"Kita ngapain sih?"
"Stt, jangan berisik ah."
"Ck, kalau enggak boleh berisik ya gue keluar aja."
"Eh, jangan coba-coba!" Nilam yang sedang menyembunyikan diri di balik selimut menggeram kesal, Rara dan Nik sejak tadi terus saja berisik di kamarnya.
"Udah lah, kita biarin aja dia. Salah sendiri naif, pake sok-sokan bilang orang munafik lagi."
"Nik.." Laki-laki itu mengangkat tangan tanda menyerah, sedangkan Rara meletakan nampan makanan yang sejak tadi di bawanya di atas meja.
"Makan dulu Nilam, lo cuma bikin masalah baru kalau kayak gini."
"Ck, ayolah kembang desa. Buka dulu selimutnya dan kita ngobrol sebentar." Kali ini Nik yang membujuk.
"Jangan merasa jadi yang paling teraniaya Nilam, karena di sini lo bukan satu-satunya. Semua orang yang tinggal di rumah ini udah pernah ngerasain gimana rasanya di posisi lo."' Lanjut Nik tanpa perasaan.
"Gue berusaha ngasih lo petunjuk." Rara akhirnya bersuara
"Waktu kita buat portofolio, gue berusaha buat lo sadar jenis pekerjaan apa yang bu Darmi sediain untuk kita. Gue harap lo bakalan curiga, karena pelayanan jasa macam apa yang portofolionya di buat pake baju kekurangan bahan kayak gitu."
"Rara dan semua orang di rumah ini enggak bisa peringatin lo terang-terangan Nilam, bu Darmi itu kejam. Dia enggak akan pernah segan menghukum pekerjanya yang enggak patuh" Nik menambahkan.
"Gue lahir di ibu kota, kota impian semua orang. Tapi buat gue kota ini kutukan" Nilam kembali mendengar suara Rara.
"Dulu tempat ini enggak begini, bu Darmi juga bukan geremo. Dia bibi yang baik untuk ibu gue." Nilam sedikit membuka selimutnya karena terkejut dengan ucapan Rara.
"Iya, gue ini keponakannya bu Darmi. Dulu, ibu gue baru umur tujuh belas tahun waktu di bawa bu Darmi ke sini setelah di usir dari rumah karena hamil di luar nikah. " Rara menghela napas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Di sini jadi baik enggak ngejamin lo juga bakal di tolong orang Nilam, bu Darmi yang waktu itu butuh biaya besar untuk pengobatan anak satu-satunya udah keliling minta bantuan ke orang-orang yang di kenalnya tapi mereka semua mendadak malingin muka, enggak ada satu orangpun yang mau buka pintu untuk bu Darmi." Nilam berusaha mengabaikan tangan Nik yang terulur untuk menggenggam tangan Rara yang terkepal.
"Bu Darmi yang waktu itu masih kerja jadi pembantu rumah tangga akhirnya nekat dateng ke tempat majikannya untuk minjam uang, majikan bu Darmi bilang dia mau bantu asal bu Darmi mau ngasih apa aja yang dia minta." Suara Rara mulai bergetar.
"Lo tau Nilam, apa yang dia minta? Ibu gue." Rara kelihatan sangat berusaha keras menahan air matanya.
"Ibu lagi hamil tujuh bulan waktu di jual ke majikan bu Darmi dan gara-gara itu gue harus lahir lebih cepat. Premature."
"Lagi-lagi bu Darmi harus ngajuin pinjaman ke majikannya untuk biaya perawatan gue sama ibu, parahnya setiap tahun hutang itu bukannya berkurang justru semakin membengkak, enggak peduli sebayak apapun ibu sama bu Darmi berusaha nyicilnya. Akhirnya, ibu gue resmi jadi pelacur yang di jajakan bu Darmi ke majikannya atau klien majikannya itu." Nilam tidak bisa tidak merasa iba ketika melihat Rara dengan tanggan gemetar menghapus air mata yang akhirnya jatuh ke pipinya
"Semua orang yang ada di sini datang dengan berbagai alasan Nilam, ada yang suka rela datang sendiri karena butuh uang. Ada juga yang enggak cukup beruntung karena di tipu sama bu Darmi, kayak lo. " Nilam meraba wajahnya yang ternyata juga sudah di banjiri air mata.
"Di bandingkan nyiksa diri, lebih baik lo mulai beradaptasi Nilam. karena mau nyesel juga percuma, waktu enggak bisa di puter lagi kan?" Ia mengerti penjelasan Rara tapi tetap saja hatinya masih tidak bisa terima. Ia tidak akan membiarkan bu Darmi mendapatkan apa yang ia inginkan begitu saja.
Nilam benar-benar menguji kesabaran bu Darmi dengan terus mengurung diri di kamar selama satu minggu penuh, hal itu membuat bu Darmi murka dan akhirnya memutuskan untuk mendobrak paksa pintu kamar perempuan itu.
"Kamu kira bisa malas-malasan sekarang! Dewa beberapa kali menelepon dan menanyakan kamu Nilam!" Nilam tertatih-tatih mengikuti langkah bu Darmi yang menyeretnya menuju galeri.
"Lihat ini, ini semua adalah hutang yang harus kamu bayar kepada saya!" bu Darmi melemparkan setumpuk kertas kepada Nilam yang sedang berdiri dengan di apit dua penjaga, dulu bu Darmi bilang ke dua orang ini hanya satpam biasa ternyata mereka adalah para eksekutor jika ada pekerja yang membangkang. Mereka sama seperti algojo pak Tono dulu.
"Saya mau pergi dari sini, saya enggak mau jadi pelacur!"
"Kurang ajar!" Nilam merasakan perih di kulit kepala ketika nu Darmi menarik rambutnya dengan kasar.
"Denger perempuan sialan! Kamu boleh pergi dari sini setelah semua hutang-hutang kamu lunas, sampai hal itu terjadi enggak usah kamu ngomongin harga diri sama saya!"
"Lepas! Lepas!" Nilam berusaha berontak ketika dua penjaga bu Darmi memegangi tubuhnya, Nilam tau ia akan di hukum ketika bu Darmi memberikan tanda kepada dua penjaga yang langsung dengan sigap menyeretnya keluar dari galeri.
***
"Nilam! hey, Nilam!" Nilam gelisah dalam tidurnya, samar ia merasakan perih di kulitnya juga tamparan keras di wajahnya. Nilam yakin ia bermimpi ketika melihat bu Dami tertawa dengan puas sembari mencambuknya kuat-kuat, bu Darmi tidak mungkin tega menyakitinya seperti ini.
"Astaga, Nik! Cepetan!" Nilam tidak tau apa yang terjadi, tapi tiba-tiba saja ia berteriak histeris meminta ampun kepada bayangan penjaga bu Darmi yang sibuk menendangi tubuhnya.
"Enggak! Pergi kalian pergi!" Rara berusaha keras menahan tubuh Nilam yang tiba-tiba saja memberontak.
"Jangan! Tolong, jangan! Hiks.. hiks.." Nilam merasa semakin panik ketika gambaran gudang yang di lihatnya berubah menjadi kamar hotel, ada Dewa disana yang sedang tertawa puas, laki-lai itu dengan penuh percaya diri menertawakan kepolosan Nilam. Bayangan-bayangan itu silih berganti dan terus mengejar Nilam, ia ketakutan.
"Enggak!" Nilam merasa sentakan kuat pada tubunnya ketika akhirnya berhasil membuka mata, dengan nafas terengah-engah matanya liar memandangi sekelilingnya.
"Mimpi." Nilam meyakinkan diri, bu Darmi pasti tidak akan sampai tega menjualnya apa lagi menyiksanya di gudang.
Mata Nilam masih terus mencari-cari, ia belum juga fokus hingga akhirnya menyadari bahwa apa yang menimpanya satu bulan lalu bukanlah sebuah mimpi, lebam yang mulai sedikit memudar di pergelangan tangannya adalah buktinya nyata atas hukuman yang bu Darmi berikan untuk Nilam satu bulan yang lalu.
Hari itu para penjaga menyeret tubuh Nilam dengan paksa menuju gudang dan mengikat kedua tangannya di sebuah tiang, tidak lama kemudian bu Darmi masuk dengan membawa cambukan kulit di tangannya.
"Nilam..Nilam..Nilam.." bu Darmi menyebutkan namanya sembari membelai pecutannya dengan ibu jarinya
"Seharusnya kamu belajar dari Rara, gimana caranya jadi patuh!" Nilam tersentak ketika merasakan perih di punggungnya. Bu Darmi dengan tidak berperasaannya memecut punggung Nilam dengan keras.
"Ini adalah hukuman teringan yang akan di terima oleh mereka yang enggak patuh Nilam" Nilam memejamkan mata ketika bu Darmi memaksanya untuk mendongkakan kepala dengan menarik keras rambutnya
"Kamu beruntung karena harga kamu masih cukup mahal, jadi enggak perlu ngerasain hukuman yang dulu di terima Rara."
Nilam menggigit bibirnya keras ketika pecutan bu Darmi kembali terasa di punggungnya, berkali kali. Nilam juga tetap mengunci bibirnya ketika para penjaga memukuli tubuhnya dengan kasar, ia tidak akan sudi memberikan kepuasan kepada bu Darmi dan orang-orangnya karena sudah menyiksanya.
Nilam ada di ujung batas ketika akhirnya tidak sadarkan diri, tubuhnya tidak lagi sanggup menerima siksan bu Darmi. Sayangnya penyiksaan itu harus ia rasakan satu minggu lamanya, tanpa makan dan minum.
***
Nilam menerima gelas yang di ulurkan Rara kepadanya, siksaan yang di lakukan bu Darmi meninggalkan bekas di tubuh Nilam. Untuk itu Nilam di bebas tugaskan selama lukanya belum sembuh, bu Darmi bilang ia hanya menjual barang bagus kepada kliennya jadi Nilam harus berusaha menghilangkan segala bekas luka dan juga lebam di tubuhnya jika tidak ingin nasibnya lebih mengenaskan dari ini.
"Ra, ini obatnya" Nilam tidak lagi heran mendapati Nik dengan begitu saja memasuki kamarnya, entah bagaimana laki-laki itu seolah menjadi penghuni tetap rumah bu Darmi dan menjadi laki-laki paling siaga ketika Rara atau Nilam membutuhkan bantuan.
Dua minggu yang lalu Nilam mulai mengkonsumsi obat-obatan, Alprazolam. Rara yang meberikan obat itu kepadanya begitu mengetahui kalau Nilam selalu bermimpi buruk semenjak di keluarkan dari gudang, obat itu mampu memuat Nilam tenang ketika tubuhnya tiba-tiba tremor karena mimpi buruk yang di alaminya.
"Makasih." Ucap perempuan itu sembari mengembalikan gelas minumannya ke tangan Rara, Nilam mulai merasakan semua otot syarafnya mengendur setelah meminum obatnya, perlahan ia juga mulai bisa bernafas dengan normal. Sekarang Nilam tiba-tiba saja merasa mengantuk lagi.
Nilam kembali membuka matanya, kali ini ia terbangun sendirian. Perlahan Nilam turun dari ranjang dan berjalan menuju meja rias, ia pandangi wajahnya yang terpantul dalam cermin. Tidak ada lagi Nilam dengan pipi yang merona alami, sekarang Nilam hanya melihat seorang perempuan dengan rambut ikal kusut berwajah kuyu.
"Nilam, lo enggak bisa terus-terusan kayak gini. Adaptasi Nilam, belajar beradaptasi dan nerima semuanya. Kalau kayak gini terus bu Darmi pasti enggak akan segan ngelakuin hal yang lebih ekstrim, anggap aja ini memang takdir yang di gariskan tuhan untuk kamu lalui."
Nilam menyentuh wajahnya yang kuyu sembari mengingat ucapan Rara semalam, mungkin seperti itu cara Rara bisa tetap tertawa meskipun harus hidup dengan orang yang sudah merenggut masa depannya, merenggut ibu yang di sayanginya.
Adaptasi, Nilam sekali lagi mengulang kata itu. benar Nilam harus beradaptasi, ia tidak akan membiarkan semesta terus menerus membuat hidupnya menderita. Nilam harus beradaptasi agar bisa tetap menikmati hidup seperti Rara. Merasa yakin dengan pikirannya Nilam akhirnya meberikan senyum pada sosok Nilam yang sekarang terlihat cantik dalam pantulan cermin.
Nilam si gadis desa sudah mati sekarang mari ucapkan selamat datang kepada Nilam si gadis kota yang baru saja terlahir.