Terdengar dentuman peluru yang ditembakkan oleh pria berkaus hitam. Entah siapa yang terkenal pelurunya.
"Kau. Apa kau tidak berpikir jika apa yang kau lakukan bisa menghilangkan nyawa," ucap Bisma dengan kesal.
Dia tidak tahu peluru yang terlepas dari senjata api pria itu mengenai siapa. Yang dipikirkan olehnya adalah nyawa para pekerja yang tidak bersalah dan juga Alekta.
Pria itu terkekeh, dia tidak peduli dengan siapa yang akan menerima peluru dari senjatanya. Yang dia inginkan adalah balas dendam pada orang yang telah memasukkan Noah kedalam jeruji besi.
Tidak sedikit pun dia takut jika nanti akan mengalami nasib yang sama dengan Noah. Dalam hatinya hanya ada keinginan untuk menghabisi saja.
"Kau sama sekali tidak berhak mendapatkan kesempatan!" tukas Alekta.
"Kau pikirkan saja nyawamu itu! Lihatlah begitu banyak darah yang keluar dari tubuhmu!" timpal pria itu dengan rasa puas.
Mendengar perkataan pria itu membuat Bisma mengalihkan perhatiannya pada Alekta. Dia melihat jika lengan Alekta sudah mengeluarkan darah.
"Nona...," Bisma berteriak lalu berjalan mendekatinya.
"Aku tidak apa-apa, cepat hubungi polisi! Jangan biarkan dia mengacau lagi!" kata Alekta sembari memegang lengannya yang terkandung tembakkan.
"Polisi? Hahaha jangan harap kau bisa lepas dariku!" teriak pria berkaus hitam itu.
Tanpa banyak berpikir Bisma berbalik arah lalu berlari dengan sangat cepatnya. Dia melayangkan tendangannya, sehingga senjata api yang di pengangguran pria itu terhempas sangat jauh darinya.
"Dasar pria busuk! Seharunya aku tidak memberikan kesempatan padamu untuk berlaga!" tukas Bisma sembari terus memukulinya.
Dia tidak peduli dengan nyawa pria itu karena telah menembak nonanya. Bisma tidak bisa mengatakan apa-apa jika nanti Tuan Suryana bertanya tentang keadaan putrinya.
"Hentikan, Bisma! Jangan kau kotor tanganmu dengan darah kotornya!" teriak Alekta untuk menghentikannya.
Bisma pun menghentikan pukulannya, beberapa orang mulai mendekat dan memegangi pria itu. Dia pun berjalan mendekati Alekta dan meminta ponselnya kembali.
Dia menghubungi polisi untuk menangkap semua bajingan yang sudah mengacau dan melukai nonanya. Tidak berapa lama polisi pun tiba, mereka langsung menangkap para penganggur tersebut.
Sedangkan Bisma langsung menuju rumah sakit bersama Alekta. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia tidak banyak bicara tetapi terlihat wajah cemasnya.
Bagaimana tidak cemas, dia membayangkan bagaimana jika Tuan Suryana tahu bahwa dirinya tidak berhasil melindungi putrinya.
"Tidak perlu secemas itu," ucap Alekta dengan nada pelan.
"Bagaimana saya menjelaskan semua ini pada ayah, Anda?" jawab Bisma.
"Tidak perlu mengatakan apa-apa pada ayahku. Biar aku yang menjelaskannya jika sudah ada di Jakarta," balas Alekta dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Karena sekarang tubuhnya sudah mulai terasa lemas.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah sakit. Bisma dengan cepat membuka pintu mobil lalu mempersilakan Alekta untuk keluar.
Seorang perawat yang sudah sigap di depan langsung membawakan sebuah ranjang dorong untuk membantu Alekta.
"Aku masih bisa berjalan!" Alekta menolak untuk tidur di atas ranjang dorong itu.
"Nona, cepatlah sebelum luka Anda semakin parah!" Bisma memohon agar Alekta berbaring di atas ranjang dorong itu.
Salah seorang perawat dengan sigap langsung membawa kursi dorong dan mempersilakan Alekta untuk duduk. Alekta pun duduk di atas kursi tersebut.
Seorang dokter dengan sigap mulai memeriksa luka Alekta dan mengeluarkan peluru yang masih bersarang di lengannya.
Sedangkan Bisma menunggu di luar ruangan, dengan rasa khawatir bagaimana menjelaskan semua ini. Dia tidak ingin membuat Tuan Suryana kecewa dengan kinerjanya.
Karena baginya Tuan Suryana adalah orang yang sangat dihormatinya. Bisma merasa berhutang budi sebab dirinya telah banyak dibantu untuk melewati semua masa sulit dalam hidupnya. Meski dia harus mengorbankan nyawa itu belum cukup.
Dokter sudah selesai menangani Alekta dan dia pun dibawa ke ruangan rawat inap. Untuk beberapa hari ini Alekta harus menginap di rumah sakit.
"Nona, maafkan saya karena sudah lalai dalam melindungi, Anda."
"Aku bertanya padamu, apakah kamu itu pengawal pribadiku?" Alekta bertanya dengan nada menyelidiki.
"Bukan. Akan tetapi saya yang bertanggung jawab atas semua keperluan Anda di sini dan juga keselamatan, Anda."
"Sudah hentikan rasa bersalahmu itu, sekarang yang aku pinta adalah urus semua kekacauan yang sudah terjadi. Bawakan aku barang-barang yang dibutuhkan selama berada di rumah sakit," ungkap Alekta.
Bisma mengangguk lalu dia pamit untuk undur diri. Dia akan melakukan apa yang sudah diperintahkan oleh nonanya.
Alekta duduk terdiam di atas ranjang, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan di ruangan ini selama beberapa hari. Baginya itu akan sangat membosankan.
Terdengar lantunan musik dari sebuah ponsel dan dia sangat mengenal itu. Alekta beranjak dari ranjang, berusaha berjalan mencari arah suara musik dari sebuah ponsel.
Dia membuka pintu kamar lalu mencari lagi dari mana arah suara itu. Namun, suara musik itu sudah tidak terdengar lagi.
"Apa yang kau pikirkan Alekta? Semua itu tidak mungkin," gumamnya lalu dia kembali menutup pintu ruang rawatnya dan berjalan menuju jendela untuk melihat Susana di luar.
Alekta kembali teringat akan Caesar, dia benar-benar sangat merindukannya. Cinta dalam hatinya untuk Caesar masih sangat besar, mungkin dia tidak akan bisa melupakannya.
Mulut dan hati bisa tidak sinkron terkadang mulut mengatakan untuk melupakannya. Namun, hati selalu berkata lain.
***
Waktu terus berjalan selama masih di rumah sakit Alekta selalu mengerjakan pekerjaannya. Dia dibantu oleh Bisma, terkadang dokter melarangnya untuk beristirahat.
Namun, keras kepala Alekta membuat dokter geleng kepala. Karena tidak bisa melarangnya untuk melakukan pekerjaan.
Ini sudah hari ketiga, dokter memeriksa luka di lengan Alekta. Semuanya sudah membaik dan akhirnya dokter mengizinkan Alekta untuk keluar dari rumah sakit.
Bisma mengurus semua administrasi, sedangkan Alekta merapikan semua barang-barangnya. Hatinya senang karena dia akan keluar dari rumah sakit.
Ponselnya berdering, tertera nama Casandra. Dengan perlahan Alekta mengangkat teleponnya, dia masih mendengar suara Casandra yang cerewet.
Casandra mengakan bagaimana dengan permintaannya untuk melihat keadaan seseorang. Alekta melakukan hal itu, dia pun meminta maaf padanya dan akan melakukan semuanya dalam waktu cepat.
Setelah menjelaskan semua itu Alekta mematikan sambungan teleponnya. Dia mulai membuka pesan yang dikirimkan oleh Casandra.
"Ada dua nama? Apakah dia menyuruhku untuk menjadi detektif?!" gumam Alekta setelah membaca semua pesan yang dikirimkan oleh Casandra beberapa hari yang lalu.
Nama kedua orang itu tidak asing baginya, sebenarnya ada hubungan apa Casandra dengan kedua orang itu. Mengapa Casandra ingin mengetahui kabar dari mereka.
Itu membuat bingung Alekta, dia hendak menanyakan hal itu. Namun, rencananya berubah setelah melihat Bisma memasuki ruangan.
"Semuanya sudah diurus, kita bisa pergi sekarang." Kata Bisma.
"Baiklah. Antarkan aku ke apartemen saja," jawab Alekta.