Fitri melangkah dengan gontai meninggalkan sekolah menuju asrama, untuk menyimpan tas dan perlengkapan mengajarnya. Selesai menaruhnya di kamar, Fitri ke kamar mandi, sekedar untuk cuci muka agar sedikit segar. Dia tidak mengambil Wudhu karena shalat duhur sudah dia tunaikan di sekolah, pada waktu jam istirahat siang. Selesai cuci muka, Fitri kembali mengenakan kerudungnya dan siap-siap berangkat menuju rumah kakak sulungnya.
Fitri pergi ke rumah Tari dengan naik angkutan umum. Selama dalam perjalanan, Fitri terus merenung memikirkan alasan yang tepat untuk diungkapkan ketika dia ditanya nanti oleh Tari. Berbagai kemungkinan jawaban dia persiapkan dengan berbagai pilihan kata yang bagus.
Sudah setengah jam angkutan umum tersebut melaju. Tibalah Fitri di tempat tujuan. Dia berhenti tepat di sebrang pintu gerbang salah satu perumahan elit yang ada di wilayah tersebut. Dengan langkah gontai dan fikiran kosong, Fitri menyebrang.
Ketika tengah menyebrang, tiba-tiba terdengar teriakan beberapa orang yang ada di sekitar jalan tersebut. Fitri terhenyak kaget saat ada tangan seseorang menariknya kembali ke belakang dengan keras dan kasar, hingga membuat Fitri menubruk badan orang tersebut dengan kencang. Refleks Fitri memejamkan mata dan diam beberapa saat, sampai akhirnya tangan orang yang dia tubruk menepuk lengan atas Fitri, hingga membuat Fitri segera menjauhkan badannya dan mendongakkan wajahnya ke atas sambil menatap dengan tatapan heran. Ternyata orang yang menarik tangannya dengan kasar itu seorang pria dengan perawakan tinggi sedang.
"Maaf, kenapa kakak tiba-tiba menarik tanganku dengan keras?" Ucap Fitri dengan bingung.
"Dek, kamu tidak sadar ya tadi ada mobil yang melaju dengan kencang hampir menabrak kamu?" Jawab laki-laki tersebut dengan sedikit kesal sambil menunjuk ke arah mobil yang sudah menjauh.
"Oh iya gitu? Kok aku sampai tidak melihatnya ya?" Sambil menunjukkan wajah bingungnya.
"Ya mana mungkin kamu melihatnya Dek, fikiran dan tatapan mata kamu lagi kosong gitu. Bahkan teriakan orang-orang disekitar kamu aja tidak kamu sadari". Jawab pria tersebut sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.
Mendengar jawaban pria tersebut Fitri turut mengedarkan pandangan. Begitu terkejutnya dia, saat melihat beberapa ekor mata memperhatikannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Selain itu, ada juga yang sambil mengelus dada. Fitri akhirnya tertunduk malu sambil berucap kepada pria tersebut.
"Rupanya tadi aku benar-benar sedang dalam bahaya. Makasih ya kak udah nolong aku". Fitri mengucapkan terima kasih sambil mengangkat kembali kepalanya dan menatap sang penolongnya. Pria tersebut menjawab dengan anggukan kepala sambil mengingatkannya agar selalu hati-hati saat menyebrang.
Akhirnya pria tersebut membantu Fitri menyebrang meskipun Fitri tidak meminta. Setelah berhasil menyebrang, Fitri kembali mengucapkan terima kasih yang dijawab kembali oleh anggukan kepala pria tersebut. Kemudian pria tersebut pamit dengan mengucapkan salam dan berlalu dari hadapan Fitri yang masih bengong menatapnya.
Setelah kepergian pria tersebut dari hadapannya, Fitri mulai melangkahkan kakinya kembali menuju rumah kakaknya yang tidak jauh dari gerbang perumahan. Pukul 15.15 Fitri tiba di depan rumah kakaknya dan mematung untuk beberapa saat. Ada rasa takut menghampirinya. Hatinya dipenuhi dengan perasaan gelisah. Dia tau, penolakannya kali ini berhasil membuat kedua kakaknya sangat kecewa dan mungkin sedang berada di puncak kemarahannya. Namun apa boleh dikata, semua sudah terjadi. Mau tidak mau Fitri harus siap menanggung semua kemungkinan terburuk yang akan menimpanya.
Dengan langkah yang benar-benar dipaksakan, Fitri membuka pintu gerbang rumah Tari yang memang sudah sedikit terbuka. Fitri menekan bel sambil mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum..." Dengan suara yang agak sedikit bergetar.
"Wa'alaikumsalam, masuk aja Fit". Teriak Tari dari dalam rumah.
Sebelum membuka pintu, Fitri menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, sambil memohon dalam hatinya, agar Allah beri dia kelapangan, dalam menghadapi segala kemungkinan terburuk nantinya. Setelah berhasil menata hatinya dengan baik, Fitri membuka pintu ruang tamu dengan hati-hati. Ruang tamu tampak sepi. Lalu Fitri mulai memanggil kakaknya.
"Kak Tari ini aku Fitri. Kakak dimana?" Sambil sedikit mengeraskan suaranya.
"Kakak di sini di ruang keluarga, kamu kesini aja". Jawab Tari dengan suara keras.
Setelah mendengar jawaban Tari, Fitri segera berjalan menuju ruang keluarga. Betapa kagetnya dia melihat Tiara juga ada di situ, duduk di samping Tari sambil melihat Fitri dengan tatapan yang kurang bersahabat.
Hari ini, Fitri melihat kedua kakaknya seolah-olah akan menerkamnya dengan tatapan mengintimidasi. Ditengah ketegangan yang dirasakan, Fitri mencoba bersikap biasa, menghampiri keduanya, lalu mencium tangan kedua kakaknya.
"Fitri duduk sini!" Ucap Tari, sambil menunjuk kursi yang ada di depannya tanpa basa-basi.
"Iya kak". Tanpa banyak bicara, Fitri langsung duduk di kursi yang Tari tunjuk.
Suasana hening seketika. Tampak masih belum ada yang mau memulai pembicaraan. Sekedar tegur sapa untuk mencairkan keadaanpun, enggan mereka lakukan. Fitri benar-benar merasa seperti seorang terdakwa yang hendak diadili. Dia hanya bisa menudukkan kepala dengan berbagai fikiran yang berkecambuk.
Hembusan nafas kasar milik Tari mulai terdengar. Sebagai kakak tertua, akhirnya Tari mulai membuka obrolan.
"Fitri kamu tentunya sudah bisa menduga kenapa kakak menyuruhmu datang ke sini kan?"
"Maaf kak sebenarnya itu yang ingin Fitri tanyakan sama Kak Tari". Fitri menundukkan kepala tanpa ada keberanian untuk menatap kakak sulungnya. Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga maksud dan tujuan Tari menyuruhnya datang, namun Fitri tidak mau terlalu cepat menyimpulkan. Berpura-pura tidak tahu itu lebih baik, fikirnya.
"Kami ingin tau alasan kamu menolak perjodohan yang kakak buat tempo itu antara kamu dengan rekan bisnis suami kakak". Jawab Tari lugas.
"Kak Tari, Kak Tiara, maafkan Fitri telah mumbuat kalian berdua kecewa lagi." Fitri menjawab sambil terbata.
Mendengar jawaban Fitri yang hanya bilang kata maaf, membuat emosi Tiara tersulut. Dengan emosi yang berapi-api Tiara menimpalinya. "Kami bukan ingin mendengar kata-kata maafmu, tapi alasan kenapa kamu menolaknya." Tegas Tiara.
"Fitri aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan fikiranmu. Kamu tau ini kali ke berapa kamu menolak perjodohan yang kami buat? Laki-laki yang kemarin kamu tolak itu orang hebat, dia kaya raya, tampan, dan baik. Kurang apa lagi coba? Apa kamu buta hingga dengan entengnya kamu menolak dia?" Serbu Tari.
"Maafkan aku kak". Hanya itu lagi kata yang mampu keluar dari mulut Fitri, seolah dia tidak mengenal kata lain untuk diungkapkan.
"Dari tadi kata yang keluar dari mulut kamu itu hanya maaf dan maaf. Yang kami ingin dengar bukan kata maafmu, tapi alasan apa yang membuatmu menolaknya?". Tiara menegaskan lagi dengan tatapan penuh kekesalan.
"Kakak... Aku tidak memiliki perasaan khusus terhadapnya. Aku pun tidak banyak tau tentang kepribadiannya. Selain itu pula, hasil istikharahku tidak memberikan jawaban yang baik". Jawab Fitri masih dalam keadaan menunduk.
"Ya ampun Fitri, kenapa alasanmu selalu saja sama, itu dan itu lagi. Sebenarnya mau sampai kapan kamu terus bersikap begitu? Ingat Fitri, usiamu sudah bukan ABG lagi. Sudah saatnya kamu membangun keluarga". Ucapan Tari penuh dengan penekanan, berharap Fitri memahaminya dengan baik.
"Dan asal kamu tau ya, kami tidak pernah istikharah ketika menerima pinangan kakak iparmu, tapi rumah tangga kami baik-baik saja, awet sampai sekarang, dan kami sangat bahagia". Ucap Tiara.
"Aku tau kak usiaku sudah sangat matang. Aku pun ingin secepatnya membangun rumah tangga. Namun, aku tidak ingin gegabah dalam memilih calon suami." Lirih Fitri dengan kondisi masih menunduk.
Mendengar jawaban Fitri, kadar emosi Tari mulai naik.
"Kamu Fikir, kakak asal menjodohkan? Tidak ada kakak yang mau menjerumuskan adiknya. Asal kamu tau, ini semua demi kebaikanmu".
Mendengar perkataan Tari, tiba-tiba keberanian Fitri muncul untuk mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan dalam hatinya. Entah karena tidak mau terus-menerus disudutkan, atau mungkin sudah tidak tahan lagi menyembunyikan isi hatinya.
"Kakak... setiap kali aku minta waktu untuk mengenal lebih baik laki-laki yang kalian kenalkan, selalu kalian jawab dengan perkataan kalau aku bukan ABG lagi yang harus menjalani proses pacaran dulu. Kalau aku bertanya ini itu untuk hanya sekedar menguatkan pilihanku tidak salah, kalian selalu bilang laki-laki yang kalian kenalkan sangat baik dalam segala hal, jadi aku tidak perlu banyak bertanya. Tapi nyatanya selalu ada kejanggalan yang aku temukan dari mereka, hingga membuatku ragu untuk menerima salah satu darinya." Kali ini Fitri agak berani mengangkat kepala dan menatap kedua kakaknya.
"Kejanggalan seperti apa Fitri? Semua laki-laki yang kami kenalkan padamu orang hebat. Mereka juga bukan orang yang mau membuang banyak waktu hanya sekedar untuk mengikuti kemauanmu. Mereka datang untuk menikah bukan untuk pacaran. Mereka butuh kepastian segera untuk mengakhiri masa lajangnya. Sedangkan kamu? Terlalu banyak prosedur untuk bisa menerima salah satu diantaranya. Harusnya kamu bersyukur bisa dilirik oleh orang-orang hebat seperti mereka". Balas Tiara dengan nada meningginya.
"Kakak, aku hanya ingin sekedar mengenal pribadinya lebih dekat agar yakin dengan pilihanku, bukan dalam artian pacaran tanpa tujuan jelas. Dengan begitu, setidaknya aku bisa menyamakan visi misi nantinya ketika membangun rumah tangga. Bisa mengarungi bahtera rumah tangga sesuai ajaran agama kita. Sehingga bisa berlabuh di dermaga yang tepat". Balas Fitri.
"Ya ampun Fitri, kamu itu kaya menganggap kami ga faham aja masalah kaya gitu. Kami lebih tua dari kamu, dan kami sudah menjalani rumah tangga bertahun-tahun. Pengalaman kami jauh lebih banyak daripada kamu. Kamu liat kan rumah tangga kami baik-baik aja? Kami bahagia. Kami pun tidak suka melakukan perbuatan maksiat. Itu artinya suami kami orang baik. Bicaramu itu seolah menganggap hidup kami jauh dari tuntunan agama saja". Kesal Tari.
"Bener kata kak Tari, kamu itu seolah memandang hidup kami ini jauh dari tuntunan agama. Seolah hidup kami salah dan kamu benar". Timpal Tiara.
"Bukan begitu maksudku kak Tari, Kak Tiara". Fitri kembali menunduk penuh rasa takut.
"Berarti kalau gitu kamu tidak yakin dengan laki-laki pilihan kakak kamu sendiri? Apa kamu fikir kami akan menjerumuskanmu? Kami susah payah mengenalkanmu pada kolega kami, agar kamu mendapatkan pendamping hidup yang baik, yang bisa membahagiakanmu dan tanpa mengalami kesulitan hidup. Kamu malah mencurigai niat baik kami. Padahal kami melakukan itu semua demi kebaikan kamu. Kamu bener-bener tidak tau terima kasih." Ucap Tiara dengan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun.
"Terimalah dia Fitri. Dia laki-laki baik dan kaya raya, wajahnya pun tampan. Aku yakin kamu akan bahagia hidup dengannya. Besok aku atur ulang kembali pertemuanmu dengannya." Nada bicara Tari mulai melunak.
"Kakak... Maafkan aku, aku bener-bener tidak bisa". Ucap Fitri dengan nada putus asanya.
"Fitri kamu keras kepala banget sih. Kamu ga nyadar usiamu itu sudah cukup tua. Suatu keberuntungan yang luar biasa seorang laki-laki tampan dan kaya raya tertarik pada wanita biasa sepertimu. Hanya wanita bodoh yang mau menolak laki-laki kaya raya seperti dia. Dasar kamu itu wanita aneh." Ucap Tiara dengan amarah yang sudah menguasai.
"Astaghfirullah kakak... Kenapa selalu materi yang menjadi patokan kalian. Tidak bisakah kalian melihat dengan jelas bagaimana tabiat laki-laki itu? Dia laki-laki tidak beradab kak. Kalau kalian peduli dengan masa depanku, harusnya kalian bisa melihatnya". Ucap Fitri dengan nada bicara yang bergetar menahan tangis.
"Kamu jangan asal ngomong Fitri". Bentak Tari.
"Aku tidak asal ngomong kak... Kakak tau ketika kakak dan kakak ipar memberikan kami berdua waktu untuk bicara, apa yang dia lakukan? Dia berani pegang tangan dan dagu Fitri kak. Apakah itu bukan sikap kurang ajar? Sedangkan kami baru bertemu. Tatapan matanya penuh dengan nafsu. Aku ngeri kak... " Jawab Fitri.
"Ya ampun Fitri... Itu bukan sikap kurang ajar. Mungkin dia hanya mencoba bersikap romantis untuk meyakinkanmu agar menerima pinangannya. Masa kamu tidak mengerti dengan sikap agresifnya. Dia sudah yakin untuk memilihmu makanya dia bersikap begitu." Kesal Tari.
"Aku yang menerima perlakuannya kak. Itu bukan sikap romantis tapi sikap amoral, dan aku tidak mau memiliki suami dengan tabiat seperti itu." Tegas Fitri.
"Kamu jangan terlalu suudhon Fitri. Mana mungkin kakak iparmu tega menjodohkanmu dengan laki-laki yang nggak baik. Mungkin itu salah satu cara dia dalam meyakinkanmu. Laki-laki gombal sedikit kan wajar". Ucap Tiara.
"Tapi kak... Aku takut tidak berhasil menumbuhkan rasa cinta dihatiku untuknya jika aku menerimanya". Fitri semakin menunduk.
"Susah ya ngomong sama kamu. Batu banget sih". Kesal Tiara.
"Ya udah kalau keputusanmu masih sama, terserah kamu mau milih pendamping hidup yang seperti apa. Kami tidak akan lagi repot-repot memilihkanmu calon suami. Tapi yang harus kamu ingat, kamu harus membuktikan kepada kami, bahwa pilihan kamu itu bisa lebih baik dari yang kami pilihkan untukmu". Tatang Tari.
"Maafkan aku kak Tari, Kak Tiara". Nada bicara Fitri begitu lemah dan masih dalam keadaan tertunduk.
Mendengar kata maaf dari Fitri, kedua kakaknya hanya menjawab dengan hembusan nafas kesal. Ada gurat kecewa di wajah kedua kakak beradik itu, karena misinya gagal untuk meyakinkan Fitri agar menerima pinangan laki-laki tersebut.