Alya sudah menunggu di majelis guru sejak tadi. Bahkan bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Ia memandangi pintu masuk majelis guru dengan gelisah. Kakinya bergoyang karena kegelisahannya.
Dewa muncul di muka pintu dengan membawa helmnya. Ia melihat ke arah wali kelasnya yang kelihatan sudah menunggunya. "Maaf, buk." Kata Dewa dengan nada pelan. Ia berdiri didepan wanita itu.
Alya sedang mengatur kalimatnya. Ia ingin memarahi Dewa karena terlambat namun saat ini bukan itu yang menjadi permasalahannya. "Tadi pagi Kepala Sekolah tanya ke saya, muka kamu kenapa. Saya bilang, saya tidak tahu." Ujar Alya dengan sedikit rasa malu disana. "Sekarang saya tanya sama kamu, kenapa dengan muka kamu?"
Dewa menatap wali kelasnya dengan tatapan sendu. Ia mengetahui semuanya tapi ia tidak mungkin menceritakannya secara gamblang. Wanita didepannya ini pasti tidak akan pernah percaya apa yang disampaikannya. "Saya berantem." Jawab Dewa
Alya menghela napas beratnya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu berantem dengan siapa?" Tanyanya.
Dewa menunduk sesaat sambil menarik napas dalamnya. Ia memegang erat helm yang ada ditangannya. "Saya berantem dengan laki-laki bajingan." Ucap Dewa tegas.
Alya terdiam mendengar kalimat itu. Ia memperhatikan ekspresi Dewa yang terlihat serius. "Maksud kamu bicara begitu apa?"
"Saya tidak bisa melihat orang yang saya sayang disakiti sama orang lain. Dan laki-laki itu sudah menyakiti orang itu." Jelasnya.
Alya mengerutkan dahinya. "Maksud kamu apa sebenarnya?" Ada rasa penasaran didalam hatinya. Ia tidak ingin besar kepala karena ia tidak merasa menjadi orang itu.
"Ibu sudah tahu alasan saya berantem. Jadi saya boleh pulang sekarang?" Tanyanya. Dewa tidak bisa berlama-lama menatap wanita itu. Kesal dihatinya ingin meluap saat ini.
"Kamu boleh pulang." Alya memberikan ijin itu. Ia dibuat penasaran dengan kalimat bocah itu.
***
Dewa membuang tas sekolahnya di atas meja belajarnya hingga membuat beberapa barangnya terjatuh. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan menutup matanya dengan tangan kanannya. Rasa kesal dan geram didalam hatinya saat ini tidak bisa mereda. Memikirkan semua yang ia ketahui sangat membuatnya tidak nyaman.
Alya duduk dimeja makan dan baru saja meneguk air putihnya setelah ia tiba dirumah. Ia membuka ponselnya dan membalas pesan dari mamanya yang mengatakan kalau mereka baru saja diajak berkeliling dengan Malpis dan Trisnah mengunjungi tempat-tempat yang bagus di Bali. Senyuman Alya menyeringai tipis. Ia senang orang tuanya bisa menikmati liburan mereka.
Beberapa detik kemudian, senyuman Alya menghilang karena kalimat Dewa kembali teringat dipikirannya. Siapa yang dimaksud Dewa dengan orang yang disayangnya dan siapa laki-laki bajingan yang dimaksud itu. Alya membaringkan wajahnya diatas meja makannya yang kosong saat itu. Belakangan ia merasa lelah dengan semuanya.
***
Mita berjalan menuju loker karyawan untuk mengambil charger batereinya. Tak sengaja ia mendengar percakapan beberapa karyawannya yang tengah istirahat di sudut ruang loker, yang tertutup dengan lemari kabinet barang-barang dapur.
"Bener loh, kata temen gue bagian housekeeping, dia sering banget lihat Pak Ben ke lantai tujuh belas." Kata seseorang dari dua orang itu.
"Masa sih?" Tanya wanita yang satunya. "Mungkin kebetulan aja."
"Masa kebetulan sampe setiap hari kesana. Bahkan kata temen gue yang bagian valet aja bilang, mereka pernah lihat Pak Ben dengan Elena masuk satu mobil yang sama."
"Meeting kali mbak. Soalnya kan mereka kerja sama soal galeri."
"Ih, gak mungkin. Aku yakin mereka ada apa-apanya." Pungkas wanita itu.
Mita terdiam mendengar pembicaraan itu. Setengah jiwanya tidak percaya dengan percakapan itu namun setengahnya mempercayainya. Tapi ia tidak pernah melihat Ben dengan Elena dengan kedua matanya sendiri. Mita berusaha berpikir positif sebelum ia percaya sepenuhnya dengan apa yang didengarnya. Karena ini menyangkut soal sahabatnya.
***
Malam ini Ben pulang lebih awal. Jam baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Ia melihat istrinya sedang menonton televisi.
Alya kaget melihat Ben muncul tiba-tiba. "Kamu gak bilang kalau kamu pulang lebih cepat." Ia mendekati suaminya. "Aku bisa masak dulu." Katanya. Ia berdiri didepan suaminya dan membukakan dasi yang melingkar disana.
Ben membiarkan Alya memanjakannya sembari ia menatap wajah wanita itu. Kalimat Arif terlintas dipikirannya.
Anda tahu kalau anda bisa bertahan kalau Ibu Elena meninggalkan anda. Tapi apa anda tahu, apa anda bisa bertahan kalau Ibu Alya yang meninggalkan anda. Mungkin anda harus merasakannya sendiri.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Alya. "Aku masak yang simple aja, ya?" Usulnya dengan wajah penuh ceria. Ia senang sekali melihat suaminya pulang awal. Sudah hampir seminggu belakangan suaminya selalu makan diluar dan pulang terlambat.
"Apa aja." Jawab Ben pelan. Ia melepaskan jas kerjanya dan memberikannya kepada Alya. "Aku mau mandi dulu." Ia berusaha memberikan senyumannya,walau rasanya agak canggung, setelah aura mereka yang belakangan berubah kelam. Alya mengangguk. Mereka berjalan ke arah kamar.
Ben keluar dari kamarnya sudah dengan baju rumah. Ia melihat meja makannya sudah tersedia makanan yang dimasak oleh Alya. Ia mencium aroma yang nikmat.
"Aku cuma buat telor dadar dengan banyak bawang dan sayur. Sesuai selera kamu." Seru Alya riang. Ia mengambil nasi untuk suaminya yang baru saja duduk. "Kebetulan dikulkas ada sawi putih yang gak pernah aku masak, sampai mau layu. Aku tumis kecap asin aja."
Ben meraup semua lauk itu ke dalam piringnya. Menu yang sederhana, tapi kenapa rasanya mewah sekali baginya. Bahkan Aglio Olio tidak menyentuh seperti ini. Ben menyuapkan nasi pertamanya kemudian menyusul telur dengan sayur. Seketika semua rasanya itu seolah pecah dimulutnya. Alya mengumpulkan semua informasi tentang apa yang disukainya ataupun tidak. Tapi sampai hari ini, dirinya sendiri tidak tahu apa yang istrinya inginkan.
"Kalau kamu disini, penyanyi yang menginap di hotel kamu gimana. Belakangan kamu sibuk mengurus soal itu." Ujar Alya sambil setengah mengunyah.
Ben merasa dirinya hina. Alya mengetahui dirinya sibuk dengan kerjaan sedangkan nyatanya ia malah bersenang-senang dengan Elena bahkan menonton konser. Padahal niat awalnya adalah pergi dengan Alya. "Mereka sudah pulang tadi sore." Ucapnya.
Alya mengangguk paham. Ia memperhatikan wajah suaminya yang lelah. "Malam ini kalau kamu gak banyak kerjaan, mending kamu tidur lebih awal. Aku lihat belakangan kamu kelelahan. Luka diwajah kamu juga akan cepat sembuh kalau kamu banyak istirahat." Ia mengelus lengan suaminya dengan lembut. Ia mencurahkan semua kasih sayangnya untuk pria itu.
Ben mengangguk paham. Ia merasa elusan tangan istrinya bukan hanya sekedar memberikan perhatian, namun melebihi itu.
Alya keluar dari kamar mandi setelah ia menyikat gigi dan memakai cream malamnya. Ia melihat suaminya tengah melihat layar ponselnya. Ia tidak banyak bertanya dan langsung berbaring disana. Alya menarik selimut dan langsung membelakangi suaminya. Ia bahkan tidak melihat ke arah ponsel itu sedikitpun. Setidaknya ia belajar dari kesalahannya beberapa malam terakhir, dimana keingin tahuannya malah berujung dengan bentakan suaminya. Alya tidak ingin memperkeruh suasana rumah tangganya yang mulai jernih. Ia ingin memperbaikinya.
Ben melirik ke arah kirinya dan memperhatikan punggung istrinya. Ada perasaan yang aneh ketika Alya membelakanginya, yaitu perasaan terabaikan. Ben teringat dua malam sebelumnya, dimana ia membentak istirnya hanya karena pertanyaan konyol yang sebenarnya bentuk perhatian wanita itu.
Ben membaringkan tubuhnya. Ia menarik selimut itu menutupi setengah dari tubuhnya. Ia menoleh ke arah kiri sesaat. Tak ada pergerakan dari Alya. Ben memiringkan tubuhnya menghadap kiri dan menatapnya dari belakang. Perlahan ia memajukan tubuhnya hingga menempel tepat dibelakang tubuh istirnya.
Ben melingkarkan tangannya dipinggang Alya dan menenggelamkan kepalanya di pundak wanita itu. Alya terdiam dan membiarkan tubuhnya dipeluk oleh Ben. Sudah lama sejak terakhir pria itu memeluknya seperti ini, dan ia merindukannya. Alya tidak menginginkan hal yang romantis dari suaminya, ia hanya ingin diperhatikan atau dimanja seperti ini saja sudah cukup baginya.
Alya merasakan hembusan Ben ditengkuknya. Matanya tiba-tiba berair. Ia rindu pada suaminya yang telah hilang belakangan ini. Ia menyentuh tangan Ben yang melingkar dipinggangnya seolah memberi tanda kalau dirinya masih berada disana, ditempat awal mereka memulai semuanya.
***
Minggu itu Alya mencuci pakaian mereka seperti biasanya. Pakaian putih dan berwarna, ia pisah agar tidak luntur nantinya. Dan kemeja suaminya ia campur dengan seragam kerjanya yang sejenis. Tapi entah kenapa hidungnya tajam sore itu. Ia mengambil kemeja Ben dua hari lalu dan mencium bau yang sama yang pernah ia cium sebelumnya. Bahkan kali ini, bau itu hampir diseluruh kemejanya. Alya yakin bau itu sangat lembut seperti parfum perempuan dan ia tidak memiliki bau seperti itu.
Alya mengambil kemeja yang Ben gunakan kemarin malam dan mencium aroma yang berbeda. Dikemejanya ini, parfum lembut itu ada, tapi tidak begitu kuat seperti tadi. Alya mulai menebak-nebak asal muasal bau itu.
Ben tengah duduk dimeja kerjanya dengan beberapa lembar kerjanya. Ponselnya berbunyi dan nama Elena muncul disana. Ia melihat ke arah pintu yang tertutup rapat. Ia mengangkatnya. "Ada apa, El?" Tanyanya pelan.
"Barusan mama Roy datang menemui aku." Kata Elena.
Alis Ben bertaut karena terkejut. "Mau apa dia datang menemui kamu?" Tanyanya masih dengan suara pelan.
"Dia minta maaf."
"Lalu?"
"Mereka bilang, mereka akan mengeluarkan Roy dari kantor polisi."
Ben mengerut keningnya. Terdengar suara klakson mobil dari seberang telepon. "Kamu dimana sekarang?"
"Aku mau ke gudang pembuatan." Elena menghela napas beratnya.
"Kamu baik-baik aja?" Ia khawatir pada wanita ini.
"Aku sudah terbiasa, Ben." Nadanya dibuat santai perlahan.
Ben tahu wanita itu tidak seperti yang dikatakannya.
"Sudah dulu, ya." Elena mematikan sambungan telepon itu. ia hanya ingin memberitahukan soal itu.
Ben menatap layar ponselnya dan mencoba melupakan permasalahan Elena sejenak. Kemudian ponselnya berbunyi lagi dan nama Arif muncul disana. "Ada apa?" Tanyanya.
"Pak, sore ini anda ada janji bermain golf dengan tamu VVIP." Arif mengingatkan.
"Iya. Saya ingat." Ucap Ben. Ia mematikan sambungan itu dan kembali teringat soal Elena.
Alya mendengar ponselnya berbunyi dan ia setengah berlari menjawab telepon itu. "Halo, Mit?" Sapanya dengan nada bersahabat.
"Al, lo lagi ngapain. Main ke rumah gue dong. Lagi sepi nih." Bujuk Mita.
Alya melihat ke arah pintu ruang kerja. Suaminya ada dirumah dan ia ingin pergi. Ia tidak ingin meninggalkan suaminya seorang diri. "Lihat nanti ya, Mit. Soalnya Ben ada dirumah."
"Oh ya udah." Kata Mita dengan sedikit rasa kecewa. Ia sudah lama tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tapi ia juga tidak bisa memaksa.
Alya masuk ke dalam ruang kerja dan melihat suaminya tengah membaca sebuah kertas.
Ben menoleh ke arah depan sekilas saat ia mendengar suara pintu dibuka. "Al, sore ini aku harus ke Hotel, karena aku sudah janji untuk main golf dengan tamu VVIP yang kebetulan menginap." Jelasnya.
Alya mendekati suaminya dan berdiri disamping pria itu. Tangannya mengelus pundah kiri suaminya, "Luka diwajah kamu sudah mulai menghilang. Jangan sampai nanti kamu pulang ada luka baru lagi ya." Pesannya lembut.
Ben terdiam. Kebohongan itu pernah ia sampaikan kepada istrinya untuk menutupi perselingkuhannya.
"Kalau gitu aku mau ke rumah Mita, boleh?" Ia meminta ijin kepada suaminya. Ben mengangguk penuh senyum.
***
Alya sedang bermain dengan anak Mita yang semakin besar. Sahabatnya tengah menyiapkan cemilan sore yang baru saja dibuatnya.
"Alya, makan nih pisang goreng ala kadarnya gue." Seru Mita sedikit malu dengan pisang goreng yang masih panas itu.
Alya berdiri dan mendekati Mita yang sudah lebih dulu duduk di meja makan. "Kemarin Dewa berantem." Ceritanya.
Mita melototkan matanya karena kaget. "Berantem dengan siapa?"
Alya mengangkat bahunya pelan. "Dia gak bilang siapa. Tapi dia cuma bilang berantem dengan laki-laki bajingan yang menyakiti orang yang dia sayang." Wajahnya tampak murung.
Mita mengerutkan keningnya. Ia sedang mencerna kalimat itu. Mita tidak menyimpan nama lain yang ia kenal disukai oleh Dewa selain sahabatnya ini. "Dewa punya pacar?" Tanyanya memastikan.
Alya mengangkat bahunya sambil mengambil salah satu pisang goreng didepannya.
Mita menatap Alya sambil berpikir keras. Setahunya, kegiatan Dewa hanya sekolah dan restoran. Tiba-tiba ia teringat soal cerita karyawan restorannya tadi pagi yang mengatakan kalau wajah Ben babk belur saat datang ke kantor dan mereka mendengarnya dari orang basemen. Beberapa hari belakangan, Ben juga jarang lewat didepan lobi. Ia tidak bisa memastikan apakah wajah pria itu benar-benar babak belur.
Alya meneguk teh manisnya.
Mita memperhatikan wajah temannya itu.
"Al, kata anak-anak resto gue, katanya Ben babak belur ya. Hahaha.." tawanya. Ia tidak ingin terlihat begitu mengorek informasi. "Belakangan gosip di Hotel aneh-aneh." Serunya.
Alya malu menceritakan pada Mita yang sebenarnya. Ia tersenyum tipis. "Enggak lah, dia jatuh waktu main golf." Jawabnya.
Mita mengangguk paham mengiyakan kalimat temannya ini. Tapi dibalik wajahnya itu sebenarnya ia menaruh keheranan yang begitu besar. Bagaimana Ben bisa bermain golf ketika ia sendiri tidak melihat Ben lewat didepan restorannya. Dan bagaimana berita soal itu tidak terdengar sama sekali melainkan berita soal Elena. Mita mulai menaruh curiga kepada Ben.
"Di Hotel beredar gosip apa, Mit?" Tanya Alya penasaran.
Mita gelagapan. Ia bingung menjelaskan kepada wanita itu. "Oh itu, gosip anak-anak karyawan. Salah satunya berita soal laki lo." Alasannya.
Alya hanya tersenyum tipis sambil mulutnya sibuk mengunyah pisang goreng itu.
"Al, lo baik-baik aja kan?" Mita merasa sahabatnya ini terlihat menyimpan sesuatu. Alya mengangguk yakin.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.