Tangan Kazo kembali menggapai air dingin itu dengan brutal. Kakinya menendang-nendang mencoba melepaskan diri dari tarikan makhluk tersebut.
Namun makhluk itu malah menarik tubuhnya lebih jauh lagi dengan lengkingan suara yang semakin terdengar marah. Mereka menyerang tubuh Kazo dengan membabi buta. Kazo tidak bisa bertahan lagi, air danau itu kini sudah memenuhi tenggorokannya.
Saat rasa putus asa semakin menenggelamkan perasaannya, tiba-tiba sebuah cahaya jingga kemerahan membayangi air danau. Cahaya jingga itu turun secara perlahan, seperti sebuah bola api yang tiba-tiba menembus dinding kegelapan. Lengkingan kemarahan makhluk itu semakin terdengar nyata, mereka marah, sangat marah. Terlebih saat bola api itu tepat terjatuh di hadapan Kazo, dan menerangi puluhan makhluk yang sedang mengelilinginya di sana.
Mata Kazo terbelalak nanar saat ia melihat makhluk dengan tubuh manusia namun berekor ikan seperti putri duyung. Tapi wajah mereka terlihat sangat menakutkan dan tidak bersahabat.
Kuku tangannya terlihat panjang menyerupai bilah-bilah pedang, lalu tubuh makhluk itu seluruhnya berwarna hitam dan licin. Putri duyung.... ternyata mereka tidak seindah yang ada di dalam bayangan Kazo.
Makhluk itu kembali berdecit marah sambil terus mengitari tubuh Kazo dengan gerakan cepat. Mereka tidak ingin melepaskan tubuh Kazo, tapi mereka juga takut dengan bola api merah berukuran bola kaki itu.
Mereka berteriak marah saat kulit mereka tiba-tiba terkelupas dan terbakar ketika berenang mendekat. Kazo melihat itu dengan pandangannya yang sudah mulai mengabur, dia tidak tahu sudah berapa lama dirinya tenggelam di danau tersebut. Kenapa sejak tadi dia tidak kunjung kehabisan nafasnya.
Mata Kazo hampir terpejam saat para makhluk itu akhirnya pergi menjauh dalam keadaan marah. Mereka pergi meninggalkan Kazo dengan bola api aneh itu. Sampai tiba-tiba sesuatu yang lain mendorong tubuhnya ke atas secara perlahan. Diikuti bola api merah yang perlahan meninggalkan kegelapan dan kengerian danau di bawah sana.
"Uhuk... Uhuk...."
Kazo terbatuk hebat dan langsung memuntahkan seluruh air yang ditelan ketika kepalanya tersembul dari permukaan air. Rasanya sungguh sesak dan menyakitkan, dia langsung menghirup udara dalam-dalam dan memenuhi rongga pernafasannya yang sudah kosong sejak tadi.
Anak itu masih terdiam dan mematung di atas air selama lebih dari lima menit. Ia masih mencoba mengatur nafasnya dan menunggu energinya sedikit pulih. Kazo menatap berkeliling pada air danau yang sudah kembali berwarna gelap. Kemana cahaya itu pergi? Batinnya.
"Apa yang dilakukan penghuni Porta Loka di sini?"
Sebuah suara tajam tiba-tiba saja terdengar menggaung dan langsung membuat Kazo menatap berkeliling dengan sikap waspada. Anak itu menatap pada tembok putih dan juga pada empat jalan labirin di sana.
Kazo segera berenang menepi ke salah satu jalan labirin itu, dia sudah tidak ingat jalan mana yang dilalui wanita burung itu saat membawa tubuh Arga. Yang terpenting saat ini ia harus keluar dari danau gelap itu.
Namun pergerakannya langsung terhenti saat Kazo tiba-tiba menangkap sesosok bayangan yang berdiri di ujung lorong labirin yang akan dia singgahi. Sosok itu berdiri tegap dengan empat kakinya yang menyerupai kaki kuda tapi bertubuh manusia.
Kazo terperangah di tempat, matanya kini beradu dengan sosok yang sedang mengawasinya dengan sorot tajam. Di belakangnya juga berdiri dua sosok yang sama, mereka menatap dengan pandangan yang sama tajamnya pada Kazo.
"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau seorang pelarian?"
*****
Arga segera bangkit dari jatuhnya saat mendapati dirinya dilempar kedalam gua yang gelap dan basah. Anak itu langsung beringsut mundur dan menepi pada dinding gua di sana. Wanita burung itu kini bertengger di atas batu menonjol dengan wajah licik yang terlihat senang.
Di sebelahnya terdapat sebuah singgahsana yang terbuat dari bebatuan secara alami. Sesosok makhluk dengan wajah banteng dan bertubuh manusia terlihat menduduki singgahsana itu.
Arga terkesiap menatap dua sosok itu, ia juga tampak terkejut saat melihat gua yang terlihat besar dan juga remang-remang. Suara air terjun tidak terlalu bising meskipun gua ini berada dibalik air terjun besar itu.
Mungkin karena tempatnya yang agak menjorok dan tertutup beberapa tonjolan batu yang menutup mulut gua di sana. Ditambah beberapa tanaman besar yang menggantung di mulut gua hingga membuat suara bising air terjun cukup tidak terdengar.
Arga kembali menatap waspada saat mendengar dengusan Minotaur itu.
"Lihat apa yang ku bawa Tuan? Seorang penghuni Porta Loka!" bisik wanita burung itu. Minotaur itu langsung mendengus kasar sambil menghentak-hentakkan ujung palu kapaknya ke lantai gua.
"Seorang penjelajah?" tanyanya dengan nada suara yang terdengar sengau dan tidak jelas.
"Tentu bukan, karena kita tidak boleh menyentuh para penjelajah. Tapi tak kusangka ada penghuni Porta Loka yang masuk sendiri ke dalam Verittam ini. Dan kau tahu peraturannya bukan, Tuanku?" ucap wanita burung itu dengan wajah liciknya." Kita boleh membunuh mereka yang melewati labirin ini, kecuali penjelajah!"
Tentu saja Minotaur itu langsung mendengus dengan senang. Sudah berapa ratus tahun selama ini dia hanya memakan daging-daging hewan kurus yang tidak mengenyangkan. Dan sekarang dihadapannya berdiri seorang pemuda tampan dan sehat yang akan menjadi menu makanan paling berharga untuknya.
Mendengar niat dua makhluk itu membuat Arga tersenyum kecut. Sial! Dia melewati labirin ini bukan untuk mati menjadi santapan makhluk buas itu. Bagaimana caranya ia bisa melarikan diri agar makhluk banteng itu tidak segera mengunyah tulang-tulangnya.
Menggunakan elemen angin untuk melarikan diri jelas tidak akan berpengaruh. Karena Harpy itu pasti akan dengan mudah mengejarnya. Jika dia mencoba menggunakan Alpha untuk meminta bantuan itu juga tidak mungkin. Karena dia akan kehilangan kesadaran sesaat untuk melakukan tehnik itu, dan bukan tidak mungkin banteng itu akan langsung memakannya saat itu juga.
Arga lalu berdiri perlahan sambil terus menatap waspada.
"Kenapa kalian menghuni tempat ini?" tanyanya. Harpy itu mendongak sesaat sambil menelengkan kepalanya. Ia lalu terbang perlahan menghampiri Arga yang masih menepi di dinding gua.
"Kau mau tahu?" tanyanya. "Karena Porta Loka tidak menerima makhluk seperti kami dan membuang kami setelah peristiwa ratusan tahun yang lalu. Mereka yang menghancurkan tempat tinggal kami, dan mereka juga yang membuang kami di dalam Verittam ini."
"Apa maksudmu?"
"Hahahaha... Selalu saja jawaban menyebalkan itu," sahutnya dengan wajah berang. Harpy itu lalu mendekatkan wajahnya pada Arga. "Gerbang Hiroki. Itulah tempat asal semua makhluk di dalam Verittam ini. Dan pria bernama Jakarri itulah yang membuang kami ke tempat ini."
Arga terperangah terkejut sambil menatap Harpy tersebut. Namun diluar dugaan, wanita burung itu tiba-tiba mengayunkan cakarnya dan langsung menusukkannya tepat ke dada Arga.