Chereads / Haruskah Kembali? / Chapter 1 - Jengah

Haruskah Kembali?

DYAR
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 18.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Jengah

Di sebuah rumah megah milik Radit, yang tiada lain adalah suami Tari, terdapat dua orang kakak beradik yang sedang ngobrol dengan emosi berapi-api.

"Tiara aku bener-bener jengah sama kelakuan adik kamu. Sampai kapan dia terus melakukan penolakan terhadap setiap laki-laki yang kita jodohkan untuknya. Dia fikir, dia siapa sampai berani menolak orang-orang hebat yang kita kenalkan padanya. Paras ga cantik-cantik amat tapi belagunya ga ketulungan, sok jual mahal lagi". Sungut Tari penuh kekesalan.

"Kakak fikir aku nggak jengah apa, aku juga sama jengahnya dengan kakak. Apa sih yang ada difikiran dia, kok sampe terus-terusan nolak laki-laki yang kita kenalkan. Padahal kita ga sembarangan ngenalin laki-laki padanya lho. Semua laki-laki yang kita kenalkan karirnya sangat bagus, materinya melimpah, dan tidak ada yang memiliki kelakuan bejad. Bukankah itu kriteria yang luar biasa? Harusnya dia bersyukur kita begitu peduli dengan masa depannya. Aku bener-bener nggak ngerti maunya dia apa. Dia ga nyadar gitu kalau usianya sudah tidak muda lagi. Emang wanita bisa nyari cowok dengan gampang. Baru kerasa nanti kalau dia udah jadi perawan tua, terus ga ada lagi laki-laki yang mau melirik dia". Gerutu Tiara tanpa titik koma.

"Emosiku bener-bener sudah memuncak Tiara, saat kemarin dia kembali menolak rekan bisnis suamiku. Padahal laki-laki itu seorang pengusaha yang sangat kaya raya lho. Selain kaya, dia juga tampan. Kurang apa lagi coba? Ingin rasanya aku menjambak rambutnya saat mendengar penolakannya. Apa dia tidak sadar kalau kita itu begitu peduli terhadap masa depannya?" Sahut Tari dengan amarah yang begitu menguasai.

"Iya kak aku bosan dengar dia selalu memberikan alasan yang sama setiap kali menolak cowok. Selalu bilang kalau hasil istikharahnya itu kurang kena dengan hatinya. Padahal kita berdua dulu ketika nerima lamaran suami kita, tidak pernah tuh pake acara istikharah-istikharah segala. Buktinya rumah tangga kita sampai sekarang awet dan bahagia".

"Iya Dek, aku juga udah bosen banget denger dia selalu pake alasan yang sama tiap kali melakukan penolakan, bikin kesel aja. Ga lihat apa kalau cowok kemarin itu bener-bener perfect. Udah cakep, baik, kaya raya pula. Hanya wanita bodoh aja yang berani menolaknya."

"Kadang aku heran deh kak sama dia. Sebenernya cowok kaya gimana sih yang dia cari? Ini bukan, itu ga cocok. Bener-bener bikin kesel." Cerocos Tiara.

"Ya udah lah Dek, sekarang kita ga perlu lagi repot-repot mikirin laki-laki calon pendamping hidupnya. Toh setiap laki-laki yang kita kenalkan selalu dia tolak, sebagus apapun laki-laki itu. Sekarang kita liat aja seperti apa sih laki-laki yang dia inginkan. Kalau sampai dia mendapatkan yang lebih buruk dari semua yang sudah kita kenalkan, kita cecar aja dia sama-sama". Tari berucap sambil menghembuskan nafas kasarnya.

"Bener kak aku setuju. Oh ya apa mungkin dia masih keukeuh mempertahankan kriterianya itu kak?" Selidik Tiara penuh penasaran.

"Kriteria yang mana Dek?"

"Ya dia kan pernah bilang dulu sama kita kak pengen cowok yang pemahaman agamanya bagus. Kakak masih inget kan?"

"Hadeuh... Dia itu terlalu naif dan sok suci. Apa pemaham agama mampu menjamin hidup dia sejahtera? Pemahaman agama aja nggak cukup kalau tidak dibarengi dengan pekerjaan yang bagus. Emang hidup nggak dengan uang? Orang dikubur aja butuh uang. Mau sedekah aja kudu pake uang. Bener-bener picik pikiran ade kamu itu Tiara". Nada bicara Tari penuh dengan kekesalan.

"Iya Kak kadang aku juga pengen nyadarin dia sesadar-sadarnya, kalau kriteria dia itu tidak akan menjamin hidup dia bisa bahagia. Cowok soleh juga percuma kalau pengangguran, mau dikasih makan apa nanti istri dan anaknya".

"Ya udah besok kakak bilangin aja ke dia kaya gitu, biar fikirannya agak sedikit kebuka tuh. Oh ya, kakak jadi kan nyuruh dia ke rumah kakak besok? Siapa tau dia akan berubah fikiran kalau kakak sedikit menekannya. Sayang banget lho kak kalau sampai dia bener-bener menolak pengusaha kaya raya itu". Ujar Tiara penuh keyakinan.

"Iya aku udah bilang sama dia kalau besok dia harus ke rumahku. Kamu juga besok kesini lagi aja ya. Kita sama-sama ceramahin dia, agar mau nerima rekan bisnis suamiku itu".

"Siap kak". Kata Tiara sambil mengacungkan jempolnya.

"Tapi kalau dia masih tetep pada pendiriannya gimana?" Tanya Tiara sedikit ragu.

"Ya kita tekan aja dia agar mau menerimanya Toh ini juga demi kebaikan masa depannya, bener ga?"

"Bener juga sih kak. Kali ini kita harus lebih tegas padanya. Dia bisa hidup mandiri juga karena kita yang udah nguliahin dia. Berarti kita berhak dong memilihkan dia pasangan hidup. Toh ini juga demi kebaikan dia".

"Yups betul banget Dek". Seru Tari dengan anggukan kepala menandakan sikap setuju.

"Jam berapa besok aku harus ke rumah kakak?" tanya Tiara.

"Aku suruh Fitri ke rumah pukul 15.00 karena dia selese ngajar kan pukul 14.30. Ya mungkin kamu juga baiknya sekitar pukul segituan lah. Biar kita bisa sama-sama nasihati dia dan menekan dia untuk menerimanya".

"Eh besok hari sabtu kan kak? Hmmm... Kayaknya aku ga bisa deh kak. Aku sama suamiku udah punya rencana buat berkunjung ke rumah kakek neneknya Dini Dino. Udah lama aku ga nengokin mertua."

"Emang mau berangkat jam berapa gitu?"

"Kata suamiku sih abis ashar kak. Gimana dong?"

"Kalau kamu udah punya rencana ya mau gimana lagi. Tadinya sih aku pengen kamu juga besok ada, biar kita bisa lebih meyakinkan ade kamu untuk mengubah keputusannya. Setidaknya kalau yang ngomongnya kita berdua, fikiran dia bisa lebih kebuka".

"Iya juga sih kak. Atau gini aja deh kak, aku nanti coba ngobrol lagi sama suamiku. Moga aja rencana nengok mertuaku bisa digeser ke minggu depan".

"Besok malem juga masih bisa kan Dek, toh rumah mertua kamu ga jauh-jauh amat. Paling cuma makan waktu dua jam perjalanan".

"Hmmm... iya juga sih kak. Oke kalau gitu besok aku upayain datang ya. Tapi kali ini kita harus bener-bener berhasil ya bikin dia mau nerima pinangan rekan bisnis kakak ipar".

"Yupz Insya Allah bisa". Sahut Tari dengan tingkat optimisme yang tinggi.

"Harus pokoknya kak". Sahut Tiara ga mau kalah optimisnya.

"Makanya besok kamu harus datang ya."

"Oke kak, siiip lah". Sahut Tiara sambil mengacungkan ibu jarinya.

Akhirnya sampailah pada kesepakat mereka berdua untuk menyidang Fitri besok. Setelah selesai dengan percakapannya tentang Fitri, kedua kakak beradik itupun melanjutkan obrolannya dengan obrolan yang lebih ringan sambil asik bercanda satu sama lain. Saking kelewat asiknya, tidak terasa waktu semakin sore, Tiara pun bersiap-siap untuk pamit pulang.