"Astaga, Nik!" Rara berteriak heboh ketika Nik mengambil minuman yang sedang ia buka, dua sejoli itu memang sangat berisik sejak tadi.
"Minta, pelit banget."
"Ambil sendiri!" Nik mengabaikan ucapan Rara, laki-laki itu dengan santai tetap membuka kaleng soda di tangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan cepat.
"Nik! Lo gila ya?!"
"Hahahaha, duh sakit tenggorokan gue." Rara berdecak dan cepat-cepat mengulurkan air putih untuk si fotografer.
Nilam memperhatikan semua interaksi itu dalam diam, perempuan itu tetap memangku popcorn di pahanya. Sama sekali enggan bergabung dengan keseruan yang Nik dan Rara buat sendiri.
"Ck, ayo lah kita mulai nonton."
"Oh, kalian duluan aja. Gue mau ngangkat telefon ini sebentar." Nilam melirik Nik sekilas dari ekor matanya.
"Oke Nilam, mumpung Nik masih sibuk ayo kita pilih filmnya sekarang. Kita pilih romance, bodo amat Nik suka apa enggak hahaha."
"Kalian kayaknya deket." Rara yang sedang memilih-milih judul film terdiam, perempuan itu sadar kalau Nilam baru saja membalikan kata-katanya di mobil dulu.
"Lumayan, gue kenal Nik emang udah lama sih."
"Sampe bisa tidur bareng?" Nilam tidak bermaksud kasar, tapi nada suaranya yang tanpa sadar terdengar meremehkan sepertinya membuat Rara tersinggung.
"Oh, lo liat?" Nilam diam.
"Denger Nilam, lo enggak bisa ngatur gimana cara gue sama Nik berteman. Gue sama sekali enggak pernah ngelibatin perasaan di semua hal yang berkaitan sama Nik, beda sama lo. Ya gue paham sih, lo dari desa ketemu Nik yang menurut lo pasti kayak pangeran di negeri dongeng. Ganteng, baik, ramah. Tapi ini ibu kota Nilam, enggak bisa lo samain sama kehidupan lo di desa, kami punya cara sendiri untuk bersenang-senang." Rara meletakan remot dan mulai fokus menatap Nilam.
"Tapi kalau lo masih mau lebih ngikutin perasaan lo kayak gini, gue bisa apa kan? Kalau lo sakit hati atau kecewa jangan salahin gue." Rara mengatakan semua itu dengan wajah yang menyebalkan.
"Lagian kalau lo emang setertarik itu sama Nik, lo coba ada deketin dia. Buat dia tertarik sama lo, itu juga kalau lo sanggup."
"Kamu tau Ra, kamu itu munafik. Kamu peringatin saya soal Nik, tapi kenyataannya kamu ada main sama dia. Dari awal kamu memang cuma mau buat saya ngejauhin Nik kan? Kamu enggak mau saya sampai ngerebut Nik dari kamu."
"Wah." Rara tidak bisa berkata-kata.
"Saya kira kamu orang baik, tapi kenyataannya kamu enggak lebih dari sekedar sampah yang suka nusuk temen sendiri dari belakang." Nilam langsung bangkit dari duduknya setelah mengatakan kalimat itu, perempuan itu sempat berpapasan dengan Nik di depan pintu. Tapi mereka tidak saling berbicara apapun. Nilam justru langsung melewati Nik dan menghilang di balik pintu kamarnya.
"Heineken kayaknya enak" Nilam berusaha bersikap tenang ketika lagi-lagi menemukan Nik di dapur rumah bu Darmi saat dini hari.
"Wah, sejak kapan lo ngebir?" Nilam tidak berkomentar, karena sejujurnya ia sama sekali tidak tau kalau nama minuman yang di sebutkannya tadi adalah beer. Nilam tidak ingin terlihat bodoh di hadapan si fotografer yang jelas menertawakannya.
Nik tidak lagi bersuara, ia sibuk menyesap bir dari kalengnya dan hal itu tidak luput dari pengamatan Nilam yang sejak tadi belum membuka kaleng birnya sama sekali. Nilam tau kalau Nik itu tampan dan sekarang melihat bagaimana laki-laki itu sesekali menjilati bibir tipisnya yang sedikit kehitaman karena merokok membuat sesuatu dalam diri Nilam bergejolak. Tiba-tiba saja ia penasaran bagaimana rasanya jika bibir tipis itu mengulum bibir ranumnya sama seperti yang di lakukan Nik kepada Rara beberapa malam yang lalu.
"Nik"
"Hmm?" Nilam mengabaikan Nik yang sekarang menaikan sebelah alisnya seolah bertanya ada apa, Nilam hanya terus melangkah maju dan semakin mendorong Nik untuk menempel ke kulkas yang tertutup.
Perempuan itu menyusuri dada Nik dengan jarinya sembari sesekali membuat pola abstrak, Nilam semakin merasa percaya diri ketika Nik sama sekali tidak menolaknya. Fotografer itu hanya diam bahkan ketika tangan Nilam sudah sampai di tengkuk laki-laki itu, kepalanya menengadah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengulum bibir tipis fotografer kesayangan Rara tersebut.
Di kulumnya bibir Nik yang membuatnya penasaran. Seakan belum cukup Nilam juga menggunakan lidahnya untuk membelai bibir tipis yang masih tertutup rapat tersebut. Nilam hampir menyudahi ciuman sebelah pihak tersebut ketika akhirnya Nilam merasakan sebelah tangan Nik merambat dari pinggang ke bokongnya dan membuat remasan kecil disana, sedangkan satu tangan yang lain membelai tengkuknya ringan. Nilam membiarkan Nik memperdalam ciumannya dan mulai memimpin permainan mereka.
"Cukup?" bisik Nik ketika akhirnya pagutan mereka terlepas, Nilam bergerak hendak melanjutkan kegiatan mereka menjadi lebih intim ketika Nik menyentak kedua tangannya kasar.
"Wah pelan-pelan gadis desa, pelan" Nik mengatakan kalimat itu tanpa emosi, tapi Nilaam tau kalau laki-laki itu sedang berusaha menahan diri. Ada kilat amarah di dalam mata bergaris kehijauan milik Nik
"Gue enggak pernah main sama orang yang enggak berpengalaman Nilam, belajar dulu sama Rara oke? Gue bukan orang yang gampang di puasin soalnya" Nik mengambil kaleng birnya.
"Ah, satu lagi. Gue enggak suka perempuan yang baperan, mereka enggak asik." Nik kemudian pergi meninggalkan Nilam begitu saja dengan perasaan terhina.
***
Nilam menghela napas bosan, biasanya di saat seperti ini Rara akan mengajaknya melakukan sesuatu. Tapi sejak malam itu hubungan mereka memburuk, begitu juga hubungannya dengan Nik. Mereka tidak lagi saling bertegur sapa walaupun beberapa kali berpapasan saat di luar kamar.
"Nilam, kamu di tunggu bu Darmi di galeri."
"Ah, iya." Nilam bergegas membenahi penampilannya. "Galeri" adalah sebutan yang mereka gunakan untuk menyebut ruang kerja bu Darmi, tempat itu esklusif tidak bisa sembarangan di masuki.
"Nilam! sini sayang, duduk. Duduk di sini." Bu Darmi langsung menuntun Nilam untuk duduk di salah satu sofa panjang di ruangannya, perempuan itu menyilangkan kaki sebelum membuka kipas lebarnya dan kemudian menatap Nilam dengan senyum di kulum.
"Selamat Nilam, ada klien untuk kamu."
"Klien? Saya dapet pekerjaan bu?"
"Iya, inget laki-laki yang waktu itu kamu temui di pesta?" Nilam mengangguk tidak yakin karena ada banyak sekali tamu laki-laki yang ia temu saat itu.
"Dia mau make jasa kamu Nilam, kamu siap kan?"
"Siap bu! Saya siap." Perempuan itu mengangguk dengan semangat karena pekerjaan ini sudah sangat-sangat di tunggunya.
"Oke, kalau gitu selama dua hari ini kamu bakal sibuk sama beberapa perawatan. Kamu harus tampil maksimal untuk pekerjaan pertama kamu kan?" Nilam lagi-lagi menganggukan kepala.
"Kalau begitu saya permisi bu." Nilam langsung meloncat kegirangan begitu pintu ruang kerja bu Darmi di tutup, ia benar-benar kegirangan karena sebentar lagi akan menghasilkan uang dengan tangannya sendiri.
"Gue denger udah ada permintaan dari klien buat lo." Nilam langsung memasang wajah dingin begitu berpapasan dengan Rara yang sepertinya juga mendapat panggilan dari bu Darmi.
"Iya."
"Well, selamat. Gue harap lo enggak akan ngerasa kecewa sama apapun yang akan terjadi nanti, karena lo sendiri yang mutusin untuk percaya bu Darmi." Nilam tidak sempat bertanya apa maksud ucapan Rara karena perempuan itu sudah lebih dulu menutup pintu galeri.
"Menyesal? Ck, yang bener aja." Nilam sudah memutuskan untuk tidak akan lagi pernah mempercayai ucapan Rara yang di nilainya sebagai perempuan munafik yang suka menjatuhkan teman sendiri.