Chereads / BUKAN SALAH JODOH 2 / Chapter 21 - Nasib

Chapter 21 - Nasib

Vira merebahkan diri di sofa di susul suaminya yang baru pulang bekerja. Vino melepaskan dasi dan menyandarkan kepalanya di pundak Vira.

"Kenapa dengan wajahmu itu? Apa ada yang mengganggumu istriku.." tanya Vino dengan raut wajah manja, ya ampun berapa usia pernikahan mereka, seperti masih kemarin sore saja mereka bertemu.

Vira berdecak dan mengerutkan hidungnya, membuat vino gemas dan mencubit lembut.

"Rasanya rumah ini terasa sepi ya.. apalagi semenjak Aoran pergi." Ujar Vira menatap sekeliling, rumah mewah mereka memang sepi sih, hanya banyak pelayan saja, tapi pukul segini semua sudah kembali istirahat ke kamar masing masing.

"Apa kita harus membuat Aoran kecil?" Tanya vino dengan senyumannya yang penuh arti.

"Aih, kau pikir aku masih sanggup mengandung gitu?"

"Loh kenapa, tehnologi semakin canggih, apa yang kau cemaskan.." goda Vino dengan tatapan matanya yang mesra.

"Ah. Yang benar saja deh! Kau membuatku merinding.." seloroh Vira menolak sentuhan suaminya yang mulai menggoda.

Vino mengangkat kedua tangannya dan memijit lembut pundak istrinya. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Vira.

"Memangnya ada batasan usia ya.. kita kan masih segar dan sehat, kenapa tidak.." bisik Vino tak mau mudah menyerah.

Vira menggeleng kecil. "Iyaa iya.. aku mengerti, tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku saat ini suamiku.." ujar Vira merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Dia membantu mengulur dasi yang ternyata belum terlepas sempurna.

Vira membuka kancing kemeja suaminya satu persatu.

"Jangan di sini ah, nanti ada yang lihat.." bisik Vino malu malu kucing.

Plak!

Vira menepuk dada vino gemas. "Kau apa sih, aku bantu melepaskan pakaianmu agar kau lekas lekas mandi, memangnya siapa yang mau tidur denganmu kalau bau keringat."

"Aih.. aku begitu merindukan istriku, kenapa malah di suruh mandi, nanti saja setelah kita bersua dengan rindu yang dalam ini.." seloroh Vino mendekatkan wajahnya pada wajah Vira.

"Ck.." decak Vira kesal. Pria itu malah mencuri kecupan kecil di bibir istrinya.

"Hentikan.. mandi dulu sana.." Vira menarik lengan suaminya agar bangkit dari sofa, dia mendorong tubuh Vino hingga prianya masuk ke kamar dan berakhir di kamar mandi.

"Baiklah sayang, aku akan mandi dan wangi, tapi sepanjang malam kau tak boleh terlelap ya!" Teriaknya dari balik pintu kamar mandi.

Dasar! Dia masih sama saja, masih penuh gairah, usia tak memakan ke harmonisan mereka.

Selama Vino di kamar mandi, Vira mengecek ponselnya, dia memperhatikan dengan seksama pesan yang baru saja masuk ke emailnya.

Ini adalah surel dari Herman.

Setelah Lily di bawa ke rumah sakit dan dinyatakan baik baik saja, gadis itu dibawa bertemu dengan Vira tentu saja tanpa sepengetahuan Vino.

Vira memfasilitasi semua penerbangan, sekolah dan tempat tinggal selama Lily menuntut ilmu di luar negeri, sesuai dengan permintaan putranya, memang seorang wanita selalu saja tidak bisa menolak permintaan putranya, apalagi anak semata wayang.

Vira berharap banyak pada Herman yang mengantar gadis itu, dia tak membicarakan perihal Aoran yang memintanya, Vira menyimpan semua kenyataan itu. Setahu Lily, dia sekolah di luar negeri agar memiliki pendidikan yang setara dengan keluarga Wihelmina, apalagi dia akan menikah dengan Herman, yang merupakan salah satu orang penting perusahan.

Entah mengapa ada keraguan di hati Vira, tapi dia sendiri tidak mengerti apa itu. Dia merasa takut dan was was. Apa karena dia merahasiakan semua ini dari Vino, mungkin..

"Aku harus percaya pada Aoran.." ujarnya meyakinkan diri sendiri.

"Kau mikirin apa sih, kok kelihatannya pusing banget!" Vino memeluk istrinya dari belakang, mengejutkan Vira dengan kulitnya yang lembab dan basah. Ya ampun bahkan suaminya ini belum.mengeringkan rambut dengan sempurna.

"Kemana piyama dan handukmu sayang?" Tanya Vira, dia berusaha mengurai dekapan tangan Vino di pinggangnya, dia mengambil handuk kecil dan mulai mengering kan rambut suaminya.

"Berapa lama kita menikah, kenapa.kau masih bertingkah seperti ini sayang, ya ampun kau membuatku ingin tergelak. Kalau bukan Aoran sekarang malah kau yang bertingkah manja." Celoteh Vira sembari mengeringkan rambut Vino dengan lembut.

Setelah rambut Vino sedikit kering, wanita itu beranjak, dia mengambilkan piyama suaminya dari lemari.

"Ih, siapa bilang aku akan pakai pakaian ini.." ujar Vino menolak piyama yang diambilkan oleh istrinya.

"Hah?" Vira menautkan alis heran.

"Kalau ada yang mudah ngapain pilih yang susah.."

Klik!

Vino menekan tombol di samping tempat tidur hingga cahaya terang kamar berubah temaram, pria itu mengulur ikatan handuk di pinggangnya.

"Ya ampun.. kau serius dengan ucapanmu tadi.." bisik Vira menutup wajahnya yang panas.

Usia memang bertambah tapi hubungan ini masih sama saja.

"Kemarilah istriku!" Pinta Vino hingga istrinya melangkah mendekat, pria itu menarik ikatan piyama di pinggang istrinya, dia membantu Vira menyusul dirinya. Kembali ke atas ranjang dengan tubuh yang polos, bermain panas di bawah selimut.

Setidaknya, kegundahan di hati Vira berhenti sejenak, berganti nafas berat dan permainan panas yang membuat malamnya terasa begitu menggairahkan.

"Kau suka?" Tanya Vino mencari wajah Vira yang masih terus mendesah di bawah sana.

"Aku memilih beberapa varian rasa yang kau sukai sih, bukankah di sini tidak ada ya.."

Vira mengawasi rambut yang jatuh di dahinya.

"Berhenti bicara sayang.." bisik wanita itu kembali merangkak di atas tubuh suaminya, dia siap untuk beberapa babak lagi.

"Tadi katanya malas, tidak bersemangat, sekarang coba lihat siapa yang paling bersemangat.." goda Vino menyambar bibir istrinya, dia melahap dengan penuh cinta. Saat nya berganti posisi.

***

Lily merasa canggung mengikuti langkah Herman yang menuntunnya pada sebuah gedung yang bisa dibilang cukup mewah. Apa ini apartemen.

"Nah, ini adalah flat, banyak mahasiswa yang tinggal di sini terutama dari kampusmu nanti. Lalu.. kau bisa tinggal di sini, dan semua biaya sudah aku tanggung!" Ujar Herman dengan raut wajahnya yang meyakinkan, Lily mengangguk kecil.

Sebenarnya dia sangat senang mendapatkan peluang belajar hingga ke luar negeri hanya saja, alasan di balik semua ini yang membuatnya tak bersemangat dan urung senang. Dia belajar hanya karena akan menjadi istri dari bapak tua ini? Lily benar benar tak punya pilihan hidup.

"Ayo, biar aku tunjukkan kamarmu. Ya.. memang tidak begitu mewah sih tapi lumayanlah, ada tempat tidur, dapur kecil, ruang belajar.." ujar Herman menekan tombol di dinding lift. Lily menarik koper besar di tangannya dengan bersusah payah. Entah Herman sadar atau tidak, pria itu berjalan di depan Lily dengan satu tangan menunjuk ke arah mana saja sementara satu lengan lagi terlipat di belakang tubuhnya.

"Kau akan tinggal di flat ini, lalu besok kau bisa bertemu dengan dewan sekolah, aku akan mengatur semuanya.."

Tring!

Lift terbuka dan Herman mempersilahkan Lily yang masih bersusah payah mengatur laju koper di tangannya.

"Nah, itu yang akan menjadi tempat tinggalmu, nomor 808!" Seru Herman menunjuk sebuah pintu dengan nomor tergantung persis dengan ucapan Herman.

Cklek!

Herman membukakan pintu, dia mengulurkan tangannya, mempersilahkan Lily masuk dengan senyuman menghiasi wajahnya.

"Masuklah, ini adalah kamarmu.."

Lily menatap wajah tersenyum.herman lalu menatap ke isi ruangan sana. Pupilnya membesar.

Itu ga salah!

Pasangan muda mudi sedang setengah telanjang sambil berkecupan panas. Saat melihat pintu mereka terbuka dengan Herman di depan sana yang bertingkah seperti office room hotel membuat kecupan keduanya terjeda. Pasangan itu menoleh kompak dan tatapan mereka bertemu dengan bola mata Lily yang membulat.

"Kenapa.. jangan sungkan sungkan, segera masuk dan lihat lihat, aku membayar biaya sewa yang cukup kok untuk kau tinggal dengan nyaman.." ujar Herman sekali lagi mempersilahkan Lily.

Lily menelan ludahnya, ujung telunjuknya gemetar.

"A, aku.. aku akan tinggal dengan mereka?" Tanya Lily heran.

Herman menautkan alis bingung. "Mereka?" Tanya nya, dia memutar kepala dan menatap ke dalam ruangan.

Astag!!!

Seorang wanita yang membelakangi, dan seorang pria dengan tubuh kotak kotak, pada bagian rahang tegas pria itu tumbuh rambut rambut hitam yang persis seperti rambut yang tumbuh did adanya, rambut itu juga membuat garis lurus menuju ke area bawah sana.

Naik turun.

Naik turun.

Sorot mata Herman naik turun memperhatikan kekasih orang hingga salivanya tampak turun memenuhi bibir.

"Mak.. tampan dan gagah kali.."

"Pardon?" Ujar pria di dalam sana dengan alis tebalnya yang bertaut kencang.

"Ouh so sorry mate.. saya salah ruangan hehehe… saya seharusnya berada di ruang lain, ruang 880.. kalau mau mampir silahkan!" Ujar Herman memasang senyum cengengesan sebelum menarik game pintu.

Lily menaikkan sorot matanya. Ya ampun! Ini kah calon suaminya nanti?

Cklek!

Herman membuka pintu sekali lagi. Membuat dua orang penghuni ruangan gagal menyambung kecupan mereka.

"Sorry.. kau butuh nomor ponselku?" Tanya Herman kemudian pada si pria sambil mengedipkan matanya.

Cklang!

Lemparan kaleng soda membuat Herman segera menarik handle pintu dan berlari, dia meninggalkan Lily yang cuma bisa bengong tak mengerti.

Ya Tuhan.. hidup gini amat ya..

**

Jangan lupa dukungannya… batu vote, review