Jam menunjukkan pukul 20:00, dan di luar hujan sangat lebat. Kilat menyambar dan petir ikut bergemuruh membuat suasana hati Davina menjadi gusar.
Pasalnya wanita cantik itu sedang menunggu suaminya yang masih belum pulang dari kantor. Dengan hati yang gelisah ia mondar mandir di ruang tengah di temani oleh sang mertua.
"Duduklah, nak. Revan pasti sedang dalam perjalanan pulang. Kau jangan terlalu khawatir berlebihan," tutur Alina yang melihat menantu nya itu sedang gelisah.
"Bagaimana bisa aku tidak gelisah, Ma? Sementara suamiku saja tidak mengabari ku," sahut Davina dengan wajah memelas.
"Mungkin dia lupa. Maklum saja, dia baru menikah beberapa hari. Dia mungkin belum terbiasa mengabari istrinya."
Davina pun menghela nafas pasrah. Kini ia hanya bisa berharap bahwa suaminya baik-baik saja dan segera pulang ke rumah. Sungguh, Davina sangat mencemaskan keadaan Revan saat ini.
Hingga beberapa saat kemudian, Revan datang dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah nya. Davina tersenyum lega melihat suaminya sampai di rumah dengan selamat. Sebab Davina takut ia akan kehilangan seseorang lagi seperti ayahnya dulu.
Davina berlari kecil menghampiri Revan yang baru saja tiba. Revan yang melihat itu sedikit terkejut karena ekspresi wajah Davina yang terlihat berbeda dari biasanya.
"Darimana saja? Kenapa baru pulang? Aku sangat mengkhawatirkan mu." Davina meraih tas kerja sang suami.
"Ada apa? Kenapa kau khawatir seperti ini? Aku dari kantor dan ada apa denganmu?" tanya Revan sambil mengerutkan keningnya heran.
Alina berdiri dari duduknya menghampiri Revan. "Dia tidak bisa duduk tenang karena kau belum juga sampai rumah. Lagipula, kenapa kau tidak bilang kalau akan pulang terlambat? Cuaca nya sangat buruk, jadi kau jangan membuat orang di rumah khawatir padamu."
Revan masih bingung dan tidak mengerti kenapa Davina sangat mengkhawatirkan dirinya. Sementara Revan sendiri sebenarnya tidak terlalu perduli dengan keadaan Davina karena pada dasarnya Revan tidak mencintai Davina.
Melihat reaksi Revan yang terlihat biasa saja membuat Davina menundukkan kepalanya enggan melihat Revan. Wanita cantik yang baru saja menyandang gelar sebagai seorang istri itu merenung sejenak.
Ia mulai berpikir kalau sebenarnya apa yang ia dapatkan jika ia mengkhawatirkan suaminya itu secara berlebihan? Toh, memang benar kalau pernikahan mereka tidak berdasarkan rasa cinta keduanya.
Meski Revan sangat yakin ketika menikahi Davina, namun Davina juga masih ragu jika Revan yakin menikahi nya atas dasar cinta.
Memang benar kalau Revan cukup perhatian dan baik hati pada Davina, tapi sepertinya Davina tidak pernah di anggap sebagai seorang istri oleh Revan. Davina merasa bahwa dirinya hanya lah burung yang ada di dalam sangkar emas.
Suasana menjadi canggung karena Revan yang menatap Davina dengan datar, sedangkan Davina hanya menundukkan kepalanya pasrah.
"Sudahlah, lebih baik kau pergi ke kamar dan beristirahat," ucap Alina yang memecahkan suasana canggung itu.
Davina mengangkat kepalanya, lalu menengok sang mertua yang berdiri di sampingnya itu. Alina pun tersenyum melihat Davina.
"Buatkan aku teh hangat," pinta Revan dan berlalu meninggalkan Davina dan sang Mama.
"Maafkan atas sikap putra ku, dia sejak dulu selalu terobsesi dengan pekerjaan hingga tidak pernah sama sekali berkencan dengan seorang wanita. Aku harap kau bersabar menghadapi sifat aslinya," tutur Alina sambil mengusap lembut punggung Davina.
"Iya, Ma. Aku akan berusaha untuk tetap menjadi istri yang baik," sahut Davina.
"Sekarang buatkan teh suami mu, sebelum dia selesai mandi,"
Davina pun mengangguk kecil dan berlalu meninggalkan mertuanya. Sedangkan Alina hanya bisa menghela nafas melihat perilaku putra bungsunya yang sudah mulai menunjukkan bagaimana sifat aslinya.
"Gadis yang malang. Aku harap kau bisa benar-benar bersabar hingga putraku bisa mencintaimu," gumam Alina lalu tersenyum kecut.
**
**
Dengan perlahan, Davina melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar untuk memberikan teh hangat yang di minta oleh sang suami. Wanita cantik itu menghela nafas dan berusaha untuk tersenyum tipis.
Sepasang manik cantik nya melihat Revan baru saja berganti pakaian dan duduk di atas sofa yang ada di dalam kamar mewah itu. Davina pun menghampiri suaminya itu, kemudian memberikan teh yang baru saja ia buatkan.
"Terimakasih," ucap Revan setelah meraih teh yang di sodorkan oleh Davina.
Pria tampan itu pun menyesap teh hangat buatan sang istri.
"Boleh ku tanya sesuatu padamu?" tanya Davina dengan ragu.
Wanita cantik itu masih berdiri di depan suaminya sambil memilin bajunya karena gugup.
Revan pun tersenyum dan meletakkan cangkir teh nya di atas meja.
"Duduklah," pinta Revan sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Davina menganggukkan kepalanya menurut lalu duduk dengan tenang di samping Revan.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Revan penasaran.
"I-itu... Emm, apa sebelumnya... Kau mengenal Dilan?" sahut Davina dengan gugup.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Bibirnya mengatup karena takut Revan akan marah setelah ia bertanya seperti itu.
"Dilan? Maksudmu mantan kekasih mu itu?" tanya Revan memastikan.
Davina menggigit bibir bawahnya karena semakin gugup. Tangannya mengepal menahan gemetar.
"I-iya," jawabnya kemudian.
"Dilan itu adik tiri ku," sahut Revan dengan tenang.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa Revan marah. Sepertinya baik-baik saja, tidak seperti apa yang sudah Davina bayangkan sebelumnya.
"Tapi, kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang Dilan? Apa kau masih berhubungan dengannya?" sambung Revan kemudian.
"T-tidak. Aku sama sekali sudah tidak berhubungan dengannya, aku hanya sedikit heran karena saat pernikahan kita... Kau terlihat seperti tidak asing dengan nya. Dan aku penasaran," jelas Davina pada akhirnya.
Revan pun menyunggingkan senyumnya tanpa sebab. Entah kenapa ketika ia melihat Davina yang panik dan dengan gugup menjelaskan semuanya membuat Revan merasa bahwa Davina itu menggemaskan.
"Mama nya Dilan merebut Papa ku. Bahkan, dia adalah sahabat Mama ku sendiri. Dan aku benar-benar membenci nya," ucap Revan dengan raut wajah yang berubah menjadi serius dalam sekejap.
"A-aku sama sekali tidak tau tentang itu," sahut Davina tertunduk.
"Tenanglah, aku tidak menyalahkan ini padamu. Aku hanya tidak suka jika kau masih memiliki hubungan dengan Dilan. Apa kau mengerti?" tutur Revan yang kembali menyunggingkan senyumnya.
Davina mulai berpikir seperti apa sifat Revan sebenarnya, kenapa suaminya itu bisa cepat sekali berubah dalam sekejap. Revan bisa berubah menjadi pria yang dingin dan menakutkan, namun sesaat kemudian dirinya juga bisa berubah menjadi pria yang penuh perhatian.
Davina pun mendongakkan kepalanya menatap Revan yang juga sedang menatapnya dengan lekat. Sepasang bola mata mereka itu bertemu dan saling pandang.
Hingga beberapa saat kemudian, Revan mendekatkan wajahnya pada Davina dan mengikis jarak diantara keduanya. Sementara detak jantung Davina semakin berdebar tidak karuan.
Namun, yang di rasakan oleh Davina tidak sama dengan yang ia rasakan ketika ia sedang gugup karena takut Revan marah. Ia merasa ada yang berbeda ketika Revan menatap nya lebih dekat.
Cupp...
Bibir Revan mendarat di bibir cherry milik Davina yang spontan membuat sang empunya itu membelalakkan matanya sempurna karena terkejut.
Hingga sesaat kemudian, Revan menjauhkan wajahnya dan membuang muka.
"M-maaf..." Lirihnya.
"T-tidak... T-tidak apa," sahut Davina terbata.
Keduanya saling membuang muka hingga suasana menjadi hening dan sangat canggung.
"Apa yang kau lakukan dasar bodoh!" gumam Revan sambil memukul keningnya sendiri.
***