12 Februari,
Bastian memarkirkan mobilnya di salah satu tempat parkir yang tersedia di Northbridge, sedekat mungkin dengan berbagai macam restoran dan cafe. Northbridge pada Rabu malam memang tidak seramai Jum'at dan Sabtu malam. Beberapa klab malam tidak begitu ramai, bahkan ada yang tutup. Namun biasanya program Wednesday happy hour berlangsung di beberapa bar. Beberapa rumah makan dan cafe juga tampak mulai terisi oleh para karyawan yang pulang dari kantor dan ingin bersantai di tengah minggu bersama rekan-rekan kerja atau keluarga.
Bastian dan Maretha mengarahkan jalan mereka ke persimpangan yang banyak memiliki Cafe dan restoran. Hari ini adalah hari ulang tahun Bastian yang ke-23. Ia ingin mentraktir pacarnya itu "candle light dinner" disebuah restoran bernuansa Prancis yang sangat imut. Ketika mereka baca ulasan di internet, cafe ini tidak saja romantis, namun makanannya juga sangat enak dan tentu saja, mahal. Ini akan jadi pertama kalinya bagi Maretha untuk makan di restoran Prancis, atau ke sebuah restoran yang mahal bahkan.
"Apa kamu sudah buat reservasi?", tanya Maretha. Bastian menggeleng. Sepertinya itu tidak perlu. Ketika mereka sampai di depan cafe itu, sepertinya tidak begitu ramai. Tempatnya memang sangat lucu dan menarik, kelihatannya juga sangat elegan. Tapi makanan Prancis? Sebenarnya bukannya Maretha tidak suka, tapi ia belum pernah mencoba. Bagaimana kalau rasanya so so aja dan porsinya ala kadarnya seperti yang sering ia lihat di TV? Ia sebenarnya pengen sih candle light dinner yang romantis. Hanya saja…
"Eh itu restoran apa ya? Kok kayaknya seru dan rame banget?", tanya Maretha sambil menunjuk ke sebuah restoran yang posisinya berhadap-hadapan dengan café Prancis itu, yang tampilannya kontras sekali dengan cafe dihadapan mereka. Rumah makan itu ukurannya 3 kali lipat cafe Prancis itu, dengan cat berwarna Jingga cerah, berpadu dengan kusen putih. Dengan jendela-jendela kaca yang besar, pencahayaan yang terang dan meriah, menampakkan suasananya yang ramai, riuh, dan menyelerakan. Dari jarak 10 meter saja, mereka bisa mencium wangi rempah-rempah dan yakin bila makanan berwarna-warni yang disajikan di meja-meja itu pasti sangatlah enak. Terlihat beberapa antrian orang yang ingin memasuki restoran yang sudah penuh sesak itu.
"Gimana kalo kita makannya disitu aja? Seru banget kayaknya seperti Restoran Padang. Aku belon pernah makan jenis kayak gitu", pinta Maretha yang tiba-tiba berlagak seperti anak kecil. Bastian mengkerutkan alisnya dan mengerjabkan matanya beberapa kali. Ia berulang kali menatap restoran meriah itu, dan wajah Maretha.
"Yakin mau makan disana? Katanya pengen candle light dinner. Disana mah boro-boro, burning light dinner kaleee. Gak bakal ada romantis-romantisnya kayaknya", seru Bastian becanda.
"Awww gak apa-apa Sayang, pasti kan lebih murah dari cafe Prancis ini. Jadi aku boleh makan sepuasnya. Boleh yaaaa...", rayu Maretha. Ia menatap kembali restoran meriah itu, dan melihat lebih banyak orang yang mengantri ingin masuk. Ia segera menggenggam tangan Bastian, seakan mengingatkan mereka harus buru-buru agar tidak mengantri terlalu lama.
Akhirnya Bastian mengangguk lemas sambil menyunggingkan senyum segaris. "Ya udah kalo kamu maunya makan disana, fine. Tapi kalo kamu mau tetep candle light dinner, harus nunggu ultah kamu atau taon depan yaaaaa", jawabnya lagi sambil pura-pura ngambek. Maretha mengangguk-angguk dan bertepuk tangan.
"Yippiiiii", akhirnya Maretha bersorak kegirangan dan mulai berjalan menuju restoran bernama MAYA MASALA yang berjarak 10 meter saja dari tempat mereka berdiri. Di belakang Maretha, Bastian tersenyum penuh arti. Ia tidak menyangka bila rencana liciknya berjalan lancar. Sudah lama sekali ia pengen makan di restoran itu lagi. Tapi bila ia tiba-tiba mengajak Maretha kesana, sepertinya akan memunculkan konflik tidak penting. Apalagi bila pacar posesifnya itu mengetahui Adelia bekerja disana.
Sementara Rabu malam, Adelia memang kebetulan sekali bekerja di Maya Masala. Semester ini, Ia akan bekerja di Restoran itu setiap Rabu malam dan Jum'at malam. Sebenarnya jadwal ini lucu juga. Jadi begitu selesai bekerja pada Jum'at malam, ia bisa langung clubbing di northbridge hihihi. Kerja kerasnya selama liburan musim panas di apresiasi sang bos dengan memberikannya kenaikan gaji $1.50 untuk tiap jamnya. Kelihatannya tidak besar. Namun dengan bekerja 10 jam seminggu, penambahan $15 dollar dari gajinya nilanya sangat lumayan. Dalam seminggu, Adelia bisa mengantongi $230 sudah dengan tips. Cukup untuk menutupi uang makan dan jajannya.
"Adelia, take order from table 8!", seru sang manager. Adelia segera mengambil buku pesanan dan memberikan jempol kepada sang manager. Ia berjalan cepat ke arah meja 8, melewati beberapa teman pelayannya yang berlalu-lalang dengan nampan-nampan aluminium berisi makanan khas India itu. Ketika ia sampai di meja nomer 8, ia tidak percaya siapa yang ia lihat. Bastian dan Maretha. Pasangan yang sedang merayakan ulang tahun itu pun sama-sama kagetnya dengan Adelia.
"Loh, lo kerja disini?", tanya Maretha sambil menatap tajam Adelia. Ia kemudian melirik ke arah Bastian, seakan ingin bertanya apakah cowok itu tau Adelia bekerja disitu. Bastian yang pura-pura sibuk membaca menu, tidak ingin ambil pusing.
"Eh iya, udah beberapa bulan sih. Lumayan disini gajinya bagus. Mau pesen apa?", tanya Adelia mengalihkan topik pembicaraan.
"Saranin donk pesen apa. Yang mirip-mirip kayak gulai nasi Padang ada gak?", tanya Bastian acuh sambil masih menatap serius ke arah buku menu. Maretha masih belum move-on dari rasa kagetnya. Tatapan matanya masih terus bolak-balik antara Bastian dan Adelia, seakan mencari bahan untuk curiga.
"Hemmm gue saranin ya, cobain lamb curry deh. Asli lembut banget dan gak bau. Tapi ga pedes sih, standar aja. Tapi aku bisa mintain si chef ngasi kalian semacam, sambel gitu. Nah cobain juga nih Fish curry. Enak banget! Jadi kalian bisa saling nyobain. Semua kari uda termasuk nasi dan printilannya gitu. Kayak sayur tumis, kerupuk, dan lain-lain yang pasti kalian suka deh. Worthed banget!", jawab Adelia dengan antusias.
"Ya udah deh terserah aja", jawab Maretha tidak terlalu bersemangat. Bila ia tau Adelia bekerja disini, tentu saja ia akan lebih memilih restoran Prancis itu. Sekarang sudah terlambat. Tiba-tiba ketika ia menatap café Prancis itu dari jendela, sudah ada beberapa orang yang mengantri di depan pintu mereka. Padahal tadinya sepi banget!
"Ok, mau minum apa? Aku saranin mango lasse. Sebenarnya itu jus mangga pake yogurt sih, enak juga.", saran Adelia. Bastian mengangguk-angguk. Sebenarnya ia ingin pesan itu juga. Terakhir kali ia kesitu bersama Ravi, ia sangat menikmatinya. Tapi kalau tiba-tiba ia pesan itu, rasanya bakal bikin Maretha curiga. Nanti bakal ketauan kalo dia pernah makan disitu.
"Kenapa kita gak pesan wine? Kita kan sedang merayakan...", tiba-tiba Maretha tidak ingin melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin Adelia tau bila mereka sedang merayakan ulang tahun Bastian.
"Enggak usah deh, kan aku nyetir. Mending tambahin air mineral aja deh", usul Bastian. Adelia mengangguk-angguk sambil mencatat semuanya di buku pesanan.
"Ok, ini semua cepet kok jadinya. Thanks for your order", katanya sambil mengambil buku menu dan berlalu. Entah kenapa ada perasaan grogi luar biasa. Entah karena ia dejavu melihat Bastian di restoran tempat ia bekerja, atau karena intimidasi dari Maretha. Entah kenapa ia merasa tidak terlalu nyaman bila Maretha tau ia bekerja disitu. Apakah Bastian memberi tahunya? Sepertinya tidak...
Beberapa menit kemudian, Avnish, teman sekerja Adelia menghidangkan aneka makan dan minuman yang sudah dipesan oleh Bastian dan Maretha. Kemudian ia meletakkan 2 buah kue manis yang di bagian atasnya terdapat serpihan-serpihan seperti aluminium foil, tapi berwarna keemasan.
"This is Pista Barfi, an Indian sweet. It contains thick milk, sugar and pistachio nuts. The golden ornamen on top of it, it's actually real gold. We only served this on special occasion. You are lucky to have this (Ini adalah Pista Barfi, kue khas India. Kue ini mengandung susu kental, gula dan juga kacang pistacio. Hiasan keemasan yang berada di atasnya, sebenarnya itu adalah emas asli. Kami hanya menyajikan ini di saat-saat yang sangat spesial. Kalian sangat beruntung untuk mendapatkan ini)", jelas Avnish sambil menunjuk 2 kue yang tertata sangat indah di piring bernuansa emas itu dan tersenyum bangga.
"We we don't order this (tapi kami ga pesan ini)", jawab Maretha judes. Ia tidak mau bila mereka harus membayar kue yang sepertinya harganya sangat mahal itu.
"Oh no no no, don't worry. Adelia gave you for free. Special occasion for her special friends (Oh tidak tidak tidak, jangan kuatir. Adelia memberikan ini kepada kalian dengan gratis. Hari yang spesial untuk temannya yang sangat spesial)", jawab Avnish lagi.
"Special friends?", tanya Maretha curiga.
"Ya, she said you are her flatmate. Right? (Ya, katanya kamu adalah teman serumahnya, benar?)", tanya Avnish. Bastian dan Maretha mengangguk-angguk. Avnish pamit dan mempersilahkan mereka makan.
"Heemmm enak banget. Iya ini mirip kayak di restoran padang. Jadi sebenarnya makanan India itu versi rumah makan Padangnya negara barat kali ya hahahaha", komentar Bastian berusaha mencairkan suasana. Walau makanannya begitu enak, Bastian yakin sekarang Maretha merasa sangat hambar.
"Aku tiba-tiba gak laper", jawab Maretha ketus. Ingin sekali rasanya ia ngambek berkepanjangan malam ini. Buyar sudah kencan romantis yang ia damba-dambakan. Ultahnya masih beberapa bulan lagi. Sekarang ia sedang menatap nasi dan kari yang sepertinya enak sekali dengan segala ornament-ornamen asing, tapi cukup menggiurkan. Tapi… entah kemana lari seleranya.
"Ihhh lu gimana sih? Yang mau makan disini juga elu kan? Gue uda nanya bolak-balik lu serius gak mau candle light dinner. Nah toh kita udah disini, uda pesen makanan, dan ternyata makanannya enak, ya udah nikmatin aja. Ribet banget sih!", Bastian mulai mengomel. Maretha yang tadi rencananya mau ngambek berkepanjangan, jadi urung. Ia tidak menyangka Bastian akan mulai mengomel. Akhirnya Maretha memasukkan suapan demi suapan ke mulutnya. Harus ia akui, makanannya sangat enak. Tapi ia berjanji, bila ia melihat Adelia mampir lagi ke meja mereka, ia akan memuntahkan semua makanan itu.
"Setidaknya, hargai gue donk. Ini ulang tahun gue, pengen tenang dan hepi. Setidaknya bisa makan dengan tenang", pinta Bastian sambil memegang tangan Maretha sebentar, sebelum akhirnya ia melanjutkan makan dengan sangat lahap. Setidaknya di restoran ini, ia bisa makan nasi dan lauk-pauk menggunakan tangannya. Sebuah kemewahan.
Bastian makan dengan sangat lahap. Beberapa kali ia mengecap, menggumamkan kata-kata "Hemmm", seakan-akan memuji makanan itu tanpa kata-kata. Dibalik perlakuannya, diam-diam ia melirik ke kanan dan ke kiri, mencari jejak Adelia. Gadis itu sepertinya sangat sibuk berlarian ke sana sini. Rumah makan ini benar-benar seperti restoran Padang. Tamu datang dan pergi silih berganti dengan cepat, hidangan cepat sampai di meja, dan pelayan yang selalu berjalan setengah berlari. Para tamu yang umumnya warga keturunan India atau bule lokal, berbicara dengan suara lantang, tertawa yang membuat suasana rumah makan itu begitu hangat dan meriah. Bisa dibayangkan berapa omzet mereka dalam satu hari?
"Drrttt... drrtttt...drttt", HP Bastian bergetar, dan nama sang mama tertera di layar. Bastian sudah menghabiskan seluruh makanan yang ada di nampan aluminium itu. Dari nasi, kari dengan kuah, dan juga segala printilan yang tersaji di 6 wadah aluminium imut-imut yang disusun rapi di dalam nampan, bersama nasi dan kuah kari. Ia mengenal tangannya dengan asal, agar ia bisa menyambar HP miliknya itu.
"Halo mama, ya, bentar ya Tian lagi makan malam. Sejam lagi Tian video call. Bye...", jawab Bastian cepat.
"Kenapa gak video call sekarang aja disini?", tanya Maretha.
"Berisik disini", kata Bastian. Tapi sebenarnya Bastian menghindari video call dari orangtuanya sekarang. Ia sangat yakin saat ini pasti orangtuanya ingin Adelia juga hadir di panggilan itu. Bisa repot bila tiba-tiba mamanya bertanya kemana Adelia. Apalagi kalau ternyata ada gadis asing yang justru sedang bersama Bastian. Bisa-bisa mama Wien dan papa Abraham langsung terbang ke Perth dengan pesawat berikutnya.
"Kamu blon ngomong ke orang tua kamu kalo aku ini pacar kamu?", tanya Maretha. Mereka sudah pacaran lebih dari 1 semester, tapi blon ada tanda-tanda Bastian membicarakannya kepada orangtuanya.
"Belon waktunya. Orangtuaku itu ribet banget soal urusan pacar. Selama ini aku tuh males pacaran ya karena itu. Ntar-ntar aja, pasti ada waktunya", jawab Bastian datar. Ia menyeruput mango lassenya dan bersiap-siap memakan kue berbentuk wajik dengan topping emas murni.
"Kayaknya kamu gak serius banget deh sama hubungan kita!", Maretha tiba-tiba sudah tidak ingin berniat makan. Padahal sih sebenarnya makananya tinggal 2 suap lagi. Seluruh printilan aksesoris makanan itu saja sudah habis. Ia cuma ingin sedikit mengancam Bastian, karena cowok ini benar-benar belum menganggap Maretha penting dalam hidupnya.
"Apa kamu segitu malunya sama hubungan kita? Kamu malu pacaran sama cewek miskin kayak aku? Miskin-miskin gini, aku tuh top 5 di kelas kita loh. Orangtua kamu seharusnya bangga anak mereka pacaran sama cewek pinter kayak aku! Toh tampang aku juga ga jelek-jelek amat. Kalo aku di dandanin kayak Adelia aja, pasti aku bisa lebih cantik dari dia! Cuma masalah modal doank, beb!", Maretha terus nyerocos ke wajah Bastian.
Bastian menatap Maretha tajam. Momen indah hari ulang tahunnya hancur begitu saja. Bastian lelah sebenarnya. Pembicaraan ini sebenarnya sudah sering di ulang-ulang seperti radio rusak. Segitu ngebetnya Maretha untuk di akui. Alih-alih kelihatan seperti mahasiswa top 5, ia kelihatan seperti gadis yang sedang depresi. Bastian baru saja menghabiskan kue emas pertama, dan tanpa ijin, ia sepertinya akan menghabiskan kue emas yang kedua itu.
"Menurut lo, gue gak serius, gitu?", tanya Bastian balik mengancam sambil menyuap kue kedua ke mulutnya. Ucapannya tenang, tapi matanya menatap Maretha dengan tajam. Maretha kaget mendengar pertanyaan Bastian. Bukan ini jawaban yang ia harapkan. Setidaknya cowok itu sedikit merayunya lah gitu. Kok malah balik ngegas!
"Bukan, maksud aku, kita toh uda berbulan-bulan pacaran Bastian, udah kissing, udah raba-raba segala. Tinggal telanjang ama tidur bersama aja yang kita belon. setidaknya....setidaknya....", Maretha yang tiba-tiba merasa frustasi, tidak mampu meneruskan kata-katanya. Bastian justru kaget dan langsung melihat ke kiri dan kekanan. Ia ingin memastikan tidak ada orang Indo, atau setidaknya orang Melayu yang dapat memahami kata-kata Maretha. Dasar gadis sinting!
"Jaga ucapan lo Retha. Gila aja ngomong begitu disini. Ya udah, aku udah kenyang, kita pulang aja. Bentar lagi gue harus video call sama mama papa. Rabu malam ini, jalanan macet dari city menuju Bentley biasanya", jawabnya ketus sambil melambai ke arah pelayan terdekat, untuk meminta bill. Dengan gragas, ia habiskan kue kedua. Untung saja kue itu rasanya manis.
Maretha hanya dapat melengos dengan sesal. Ngapain juga ia memprovokasi pacarnya seperti itu di saat hari ulang tahunnya. Untuk ulang tahun Bastian, Maretha tidak menyediakan kado yang spesial. Tadinya, setelah makan malam romantis, ia akan mengajak cowok itu menginap di flatnya malam ini. Toh perkuliahan mereka diadakan di sore hari. Ia ingin memberikan "kado yang super spesial" yang tidak bisa dibeli di manapun. Bangun tidur agak siang sepertinya ide yang sedikit nakal tapi romantis. Tapi sepertinya itu harus tertunda. Ia paham benar, pacarnya itu memang emosian dan moodian. Bila suasana hatinya sudah seperti ini, tidak akan berubah dalam waktu sejenak. Mungkin akan ia coba lagi besok.
-------------------------------------
Bastian baru saja mengantarkan Maretha kembali ke flat 27. Setelah menghabiskan makan malam mereka di maya masala, mereka mampir sebentar di sebuah toko kue dan membeli seloyang kue coklat untuk teman-teman flat 26. Bastian menyetir dalam keadaan sepi dan mencekam. Hanya suara musik bernuansa jazz kesukaan cowok itu yang berkumandang. Maretha juga tidak berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ia sudah bisa membayangkan, nasi soto yang akan dikirimkannya besok, pasti akan membuat cowok itu luluh, seperti biasa. Hati seorang cowok itu, ada di perutnya. Hati seorang cewek itu, ada di dompetnya. Begitu kira-kira prinsip Maretha.
Ketika Bastian menuruni tangga menuju flat 26, HP miliknya kembali bergetar. Sudah dipastikan mama dan papanya sekarang sedang berusaha menghubunginya. Ia tidak tau bagaimana caranya menyeret Adelia agar bisa ikut dalam panggilan video call itu. Ia cepat-cepat memasuki flat 26 dan sudah memegang HP-nya, namun ia angkat atau tidak ya? Ia masih bingung. Ketika ia masuk, tampak Adelia dan Ravi sedang berbicara di common room. Ketika Adelia melihat HP di tangan Bastian bergetar, ia seakan paham, dan berlari mendekati Bastian. Bastian langsung mengajak Adelia masuk ke dalam kamarnya. Tepat waktu banget!
"Halo mama, halo papa", sapa Bastian ketika ia mengangkat panggilan itu.
"Tiaann sayang happy birthday, mama papa kangeeenn", seru tante Wien, mama Bastian.
"Halo tante Wien, halo om Abraham", sapa Adelia. Bastian langsung mengarahkan HP itu ke wajah Adelia. Sekarang wajah lelah namun cantik Adelia, sudah memenuhi layar HP.
"Oalah ada calon mantuuu, kalian pasti abis birthday dinner bareng ya?", tanya papa Abraham yang langsung dibalas oleh senyum kaku Bastian dan Adelia. Bisa dibayangkan kalau dalam radius 5 meter ada Maretha atau Hisyam. Bisa di cincang-cincang mereka berdua.
"Aku tuh baru selesai kerja tante di restoran. Tapi tadi Tian makan disitu juga", jawab Adelia, tanpa menyebutkan bahwa ada orang ketiga yang ada di restoran tersebut. Saat ini, Bastian dan Adelia sama-sama duduk di tempat tidur, agar kedua wajah mereka bisa muat di layar HP itu.
"Iya ma, makanya sekarang nih kamar aku bau bombay dan kari", seru Bastian becanda dengan ekspresi pura-pura kebauan. Adelia langsung refleks menyikut dada cowok itu, dan pura-pura cemberut.
"Oucchh sakit taauuuu", katanya sambil tertawa. Adelia masih memasang wajah pura-pura ngambek. Begitu seterusnya, dan tidak terasa hampir 20 menit video call berlangsung antara orangtua Bastian bersama Adelia dan Bastian. Mereka saling menceritakan kegiatan masing-masing, dan melihat bagaimana Bastian dan Adelia "berantem" dan saling menyindir dengan lucu. Sungguh momen yang langka.
Mungkin karena ini ulang tahunnya yang pertama jauh dari keluarga, Bastian sangat menikmati obrolan ringan mereka. Beberapa kali Adelia dan Bastian saling menoyor, menjambak, atau bertingkah konyol selama video call tersebut. Orang tua Bastian sungguh bahagia melihatnya. Tidak bisa dipercaya, akhirnya Bastian dan Adelia bisa seakrab ini. Dulu saja, hal terakrab antara Adelia dan Bastian ya, cukup salaman ketika mereka bertemu. Itu juga cukup jarang.
"Fiuh, pinter juga akting kamu yak", seloroh Bastian kepada Adelia, tepat ketika panggilan video itu berakhir. Adelia hanya tersenyum nyengir sambil menjulurkan lidahnya. Terus terang, ia juga sebenarnya menikmati video call tadi.
"Sekali lagi, selamat ulang tahun ya tuan, saya pamit dulu. Capeeekkk", jawab Adelia sambil merenggangkan seluruh tangan dan torsonya. Tapi ketika ia ingat Bastian menyungging soal bau kari dan bombay, detik itu juga ia rapatkan seluruh ketek dan tangannya di bagian dadanya. Semoga tidak ada aroma-aroma lain yang berpendar di kamar itu. Bastian menyadari ketakutan Adelia dan tertawa ngikik sambil menjepit hidungnya, seakan-akan kamarnya memang bau sekarang. Adelia yang kesal, tambah membuka lengannya dan memamerkan keteknya kea rah wajah Bastian!
"Aku tadi beli kue, mau nyobain?", tanya Bastian sambil berdiri dari tempat tidurnya. Adelia menggeleng.
"Udah kenyang euy, capek juga. Mau mandi ah. Aku balik dulu ya. Byeee", katanya sambil melambai sekilas ke Bastian dan keluar dari kamar cowok itu. Bastian mengikutinya dan membukakan pintu untuk gadis itu. Semoga saja Maretha tidak tau soal ini. Bisa gawat! Adelia benar-benar penyelamatnya malam ini. Tidak saja ia berhasil tampil di saat video call dimulai, tapi entah kenapa, mood bastian sedikit membaik. Tidak disangka gadis sinting itu bisa membuat suasana lebih menyenangkan malam ini.
"Hemmm... having a good time with your mistress on your birthday? (Hemmm... menghabiskan waktu yang indah bersama selingkuhanmu di hari ulang tahunmu?)", tanya Ravi dengan senyum jahil penuh arti, hanya beberapa detik setelah Adelia keluar dari flat 26. Cowok India itu berdiri tidak jauh dari pintu kaca flat 26. Bastian langsung celingak-celinguk mencari sesuatu untuk dilempar ke cowok itu. Ravi yang mengetahui rencana Bastian, langsung terbahak-bahak sambil lari ke arah dapur.
"Damn you Ravi. Nothing happened. But, still, don't tell anyone, especially Maretha. Understand? (Dasar kamu Ravi. Tidak ada yang terjadi. Tapi, begitupun, jangan bilang pada siapapun, terutama Maretha. Mengerti?)", ancam Bastian sambil menodongkan telunjuknya ke arah cowok India itu. Ravi menggangguk sambil masih terus tertawa.
Bastian langsung membuka kotak kue yang dibelinya, dan kemudian memotong-motong dan meletakkannya di sebuah piring kecil. Ravi langsung mengambil sendok kecil dan mulai memakannya, tanpa disuruh dengan kata-kata.
"She's been here for a while. She was waiting for you (Dia sudah lama disini. Dia sudah menunggumu dari tadi)", kata Ravi. Bastian bingung. Berarti setelah ia mengambil pesanan Bastian dan Maretha, mungkin gadis itu langsung pulang ya. Apa dia sim salabim teleport dari restoran langsung ke flatnya? Setidaknya Adelia kan harus berjalan kaki ke halte, naik bus, turun di halte, dan jalan lagi sekitar 1 km menuju flatnya.
"She is a very nice and sweet girl. You are such a lucky guy", katanya lagi. Bastian tambah bingung. Maksudnya? Semua orang juga tahu kalo Marethalah pacarnya. Kenapa juga dari tadi cowok India ini bolak-balik memuji Adelia? Ravi kemudian memberi isyarat dengan matanya, ke arah laci dapur milik Bastian yang biasanya hanya berisi kopi kemasan yang berserakan. Di pegangan laci itu, tergantung sebuah kartu kecil dengan gambar kue ulang tahun.
"As I promised. Happy birthday Bastian".
Bastian bingung. Siapa yang memberikannya kartu itu? Siapa yang pernah berjanji dengannya? Dan kenapa harus di gantung di lacinya? Kenapa tidak diberikan langsung kepadanya? Dengan ragu, Bastian membuka laci itu. Sejenak ia kuatir, jangan-jangan ini prank Ravi. Apakah isinya kecoa, ular-ularan karet, atau sesuatu yang akan mencuat keluar?
Ketika laci itu akhirnya benar-benar terbuka, harum aneka teh menyebar ke indra penciuman cowok itu. Tersusun rapi aneka macam teh, dikemas dalam botol-botol kecil dan diberi label dengan tulisan dari spidol hitam dengan tehnik kaligrafi yang indah. Peppermint, jasmine, camomile, lavender, english breakfast, teh botol. Hanya orang yang kreatif gila yang bisa memikirkan ide seperti itu. Estetik, simpel, maskulin, rapid an juga menggugah selera. Bastian bisa menebak siapa yang cukup kreatif gila untuk melakukannya.
Tidak hanya toples berisi daun-daun teh, segala gula merah sachet, krimer sachet, madu dan juga setoples gula baru juga ada disitu. Bahkan di toples gula itu, ada tulisan kaligrafi yang sama, "Sugar that rocks". Bastian tertawa kekeh melihatnya. Semua tersusun rapi dengan bantuan partisi yang sepertinya di beli di toko peralatan rumah tangga yang terbuat dari kayu. Laci ini indah, rapi, hampir persis seperti laci si OCD itu. Adelia. Hanya saja Bastian tidak menemukan teko bertema putih biru dengan motif porcelen cina yang dimintanya. Itu kan juga bagian dari janjinya, bukan?
"She also gave you that", jawab Ravi sambil menunjuk sebuah teko kecil berbahan kaca transparan, dimana di bagian atasnya terdapat sebuah dripper, atau saringan teh. Mirip seperti teko yang biasa digunakan pagi pencita kopi untuk menyaring kopi hitamnya. Sempurna. Bukan porselen cina, tapi itu boleh juga. Mungkin Maretha bisa curiga bila ia memiliki teko yang sama dengan Adelia bukan? Hemm gadis sinting itu ternyata sudah memikirkan segalanya.
Bastian tersenyum dan berusaha menyembunyikannya dari Ravi. "Adelia, kamu mungkin kadang nyebelin dan sinting. Tapi aku akui, kamuuuuu... unpredictable", gumamnya dalam hati.