Samar-samar, itulah yang kulihat di tengah gelapnya sang malam saat sepasang mata kian terpaku menatap jauh gemerlap cahaya bintang yang senantiasa menemani sinar rembulan.
Saat sepasang mata mulai terpejam, kudengarkan suara gesekan rumput yang menabrak bebatuan akibat hembusan angin malam.
"Kutatap engkau wahai rembulan yang bersinar terang di tengah gelapnya sang malam, hanya untuk menghilangkan semua kenangan. Dalam sepi aku berkata, dalam sunyi aku tersiksa. Akankah semuanya akan berubah, saat engkau tenggelam dari singgahsananya..."
Suara itu kian terdengar mengusik sepasang telinga, hingga membuatku membuka sepasang mata. Sontak aku terkejut usai mendengarkan suara itu. Aku menelesik, mengamati daerah sekitar guna mencari tahu keberadaan dari sang pemilik suara tersebut.
*Deg!
Sebuah sentuhan hangat mulai kurasakan pada bahu kiriku, membuat kedua mataku kian terbelalak pada saat itu. Sontak desahan nafasku kembali terdengar mengusik indra pendengaranku, membuat diriku merasakan getaran hebat pada seluruh tubuhku.
Saat aku mencoba untuk memalingkan wajah, diriku bersiap untuk berguling ke arah kanan guna mengambil ancang-ancang untuk bangkit dan segera berlari meninggalkan titik lokasi pertemuan. Namun, betapa terkejutnya diriku pada saat sepasang mata mulai mendapati adanya sesosok lelaki remaja yang nampak asing, yang kini tengah tengah duduk bersilah di balik tubuhku.
"Hay! Maaf mengganggu," Remaja laki-laki yang memiliki iris mata cokelat gelap itu menatap intens, dengan kedua tangan yang kini mulai bersendekap di depan dada. Senyum manisnya berpadu dengan tatapan matanya yang tiada hentinya mengamati kedua bola mataku. Dan kini ia kembali mengucapan suatu pertanyaan padaku, "Kenapa kau menangis, bisakah kau katakan pada Kakak, apa yang sebenarnya terjadi?"
Diriku segera memutar tubuh, dan segera menundukan kepala pada saat itu. Aku yang tak mampu untuk menjawab pertanyaannya itu, hanya mampu untuk terdiam bisu sembari meremas rerumputan liar yang tumbuh tak jauh dari jemari lentikku.
"Baiklah bila kau memang tak ingin menjawab. Namun, alangkah baiknya apabila dirimu melepaskan semua kepedihan dalam dada dengan cara mengeluarkan semua air mata."
"Ayah..." ucapku lirih. Nafasku sempat tersedak berulang kali saat air mata itu tiada henti berlinang membasahi pipi.
Penuh kasih, ia kini mulai membelai pipiku yang masih berlinang air mata dengan jemari tangannya. Sentuhan lembut tangannya itu sempat membuat tubuhku bergidik, kemudian ia sedikit mendongakan wajahku hingga pandangan mata kami saling bertemu.
"Kau tahu, aku pun juga kehilangan kedua orang tuaku. Hingga sampai kini, aku tidak tahu siapa orang yang telah melahirkanku," dirinya lalu mengusap semua air mata yang telah membasahi pipiku, "Tapi aku percaya bahwa aku juga masih bisa hidup tanpa adanya mereka di sisiku."
Bibirku terbungkam rapat saat mata kami saling bertemu pada jarak yang semakin dekat.
"Kata Ayah, Ibuku meninggal saat aku dilahirkan. Lalu, kini Ayahku juga meninggal... lalu, aku tidak tahu jalan dan pada siapa aku pulang?"
pandangan matanya mulai berkaca kaca, seakan ia tak sanggup lagi untuk terus berkata. Ia mulai mendekap tubuhku, memberikan sentuhan hangat saat dirinya mulai menyandarkan dagu pada pundak kiriku.
"Aku sama sepertimu, dan mulai sekarang, aku berjanji untuk menjadi seorang Kakak guna menggantikan peran kedua orang tuamu."
"Ta–tapi!"
"Tinggalah di rumahku, di sanalah kita yang akan menempuh kehidupan baru. Sepasang anak sebatang kara, yang harus berjuang tanpa adanya kedua orang tua."
Pelukan itu, terasa hangat pada saat ia tengah mendekap tubuh rentahku. Aku sempat tersenyum hingga tanpa kusadari bahwa kini diriku mulai tertidur dalam dekapan remaja itu. Hening, itulah yang kini tengah merasuk dalam hatiku.
Dan setelah kejadian itu, diriku tak tahu lagi ke mana ia yang akan membawaku pergi. Remaja itu telah menggendong diriku pada punggungnya. Ya, aku sempat merasakan adanya sedikit guncangan kala ia terus berjalan di tengah luasnya tanah rerumputan. Dan ke mana ia membawaku pergi, aku pun tak tahu.
Ketika aku membuka sepasang mata secara perlahan, langit-langit menyambut. Selimut—bercorak rumit dengan dominasi warna—biru tampak terlihat acak-acakan, bahkan hingga tergeser hampir jatuh. Pandanganku masih samar, dan kepalaku sedikit terasa pusing.
Setelah mendesis dan menghela nafas, aku mencoba untuk berdiri. Cukup beberapa langka bagiku untuk sampai ke jendela berlapis kaca.
"Di mana aku?" gumamku.
Aku mencoba untuk membuka tirai, dan membiarkan cahaya mentari memancarkan sinarnya masuk ke dalam ruangan kamar.
Di jalan bawah, beberapa orang nampak terlihat berlalu-lalang saat diriku menatapnya dari kejauhan. Sebagian besar ialah gadis remaja yang masih mengenakan seragam sekolah dengan rangsel yang masih menempel pada punggungnya.
Seutas senyum kian terlintas pada bibir manisku, "Seandainya seperti mereka, mungkin aku—"
"Ehem!" Dehaman itu sontak membuyarkan seluruh lamunanku. Membuat diriku berbalik guna mengetahui siapa pemilik suara tersebut.
Sesosok pria berwajah tampan berkulit putih nampak terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dengan syal berwarnakan merah yang melilit lehernya. Kacamata putih nan bening warnanya, seakan mendominasi kesayuan pada tatapan matanya saat kami saling berkontak dalam jarak yang amat dekat.
"Ka—kau! Siapa kau sebenarnya," ucapku tergagap kaku.
Ia tersenyum padaku. "Apa kau lupa," perlahan ia mencoba untuk melepaskan kacamata beningnya, "Aku adalah seseorang yang telah membawamu kemari. Kau ingat?"
Pandangan mataku membulat seketika. "Ta—tadi malam!"
~Flashback~
"Kau tahu, aku pun juga kehilangan kedua orang tuaku. Hingga sampai kini, aku tidak tahu siapa orang yang telah melahirkanku," dirinya lalu mengusap semua air mata yang telah membasahi pipiku, "Tapi aku percaya bahwa aku juga masih bisa hidup tanpa adanya mereka di sisiku."
Bibirku terbungkam rapat saat mata kami saling bertemu pada jarak yang semakin dekat.
"Kata Ayah, Ibuku meninggal saat aku dilahirkan. Lalu, kini Ayahku juga meninggal... lalu, aku tidak tahu jalan dan pada siapa aku pulang?"
pandangan matanya mulai berkaca kaca, seakan ia tak sanggup lagi untuk terus berkata. Ia mulai mendekap tubuhku, memberikan sentuhan hangat saat dirinya mulai menyandarkan dagu pada pundak kiriku.
"Aku sama sepertimu, dan mulai sekarang, aku berjanji untuk menjadi seorang Kakak guna menggantikan peran kedua orang tuamu."
"Ta–tapi!"
"Tinggalah di rumahku, di sanalah kita yang akan menempuh kehidupan baru. Sepasang anak sebatang kara, yang harus berjuang tanpa adanya kedua orang tua."
-Flashback-
"Hey! Kau tidak apa-apa?" Ucapan itu seketika membuyarkan lamunanku, membuat diriku seketika membuang muka guna menghindari kontak mata dengannya.
Saat pandangan mataku terpaku untuk menatap raut wajahnya, diriku seperti terbawa dalam kengangan lama oleh seseorang di sana.
-Flashback-
Seorang lelaki dengan rambut hitam terbaring lemas di atas ranjang. Tubuhnya terlihat lemah dengan bibir yang kian terlihat putih memucat. "Kau tahu apa yang membedakanmu dengan orang lain?" Suara itu lelaki itu terdengar lemah.
Jemari tangannya terlihat kurus, sudah seminggu lelaki itu terbaring lemah di atas ranjang, dengan selimut tipis bercorak kelabu yang menutupi tubuhnya.
Aku terdiam, lalu menunduk. Lelaki itu memaksa senyum sembari mengangkat tangan dinginnya pada daguku, hingga tatapan mata kami kembali bertemu. "Banyak orang yang mengatakan bahwa fisik itu tidaklah penting, tapi apa yang ada di dalam hatimulah yang terpenting."
"Kakak telah mengajarkan segala hal kepadaku, membuatku mengerti tentang adanya belas kasih untuk saling menyayangi, dan bukan menunjukan kesombongan yang tiada arti."
"Kakak..."
"Chelsea, Adikku. Kemana pun kau pergi, Kakak akan selalu ada untukmu. Menjagamu, merawatmu, dan menyayangimu."
-Flashback-