Seorang gadis cantik duduk di kursi dekat jendela kaca sebuah restoran terkenal. Sesekali gadis itu melihat cermin memastikan bahwa dandanan nya tidak ada yang rusak atau berantakan.
Ya, dia adalah Adelia yang sedang menunggu Dilan untuk makan siang bersama.
Hingga setelah cukup lama gadis itu menunggu sendirian, Dilan datang dan duduk di kursi kosong depan Adelia begitu saja tanpa menyapa gadis cantik itu.
Adelia tersenyum dan mencoba untuk tetap tenang. Ia menetralkan detak jantungnya yang tak karuan karena pertama kalinya ia hanya berdua bersama Dilan.
"Kau mau pesan sesuatu?" Tanya Adelia mengawali pembicaraan.
"Tidak. Aku ke sini hanya karena perintah Papa untuk menemani mu makan siang. Kau makan saja. Aku tidak bernafsu," sahut Dilan dan meraih ponsel dalam sakunya.
Adelia menghela nafas berat mendengar sahutan tak mengenakkan dari Dilan.
"Maafkan aku," lirih Adelia.
Dilan pun mendongakkan kepalanya melihat Adelia yang tiba-tiba meminta maaf padanya.
"Kenapa? Kau ada salah padaku?" Tanya Dilan dingin.
"Aku tidak tau. Tapi, dari sikap mu yang dingin padaku, sepertinya aku memiliki salah padamu," jawab Adelia tertunduk.
"Tidak ada. Kau tidak memiliki salah sedikit pun padaku," tutur Dilan.
Dilan memasukkan kembali ponselnya. Kini perhatian nya tertuju pada Adelia yang sedang tertunduk di hadapannya itu.
"Tapi, kau bersalah pada dirimu sendiri," sambung Dilan.
Kini Adelia mendongakkan kepalanya menatap Dilan dengan sendu. Manik cantik nya itu berkaca-kaca.
"Apa yang salah pada diriku? Dilan, aku benar-benar mencintai mu..." Ucap Adelia parau.
Dilan hanya tersenyum miring menanggapi pertanyaan dari Adelia.
"Jangan lakukan itu. Rasa cinta mu itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri," sahut Dilan tanpa perduli dengan perasaan Adelia.
"Kenapa kau begitu kejam padaku? Apa aku berbeda dengan Davina? Kenapa kau tidak bisa melupakannya? Dia sudah menikah dengan orang lain!"
Brakkk....
Tangan Dilan spontan menggebrak meja makan hingga membuat Adelia tersentak kaget. Telunjuk Dilan berada tepat di depan wajah cantik Adelia.
"Kau dan Davina tidak akan pernah sama dalam hal apapun. Kau harus ingat itu!" Ucap Dilan penuh penekanan.
"Kenapa tidak? Hanya karena dia yang lebih dulu memasuki ruang hatimu, bukan berati dia selamanya ada di hatimu!" Sahut Adelia meninggikan nada bicaranya.
Dilan menurunkan tangannya dan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Tau apa kau tentang perasaan ku? Punya hak apa kau mengatakan hal seperti ini padaku?" Tukas Dilan di puncak amarahnya.
"Tidak ada hak apapun. Tapi, aku akan memastikan bahwa kau tidak akan pernah bisa lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa kau dan Davina tidak akan pernah bisa bersama. Untuk saat ini, dan selamanya." Sahut Adelia tegas.
Gadis itu pun berdiri dan meraih tas nya. Ia tidak menunggu tanggapan dari Dilan lagi dan langsung beranjak pergi meninggalkan restoran itu.
Dilan masih terdiam dan semakin kuat mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak terima dengan perkataan yang di lontarkan oleh Adelia.
"Ini semua karena Revan Maheswara!" Geram Dilan.
***
Sementara itu, Revan sedang sibuk membolak-balikkan berkas-berkas yang ada di hadapannya itu. Kepalanya berdenyut karena banyaknya pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini hingga ia tidak bisa bersantai meski ia baru saja menikah.
Pintu ruangan Revan terbuka bergigi saja dan menampilkan sosok pemuda tinggi dengan senyuman khas yang terlihat menyebalkan bagi Revan.
Felix, teman seperjuangan Revan yang kini menjabat menjadi menager di perusahaan nya.
"Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk? Dimana letak sopan santun mu?" Gerutu Revan yang menyadari Felix masuk begitu saja kedalam ruangannya.
"Eiyooo, jangan marah-marah. Nanti kau cepat tua," sahut Felix yang dengan santainya duduk di sofa ruang kerja Revan.
"Ada perlu apa? Apa kau tidak bekerja? Kenapa bersantai?" Tukas Revan bertubi-tubi.
"Aku hanya heran padamu. Kau baru saja menikah, kenapa tidak mengambil cuti?" Felix justru berbalik tanya pada Revan.
"Bagaimana aku bisa cuti? Pekerjaanku saja menumpuk terlalu banyak. Lagipula apa yang istimewa dari menikah? Hanya berganti status saja bukan? Tidak ada yang spesial," sahut Revan santai.
Felix pun berdiri dan menghampiri Revan. Ia duduk di atas meja kerja Revan dan menatap Revan dengan tatapan matanya yang tajam.
Sesaat kemudian, Revan menghela nafas karena merasa risih di perhatikan Felix seperti itu. Ia merasa sedang di intimidasi.
"Apa yang kau lakukan? Jangan membuat ku merasa tak nyaman. Kembali ke ruangan mu!" Perintah Revan yang sudah benar-benar jengah dengan tingkah Felix.
"Kau ini bagaimana? Jelas-jelas menikah itu hal yang paling istimewa seumur hidup seseorang. Kenapa kau justru mengatakan kalau tidak ada yang spesial?" Tanya Felix keheranan.
"Itu jika kau menikah dengan seseorang yang kau cintai. Memangnya aku menikahi Davina karena cinta? Tentu saja tidak," ketus Revan.
Felix menggelengkan kepalanya takjub. "Kau benar-benar psikopat perasaan!" Sahutnya.
"Aku tidak perlu cinta. Dan gadis itu sudah cukup beruntung menikahi pria mapan seperti ku,"
Kini Felix semakin di buat keheranan dengan sahabatnya itu. Bagaimana bisa Revan mengatakan hal seperti ini dengan santainya? Apa dia tidak mengingat bahwa Davina juga memiliki mantan pacar seorang direktur utama?
"Lalu bagaimana dengan Dilan? Apa kau lupa status Davina sebelum menikah dengan mu?" Tanya Felix yang sudah kalah dengan rasa geram nya.
Kini Revan menghentikan aktivitas memeriksa berkas-berkas kerja nya. Perhatian nya kembali teralih pada sahabat nya yang menyebalkan ini.
Kedua tangannya saling bertaut, kemudian ia gunakan untuk menyangga dagu.
"Keluarga Dilan tidak menyukai Davina. Jika Dilan bersikeras untuk menikahi Davina pun, gadis itu tidak akan mendapatkan apa-apa," sinis Revan tersenyum miring.
Felix pun ber-sendekap dan memandang Revan dengan tatapan miris.
"Aku kasihan padamu. Karena kau sibuk bekerja dari usia muda, kau bahkan tak mengerti sama sekali tentang cinta," tutur Felix.
"Apa maksudmu? Apa kau mau bilang kalau aku manusia tidak berperasaan lagi?" Ketus Revan kesal.
"Bukan seperti itu," sahut Felix.
Kini Revan menautkan kedua alisnya bingung. Sedangkan Felix menyunggingkan senyumnya.
"Jika Davina dan Dilan menikah, setidaknya mereka bahagia karena sama-sama merasakan kebahagiaan bersama. Mereka menikah karena sama-sama memiliki perasaan cinta. Tapi, bagaimana denganmu?" Jelas Felix.
Mendengar penjelasan dari Felix membuat Revan terkekeh geli.
"Untuk apa mementingkan perasaan cinta? Toh, jika Dilan tak punya apa-apa memangnya Davina bisa bahagia?" Cibir Revan tak mau kalah.
Kepala Felix mulai berdenyut-denyut karena tak habis pikir dengan Revan. Ia benar-benar harus berpikir dengan keras jika ingin menjelaskan apa penting nya sebuah perasaan kepada seorang pria yang bernama Revan Maheswara ini.
"Kau harus sesekali memikirkan perasaan orang lain. Setidaknya jika memang kau tidak bisa memberikan cinta pada istri mu, kau jangan menyakiti perasaannya. Apa kau mengerti?" Tutur Felix.
Felix sudah menyerah untuk menjelaskan perihal pentingnya sebuah perasaan pada Revan. Sedangkan Revan hanya memasang wajah datar dan menganggukkan kepalanya menurut.
Maklum saja, Revan sama sekali belum pernah merasakan jatuh cinta karena ia sudah di butakan oleh rasa dendamnya pada keluarga Arsenio.
Yang ada di benak Revan hanya lah cara bagaimana membuat keluarga Arsenio menderita dan membuat Bian Arsenio benar-benar menyesal karena sudah menelantarkan dirinya dan juga sang ibu.
***