlu tahu kenapa saya menikah!"

Dewa menyeka darah yang mengalir dari bibir bawahnya. Terlintas dibenaknya wajah wali kelasnya. Ia bangkit dan menendang tulang kering Ben dengan kuat hingga pria itu mengerang kesakitan dengan sedikit menunduk. Dewa memanfaatkan situasi itu, ia memukul wajah Ben beberapa kali hingga pria itu mengeluarkan darah dibagian hidungnya. Setelah itu ia mendorong tubuh Ben dan terjatuh ke lantai tepat didepan jendela besar.

Dewa merasa puas. Ia merasa emosinya sudah terbayar sudah. Ia pergi meninggalkan tempat itu.

***

Ben masuk ke dalam apartemennya dan melihat lampu ruang tengahnya sudah padam. Ia meletakkan tasnya kerjanya diatas sofa dan langsung menuju kamarnya. Ia melihat Alya sudah teridur. Ia berjalan ke arah kamar mandi dan melihat tampilan wajahnya yang lebam dan sangat hancur. Lukanya kali ini tiga kali lipa lebih parah daripada waktu ia berkelahi dengan Roy.

Ben membuka jasnya dan ia melihat tanda sepatu disana. Dengan kesal ia membuka kemejanyanya dan mencampakkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Terlihat bekas merah diperutnya karena tendangan keras dari Dewa. Ia mencuci wajahnya dengan penuh tanya dengan sikap bocah itu.

Alya sudah duduk ditepi tempat tidurnya saat ia mendengar suara air dari dalam kamar mandi. Wajahnya sangat terkekut ketika ia melihat suaminya babak belur. "Astaga, Ben kamu kenapa lagi sebenarnya?" Tanya wanita itu panik.

"Aku tidak apa-apa." Ia menuju dapur untuk meneguk segelas air dengan handuk yang menggantung di pinggangnya.

Alya mengikuti langkah suaminya. "Kamu ada masalah apa. Sudah dua malam kamu pulang seperti ini." Kepanikan Alya berubah histeris.

"Aku gak apa, Alya. Sudahlah aku capek dengar pertanyaan kamu." Elak Ben. Setelah meneguk air putih itu, ia kembali ke kamar.

Alya masih mengejar Ben. Ia tidak suka suaminya memberikan jawaban singkat dan membingungkan. "Kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?" Ucapnya lugas.

Ben menoleh dengan gugup. Namun helaan napasnya seolah memberikan tanda kalau dirinya lelah. "Kamu tidak usah memperpanjang masalah ini. Aku capek, paham!" Tegasnya dengan lantang.

Mendapatkan jawaban itu dari suaminya, Alya mengalah. Ia menyudahi percakapam itu. Mereka sama-sama berbaring diatas tempat tidur. Alya menghadap suaminya dengan tangan terlipat disela bantal, namun pria itu malah membelakanginya.

***

Dewa berdiri didepan cermin kamar mandinya. Wajahnya bengkak dan lebam dibeberapa tempat. Bahkan bibir bawahnya juga terlihat jontor sedikit. Ia tetap harus sekolah hari ini walaupun dengan kondisi seperti itu, sebab hari ini adalah hari terakhir kegiatan belajar disekolah sebelum ujian semester di hari senin.

Alya sudah berpakaian rapi dan menyandang tas kerjanya. Ia menoleh ke arah Ben sekilas. Ia tidak ingin membangunkan pria itu. Ia hanya mendekat dan menciumnya tipis sebagai tanda pamitnya. Perlahan ia pandangi wajah itu. Hembusan napasnya melerai disana, karena ia sangat khawatir dengan pria itu.

Langkah kaki Alya semakin menjauh dan terdengar suara pintu ditutup. Ben membuka matanya. Ia menengadah ke langit kamarnya dan menghembuskan napas beratnya beberapa kali. Ia mengingat bentakan dan kalimat kasarnya pada Alya tadi malam. Bukan niatnya untuk melakukan itu. Tapi melihat perhatian Alya yang begitu besar padanya, membuatnya merasa tidak berhak. Belum lagi wanita itu seolah mengetahui sesuatu yang dirinya sembunyikan. Semakin membuat Ben tidak nyaman. Makanya ia membentak Alya untuk melampiaskan ketidaknyamanannya itu.

Ponsel Ben berbunyi dan ia melihat nama Arif muncul sepagi ini. "Ada apa, Rif?" Tanyanya masih dengan suara parau.

"Pak, Roy ditangkap polisi tadi malam di Hotel Aryiz." Ucap Arif lugas.

"Hah?" Ben bangkit dari posisi baringnya. Tiba-tiba rahangnya sakit dan membuatnya meringis. "Kamu bicara apa?" Tanyanya menyakinkan.

"Roy ditangkap karena terlibat protitusi anak dibawah umur. Hotel Aryiz dikepung Media saat ini." Terdengar nada khawatir disana. "Anda dimana sekarang?"

"Saya dirumah." Ben berdiri dari tempat tidurnya. "Ya sudah." Ia mematikan sambungan teleponnya. Ia beralih ke arah kamar mandi dan bersiap.

Ben masuk ke dalam kamar Elena dengan menggunakan kartu master cardnya. Ia tidak melihat wanita itu ditempat tidur, namun terdengar suara bunyi air. Ben sedikit lega. Ia menunggu di kursi meja sudut.

Tak lama Elena keluar dengan pakaian mandinya dan ia melihat Ben sudah ada dikamarnya. Komentar pertamanya adalah. "Wajah kamu kenapa?" Ia mendekat.

Ben menatap Elena. Ia bisa mencium aroma sabun yang melekat ditubuh wanita itu. "Aku kemarin dipukul sama karyawan." Ceritanya.

"Siapa karyawan yang berani pukul kamu?"

Ben menggeleng. "Ada. Tapi ini gak ada hubungannya sama kamu." Ia memberikan senyumannya agar wanita itu tidak begitu khawatir.

Elena mengelus wajah itu dan posisi mereka begitu dekat. Tiba-tiba Ben teringat dengan pertengkarannya dengan Alya tadi malam. Ia berdiri dari kursi itu dengan segera dan sedikit menjaga jarak dengan Elena. "Kamu sudah mendengar berita soal Roy?" Ia mengalihkan pembicaraan.

Elena mengangguk. "Sudah. Teman aku di Bali tadi pagi baru telepon. Berita ini sudah sampai ke sana." Jawabnya. "Semenjak Roy di Jakarta, dia kenal beberapa orang. Dan salah satunya germo yang memang sudah menjadi target operasi polisi selama ini. Roy terjebak didalamnya." Jelasnya panjang lebar.

Ben mengangguk paham. Ia tidak perlu khawatir lagi. "Untuk sementara kamu aman, setidaknya sampai masalah Roy bergulir."

Elena mengangguk dengan senang hati. Ia berharap Roy bisa mendekam di sel tahanan agar berjauhan dengannya. Elena berbalik dan bersiap untuk menukar pakaiannya.

Ben merasa waktunya disana sudah habis. Ia melegakan tenggorokannya sesaat. "Kalau gitu aku keluar dulu." Ia berjalan ke arah pintu tanpa menoleh belakang.

Mendengar pintu itu ditutup, Elena menoleh. Tak ada guratan tawa maupun senyuman disana. Ia merasa ada yang berubah dengan pria itu. Sentuhannya tadi seolah tidak membuat Ben terpancing seperti biasanya.

Ben mengatur napasnya saat ia menunggu lift. Pikirannya saat ini membayangkan Elena, namun kenapa wajah Alya tadi malam selalu muncul dibenaknya. Ben tidak tahu kenapa ia mengalami hal ini.

***

Alya tiba disekolahnya. Ia memarkirkan motornya ditempat biasanya. Ia meletakkan motornya dengan rapi agar tidak menghalangi motor lain yang akan parkir nantinya. Hingga telinganya mendengar suara motor Dewa yang sudah dihapalnya. Ia menoleh ke arah gerbang dan kaget melihat wajah bocah itu tidak karuan. Kening Alya bahkan berkerut dan tidak bisa tergambarkan lagi bagaimana wajahnya. Rasa ingin tahu sekaligus memarahi datang bersamaan saat ini. Namun karena kejadian ia menampar bocah itu tempo hari, ia malu untuk memulai lebih dulu.

Alya baru saja keluar dari kelas sepuluh dan menyelesaikan jam mengajarnya disana. Ia berjalan ke arah majelis guru, namun ia tidak menyadari kalau Kepala Sekolah mengikutinya dari belakang. Alya meletakkam buku mengajarnya diatas meja.

"Ibu Alya." Panggil Kepala Sekolah yang mendekat ke arah mejanya.

Alya menoleh kaget. Bagaimana bisa Kepala Sekolah menemuinya disini. "Iya, ada apa pak?" Ada rasa segan dan takut yang muncul berbarengan.

"Tadi saya lihat Dewa, kenapa dengan wajahnya?' tanya Kepala Sekolah dengan kening berkerut.

"Hmm... itu saya masih belum tahu, Pak." Alya merasa menyesal karena ia tidak melawan egonya dan bertanya pada Dewa.

"Tolong ibu lihat, ada apa dengan Dewa sebenarnya, sepertinya dia habis berantem. Jangan sampai ada hubungannya dengan polisi." Pesannya.

Alya mengangguk paham. Ia mengerti maksud Kepala Sekolahnya. Pria itu pergi dan menemui guru yang lainnya. Alya membuka ponselnya lalu mengirimkan pesan pada Dewa.

Temui saya dikantor setelah bel pulang.

Ia mengirimkan pesan itu dan berharap Dewa tidak menghindarinya.

***

Roy masuk ke dalam kantor atasannya sambil membawa amplop berwarna cokelat berukuran sedang. "Permisi, Pak. Ini foto yang semalam diambil di Hotel Aryiz." Ia menyerahkannya kepada pria itu. Ia memperhatikan wajah yang bertambah parah itu. Tadi pagi ia sempat menanyakan darimana asal luka itu, namun Ben tidak menjawab dan membuat Arif tidak ingin bertanya lebih lanjut.

Ben membuka amplop itu lalu melihat beberapa lembar pertama dari sekian banyak yang diambil. Ia tidak berkomentar dan hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyelesaikan gambar itu hingga akhir. Ia memasukkanya kembali dan menyimpannya ke dalam lacinya.

"Simpan saja untuk jaga-jaga." Kata Ben.

Arif mengangguk paham. Ia tidak memiliki apapun untuk disampaikan lagi kepada pria itu. Ia berbalik dan bermaksud untuk meninggalkan ruangan itu.

"Arif." Panggil Ben.

Arif berbalik dan melihat wajah atasannya. "Ada apa, Pak?" Tanyanya.

Ben meletakkan tangannya diatas tangan kursinya dan menyandarkan tubuhnya pada badan kursinya. "Terima kasih untuk telpon kamu ke Alya selama ini." Ucapnya.

Arif terkejut. Bagaimana pria itu bisa tahu. Arif belum berkomentar apapun.

"Alya tidak pernah menyembunyikan apapun dari saya. Dia sendiri yang cerita sebelum tidur." Sorot mata Ben seolah menerawang lantai kantornya. "Sudah dua kali ia cerita soal ini. Dia berbicara sendiri seolah saya mendengarnya. Alhasil saya mendengar semua ceritanya karena saya belum sepenuhnya tidur." Jelas Ben.

Arif sedikit ragu untuk menjelaskan. "Saya hanya kasihan, Pak."

Ben mengerutkan keningnya. "Apanya?"

Arif menelan ludahnya. "Apa saya punya hak untuk berbicara sekarang?"

Ben mengangguk.

"Saya tidak suka anda menghabiskan waktu dengan Ibu Elena selama ini. Semuanya baik-baik saja sebelum mantan istri anda datang. Anda mungkin belum mencintai Ibu Alya seperti anda mencintai Ibu Elena, tapi saya tahu kalau anda sayang dengan beliau."

Ben tidak memberikan ekspresi apapun.

"Tapi salahnya, sampai hari ini anda masih terikat dengan Ibu Elena." Sambungnya. "Maksud saya menelepon Ibu Alya karena saya tahu betapa beliau menyayangi anda. Beliau juga mencintai anda, makanya beliau rela menunggu anda pulang sampai mencari anda." Arif mengeluarkan unek-uneknya.

Ben masih terdiam. Hanya helaan napasnya saja yang terdengar.

"Maaf, Pak. Kalau anda masih mencintai Ibu Elena kenapa anda tidak membatalkan pernikahan itu? Bukannya anda sendiri yang bilang, untuk apa menjalani hubungan kalau tidak saling mencintai."

Ben memutar kursinya membelakangi Arif. Ia menatap lapangan golfnya yang luas.

"Saya memberitahukan Ibu Alya soal ini karna saya merasa kasihan dengan beliau. Tapi saya juga berusaha menyelamatkan anda."

Ben memutar kursinya kembali. Kedua alisnya bertaut.

"Anda tahu kalau anda bisa bertahan kalau Ibu Elena meninggalkan anda. Tapi apa anda tahu, apa anda bisa bertahan kalau Ibu Alya yang meninggalkan anda?" Tanyanya. "Anda mugkin harus merasakannya sendiri." Pungkasnya.

Ben terdiam. Ia memandangi wajah Arif dengan lekat.

"Maaf, Pak. Kalau saya lancang berbicara begini. Tapi sejujurnya itu yang saya rasakan terhadap anda belakangan ini." Arif menunduk sesaat. "Permisi, Pak." Ia meninggalkan ruangan itu dan memberika waktu pada pria itu untuk merenung.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.