Davina duduk di pinggir ranjang kamar Revan. Kamar mewah dengan nuansa abu-abu itu tampak sangat elegan dengan beberapa interior cantik yang menghiasi setiap sisi dalam kamar.
Sepasang manik cantik Davina menjelajahi seisi kamar dengan teliti. Tampak sangat berbeda dari kamarnya. Bahkan jika di bandingkan luasnya pun tidak ada dari seperempat kamar mewah itu.
Tidak lama kemudian, Revan keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri.
Melihat Revan yang hanya keluar mengenakan handuk dan bertelanjang dada itu membuat Davina gugup tak karuan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Kau tidak mandi?" Tanya Revan sambil mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil.
Davina tidak menjawab. Ia terus saja diam dan menundukkan kepalanya takut. Revan pun tersenyum tipis dan menghampiri istrinya itu.
Pria itu duduk di samping Davina, sedangkan Davina bergeser sedikit menjauh dari Revan.
"Kenapa? Jangan takut, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu," lirih Revan dengan lembut.
"S-saya tidak bermaksud seperti itu..." Sahut Davina merasa tak enak.
Ia tau sebenarnya ini adalah malam pertama mereka, tetapi bagaimanapun juga Davina belum siap dengan status yang ia sandang mulai hari ini, yakni menjadi seorang istri.
"Aku mengerti apa yang kau maksud. Jangan khawatir, aku tidak akan melewati batasan ku, jika kau tidak memberikan izin padaku," tutur Revan.
Davina yang mendengar pernyataan dari sang suami itu langsung menoleh seketika. Apa itu artinya suaminya mau memahami bahwa ia masih belum siap? Begitulah yang ada di pikiran Davina saat ini.
"M-maaf..." Lirih Davina.
"Tidak masalah. Istirahat lah, kau pasti lelah karena acara resepsi tadi," sahut Revan sambil tersenyum tipis.
Davina menganggukkan kepalanya lagi. "S-saya akan mandi lebih dulu," pamitnya.
Wanita cantik itu pun berdiri dari duduknya dan beranjak untuk pergi ke kamar mandi.
"Tunggu sebentar," cegah Revan.
Davina pun menoleh menatap suami tampan nya itu.
"Ada apa?" Tanya nya tak mengerti.
"Tolong jangan berbicara terlalu sopan denganku. Aku adalah suami mu, bukan atasan mu. Jadi, lebih baik kau menggunakan bahasa yang lebih santai. Apa kau mengerti?" Tutur Revan tegas.
"I-iya. S-sa ... Ah, maksud ku... Aku mengerti," sahut Davina sambil tersenyum.
"Bagus. Sekarang kau bisa pergi untuk membersihkan diri mu. Aku akan berganti baju,"
"Iya." Pungkas Davina dan berlalu meninggalkan Revan.
Revan menyunggingkan senyumnya melihat tingkah istrinya yang begitu pemalu.
"Bagaimana bisa seorang gadis yang sudah menjadi seorang istri bertingkah seperti itu? Kau cukup beruntung karena aku mau menikahi mu," gumam Revan.
Pria tampan itu pun membaringkan tubuhnya seusai berganti pakaian. Ia pun perlahan memejamkan matanya hingga ia menjemput mimpi.
Sementara Davina masih duduk di atas closet kamar mandi dan merenung. Ia bersyukur karena menikah dengan pria yang memiliki sifat pengertian seperti Revan.
Awalnya, Davina mengira bahwa Revan adalah pria yang arogan dan dingin karena menggunakan kekuasaan nya untuk menikahi dirinya. Namun, hari ini ia mulai bisa melihat sisi baik pada diri Revan yang baru ia kenal itu.
"Setidaknya dia bersikap baik padaku," gumam Davina sambil tersenyum lega.
Selesai mandi, Davina keluar dari kamar mandi dan melihat Revan yang sudah tertidur dengan pulas nya.
Perlahan ia berjalan mendekati Revan dan melihat suami nya yang tertidur dengan pulas nya itu.
"Maafkan aku karena berprasangka buruk padamu, Revan..." Lirih Davina sambil membenarkan selimut yang menutupi tubuh Revan.
***
Keesokan harinya, Davina bangun sangat pagi untuk menyiapkan sarapan bersama dengan beberapa asisten rumah tangga di rumah mewah Revan itu.
Tangannya sibuk berkutik dengan peralatan memasak dan juga sesekali mencicipi rasa masakan nya apakah menurut nya sudah pas atau masih ada yang kurang.
Jam menunjukkan pukul 06:00 dan Alina baru saja keluar dari kamarnya.
"Kau bisa memasak?"
Pertanyaan dari Alina mengalihkan perhatian Davina yang tengah sibuk berkutik di dapur.
"Mama? Sudah bangun?" Davina justru berbalik tanya ketika melihat sang mertua berjalan menghampiri nya.
"Tentu saja. Mama baru saja ingin memasak karena Revan rindu masakan Mama. Tapi, sepertinya tidak akan lagi..." Sahut Alina sedikit menggoda Davina.
Davina tersenyum canggung mendengar ucapan dari mertuanya itu.
"Ada yang bisa Mama bantu?" Tanya Alina kemudian.
"T-tidak. Tidak perlu, Davina bisa memasak sendiri. Mama tidak perlu repot-repot membantu Davina," sahut Davina cepat.
"Tidak masalah. Mama akan berikan resep masakan kesukaan Revan. Dan lagi, Revan alergi dengan merica. Jadi, pastikan masakan Revan tidak menggunakan merica," tutur Alina penuh perhatian.
Davina menganggukkan kepalanya mengerti. Alina pun langsung sibuk untuk mambantu menantu nya itu menyiapkan sarapan. Selama ini ia sedikit kesepian karena tinggal sendiri, sedangkan kakak Revan dan istrinya juga tinggal di tempat yang berbeda.
Melihat Davina yang sangat telaten membuat Alina semakin menyukai menantu nya itu. Ia senang sekaligus sedih jika mengingat alasan kenapa Revan menikahi Davina.
Selesai menyiapkan makanan di atas meja makan, Alina mendudukkan tubuh Davina dengan tenang.
"Ada yang ingin Mama tanyakan padamu," ucap Alina pada menantu bungsu nya itu.
"Iya. Ada apa, Ma?" Sahut Davina.
"Apa kau benar-benar tidak tertekan dengan pernikahan ini?" Tanya Alina.
"Maksud Mama bagaimana?"
"Mama tau, kau menikah dengan Revan karena Revan menawarkan jabatan tinggi untuk paman mu. Tetapi, ini menyangkut dengan kebahagiaan dan masa depan mu, Davina..." Lirih Alina penuh perhatian.
Davina tersenyum tipis dan meraih tangan lembut sang mertua.
"Tidak masalah tentang pernikahan ini. Aku bahagia, Ma. Aku cukup beruntung karena mendapatkan kasih sayang dari Mama Alina," sahut Davina.
Alina yang melihat senyuman tulus di wajah Davina itu semakin tak tega. Ia pun meraih tubuh Davina dan memeluknya dengan erat.
"Kau adalah menantu terbaik di dunia," ucap Alina sambil mengeratkan pelukannya.
Hingga beberapa saat kemudian, Revan berjalan menuruni tangga rumahnya dan melihat Mama dan istrinya saling berpelukan.
Revan menatap kedua wanita itu sedikit heran. Ini masih terlalu pagi untuk bermain drama bukan?
"Ada apa dengan kalian? Kenapa pagi-pagi seperti ini berpelukan?"
Pertanyaan Revan membuyarkan suasana. Alina dan Davina melepaskan pelukan mereka.
"Tidak ada. Kemarilah... Istri mu sudah menyiapkan sarapan pagi untuk mu," sahut Alina sambil tersenyum.
Revan pun berjalan dan duduk di kursi kosong ruang makan itu. Kini pandangannya teralih pada Davina yang tersenyum tipis melihat dirinya.
"Terimakasih. Aku sangat menghargai ini," ucap Revan pada Davina.
"Tidak masalah. Ini sudah menjadi kewajiban ku sebagai seorang istri. Jangan mengucapkan terimakasih padaku," sahut Davina canggung.
Revan pun tersenyum tipis dan segera mencicipi masakan pertama dari istri nya itu. Senyuman di wajah tampan itu semakin lebar seiring dengan satu per satu suapan yang ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Kau pandai memasak. Ini sangat enak," puji Revan dan terus memasukkan makanan itu ke mulutnya hingga habis tak tersisa.
Alina pun meraih tangan Davina dan menggenggamnya dengan erat dari bawah meja makan.
"Tolong jaga putra ku dengan baik," pinta wanita cantik itu.
Davina hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai jawabannya.
****