Nilam yang baru saja selesai olahraga terkejut menemukan Nik si fotografer yang satu bulan lalu memotretnya ada di dapur rumah bu Darmi. Laki-laki itu hanya mengenakan celana jeans yang menggantung rendah di pinggulnya tanpa mengenakan atasan, Nilam spontan menunduk demi mengalihkan pandangannya dari otot Nik yang kencang.
"Hai kembang desa, udah liat hasil portofolionya?" tanya Nik sembari membuka tutup air mineral yang ia dapat dari kulkas rumah bu Darmi.
"Belum, memang udah jadi?" Nilam berusaha bersikap sesantai mungkin ketika berjalan ke meja makan dan mengambi sebutir apel dari keranjang.
"Udah, ada di Rara. Tanya aja" Perempuan itu mengangguk dan mulai menaiki tangga menuju kamarnya. Nilam mengerutkan dahinya ketika melihat Nik mengikutinya naik ke lantai tiga, semua pekerja bu Darmi entah laki-laki atau perempuan memang tinggal bersama di rumah ini, tapi mereka semua menempati lantai yang berbeda.
Lantai tiga untuk pekerja perempuan dan lantai dua untuk pekerja laki-laki, Nik seharusnya berhenti di lantai dua karena sudah pasti alasan Nik bisa menginap adalah karena ia berteman dengan salah satu pekerja laki-laki di rumah bu Darmi.
"Berhenti ngikutin saya!"
Nilam memutar tubuhnya untuk mengadap Nik yang masih berdiri di belakangnya, Nilam semakin merasa di permainkan ketika bukannya meminta maaf Nik malah menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Nik menertawakannya.
"Kayaknya lo salah paham, gue enggak ngikutin lo" Nilam melipat kedua tangannya di dada, sama sekali tidak percaya dengan Nik.
"Serius! gue enggak ngikutin lo. gue nginep di tempat Rara" Mendengar ucapan Nik, Nilam spontan menurunkan tangannya dari dada. Wajah perempuan itu memerah menahan malu begitu Nik yang masih tertawa kecil melambaikan tanangannya dan menghilang di balik pintu kamar Rara yang memang berada tepat di depan kamarnya.
***
Wajah Nilam merengut begitu melihat Nik ada di meja makan yang sama dengan bu Darmi dan Rara. Laki-laki itu seharusnya tidak berada di sana karena peserta makan malam biasanya benar-benar terbatas. Kadang bahkan Nilam hanya makan malam berdua dengan bu Darmi di meja panjang itu.
"Marah?" Nilam tetap diam, Sejak tadi Nik memang terus mengikutinya seperti anak ayam.
"Oh, ayolah. Harusnya yang marah itu gue." Laki-laki itu mengulum senyum, Nilam semakin sebal melihatnya.
"Maaf oke? gue janji enggak akan bahas kejadian hari ini di depan Rara atau yang lain. Jadi, lo enggak perlu malu."
"Nik!" Nilam yang kesal memukuli tubuh laki-laki itu kencang, bukannya kesakitan Nik justru semakin tertawa puas.
"Hei, pelan-pelan kembang desa." Nilam nyaris terjungkal, ia pasti sudah akan memecahkan gucci kesayangan bu Darmi jika Nik tidak menangkapnya.
"Pelan-pelan Nilam, pelan-pelan." Nilam seolah terhipnotis, ia tidak bergerak sama sekali ketika Nik mulai mendekatkan wajahnya. Nilam bisa merasakan hembusan napas Nik, dan itu membuatnya semakin gugup.
"Nik!" Nilam spontan langsung mendorong tubuh Nik menjauh begitu Rara mendekat, perempuan itu menundukan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Eh, kalian kenapa? Nilam, Nik gangguin lo ya?"
"Eh, enggak, enggak kok. Eng saya ke bu Darmi dulu deh." Nilam pergi begitu saja, sama sekali tidak mau tau apa yang Rara bicarakan dengan Nik. Dari tempatnya berdiri, Nilam hanya sekilas melihat dua sejoli itu seperti sedang berdebat.
Nilam masih terus merasa Nik memperhatikannya, hal itu membuat perempuan itu salah tingkah. Akibatnya Nilam tidak bisa dengan jelas menyimak obrolannya dengan bu Darmi.
"Nilam."
"Hah? Kenapa bu?"
"Ck, kamu ini dengerin saya enggak sih dari tadi." Perempuan tua itu menggerutu.
"Maaf bu, tadi ibu bilang apa ya?"
"Duh kamu ini." Bu Darmi membuka kipas di tangannya dan kembali mengulang ucapannya tadi.
"Kamu sebentar lagi ulang tahun kan? Nah, kali ini saya mau bikin perayaan besar untuk kamu."
"Eh, jangan bu. Enggak usah, saya enggak mau semakin merepotkan." Nilam sedang tidak berbasa basi, ia memang tidak ingin merepotkan bu Darmi lebih banyak lagi.
"Enggak apa-apa, kita akan tetep rayain ulang tahun kamu. Di hotel ya, nanti kamu juga beli gaun, ajak Rara." Bu Dari masih sibuk mengipasi wajahnya dengan kipas besar di tangannya.
"Lagian ini kesempatan bagus untuk ngenalin kamu ke klien saya Nilam, di pesta nanti mereka semua akan lihat kalau kamu jauh lebih cantik aslinya di bandingkan di foto portofolio kamu itu." Nilam sedikit tersipu, ia senang di katakana cantik.
"Tapi apa enggak terlalu merepotkan bu? Biaya hidup saya aja sampe sekarang masih ibu tanggung. Ngerayain pesta ulang tahun di hotel itu pasti butuh biaya banyak."
"Enggak masalah, atau kalau kamu merasa terbebani kamu bisa menganggap itu semua sebagai hutang." Nilam terlalu polos untuk bisa melihat sebaris senyum licik di bibir Darmi.
"Kamu bisa melunasinya setelah mulai bekerja nanti."
"Iya bu, saya pasti akan ngeganti semua kalau udah mulai bekerja nanti."
"Yah, saya harap kamu enggak akan pura-pura lupa nanti." Nilam menggelengkan kepala kuat, perempuan itu meyakinkan Darmi kalau ia bukan manusia tidak tau diri seperti itu.
***
"Coba yang ini." Nilam mengambil gaun yang pilihkan Rara, mereka sedang berada di pusat perbelanjaan sekarang.
"Eng, enggak ada model yang lain Ra?"
"Loh, kenapa. Enggak suka sama gaun yang ini?"
"Eng, terlalu terbuka enggak sih?"
"Hahahaha, astaga Nilam. Enggak, percaya gue. Lo pasti cantik banget pake gaun ini." Nilam mengamati lagu gaun pilihan Rara, gaun itu tidak berlengan dan hanya memiliki satu tali tipis di pundak. Panjangnya memang sampai mata kaki, tapi belahannya nyaris setengah paha.
"Di coba Nilam."
"Haah, oke." Nilam masih terus mengamati gaun pilihan Rara, gaun di tangannya benar-benar sangat terbuka. Perempuan itu sama sekali tidak mengerti kenapa orang kota yang memiliki banyak uang suka sekali mengenakan pakaian seperti ini.
"Ck, susah lagi." Ritsleting gaunnya menyangkut.
"Haah, Ra! Rara, kamu di luar kan? Bisa tolong bantu saya?" Tidak ada jawaban.
"Ra!"
"Kenapa Nilam?" Itu bukan suara Rara, Nilam yakin sekali kalau suara temannya itu tidak seberat itu.
"Nilam?"
"Eng, Nik?" Nilam hanya asal menebak, tapi seseorang di luar sana justru mengiyakan.
"Kamu kok di sini, Rara mana?"
"Kebetulan lewat terus liat Rara, ternyata dia bareng sama lo."
"Iya, Raranya mana sekarang?"
"Ke kamar mandi sebentar." Nilam menggigit bibirnya, ritsleting gaunnya masih menyangkut.
"Nik, boleh minta tolong panggilin mba penjaganya?"
"Kenapa, lo butuh sesuatu?" Nilam ragu, tapi akhirnya ia mengatakan masalahnya.
"Iya, ritsleting gaunnya nyangkut."
"Ah, sini biar gue bantu."
"Eh, jangan!" Nilam menahan tirai yang menutupi ruang ganti saat Nik berusaha membukanya, bisa di bilang saat ini perempuan itu sedang dalam keadaan setengah telanjang. Nilam tidak akan membiarkan Nik melihatnya dalam kondisi seperti itu.
"Mereka semua sibuk Nilam, bukan cuma lo yang harus mereka layanin."
"Kalau gitu nunggu Rara aja."
"Lama, bu Darmi bisa marah kalau kalian kelamaan di sini." Nilam menggigit bibir bingung, karena perkataan Nik memang benar.
"Oke, tapi kamu tutup mata."
"Gimana caranya gue bantu lo kalau sambil tutup mata?"
"Pokoknya tutup mata!" Nilam keras kepala, setelah Nik menyetujui syaratnya barulah perempuan itu melepaskan tangannya dari tirai dan membiarkan laki-laki itu masuk ke bilik ruang ganti.
"Gue udah tutup mata Nilam."
"Saya cuma mau mastiin kalau kamu enggak bohong." Setelah memastikan Nik benar-benar menutup matanya Nilam berbalik mengarahkan punggungnya tepat di hadapan Nik.
Nilam menahan napas, ketika jari-jari Nik mulai menyusuri punggungnya. Mungkin karena matanya terpejam Nik kesulitan menemukan letak ritsleting gaunnya, jari-jari laki-laki itu justru menyusri punggung telanjangnya sejak tadi.
"Di sini Nik." Nilam yang jengah akhirnya menuntun tangan laki-laki itu.
"Lumayan." Nilam mengeryitkan dahi, tidak mengerti dengan ucapan Nik.
"Dengan ukuran sebesar itu, lo pasti bakal bisa muasin klien lo nanti."
"Nik!" Nilam langsung berbalik badan meski gaunnya belum benar-benar terpasang perempuan itu terkejut karena ternyata sejak tadi Nik membohonginya. Laki-laki itu membuka matanya dan melihat seluruh tubuh bagian atasnya yang terbuka.