Chereads / Milly's First Love / Chapter 46 - 46. Marah-marah Tidak Jelas

Chapter 46 - 46. Marah-marah Tidak Jelas

"Siapa yang bilang aku melupakanmu?" Nick menatapnya tajam. Rissa membalas tatapannya, seolah mencari sebuah jawaban.

"Aku tidak pernah sekalipun melupakanmu," jelas Nick.

"Tapi ..." Rissa mengerjapkan matanya.

"Rissa, aku tidak akan pernah melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara kita. Aku tidak menyesal atas apa yang pernah kita alami bersama."

"Tapi kamu bilang, kamu serius dengan Milly." Rissa bernapas dengan cepat.

"Kamu tahu, semua yang kita alami bersama saat itu adalah hal-hal yang membahagiakan bagiku. Aku tidak ingin melupakan hari-hari itu," ucap Nick tegas dengan suara yang dalam.

Rissa membuang wajahnya. "Lupakan saja, Nick. Aku juga sudah melupakannya."

"Tentu saja. Bagimu kenangan yang indah dan manis hanya saat bersama dengan Charlos. Aku bisa mengerti," Nick menambahkan ketika Rissa hendak memotong pembicaraannya. "Aku sangat mengerti. Aku menerima semua keputusanmu untuk menikah dengannya. Itu adalah ... keputusan terbaik. Hanya saja ..."

"Apa, Nick?" Rissa menunggu Nick menjawabnya.

"Keputusan untuk tidak pernah melupakanmu adalah keinginanku sendiri. Tidak ada hubungannya dengan apa pun." Nick mengangkat sebelah alisnya.

"Tidak ada gunanya, Nick." Rissa menatapnya lelah.

"Terserah padaku itu berguna atau tidak," lontar Nick keras kepala.

"Jadi kamu masih menyimpan perasaan padaku?"

"Perasaan sayang akan tetap tinggal untuk selamanya," ucap Nick enteng.

Rissa mengerutkan dahinya. Ia tampak sangat tidak nyaman dengan perkataan Nick. Lalu ia menunduk.

"Hentikan itu, Nick. Kamu tidak ingin Milly sampai mendengar perkataanmu dan membuatnya sedih. Kamu akan menyesal selamanya, Nick," tegur Rissa seperti seorang ibu yang sedang menegur anaknya sendiri. Nick bukanlah anaknya. Sebaiknya Rissa cukup bersikap seperti itu pada anaknya saja, Nick tidak usah dibawa-bawa.

"Sebaiknya kamu bedakan antara perasaan sayang dan cinta. Perasaan sayangku padamu saat ini hanya sebatas adik kakak. Seperti katamu, kita adalah adik kakak. Lain halnya dengan Milly. Dia adalah kekasihku," jelas Nick dengan cukup tegas. Itu memang benar. Milly adalah kekasihnya.

"Apa kamu mencintainya?"

Semoga saja Rissa tidak sedang menguji kesabarannya. Nick cukup terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Dengan segenap hatiku," jawab Nick dengan wajah yang tampak semeyakinkan mungkin.

Rissa mendesah lega. "Syukurlah. Sekarang aku mengerti maksudmu. Ya sudah, terserah kamu mau melupakanku atau tidak. Kita tetap adik kakak selamanya."

"Tentu saja, Rissa."

Nick tidak bermaksud membuat Rissa salah paham. Akan tetapi, semua itu memang benar. Nick tidak akan pernah melupakan kenangan antara dirinya dengan Rissa. Rasa sayangnya tetap untuk selamanya—sebagai adik kakak. Berbeda dengan rasa cintanya pada Milly.

"Jadi apa selanjutnya kita bisa mengobrol dengan santai seperti adik kakak lainnya?" Rissa tersenyum sumringah.

"Baiklah." Nick mengangkat alisnya.

"Maafkan aku," ujar Rissa tiba-tiba.

"Untuk apa?"

"Karena telah menjadi adikku," ucap Rissa. Nick memutar bola matanya. "Dan karena aku telah memergokimu berciuman dengan Milly."

"Tidak apa-apa. Aku senang-senang saja kamu melihatnya." Nick tersenyum miring.

"Nick!" Milly memanggilnya.

Nick lalu berdiri. "Hai, Manis. Kamu sudah mengobrol dengan Charlos?"

"Sudah," jawab Milly agak bergetar. "Apa acaranya sudah selesai? Aku mau kembali ke hotel."

"Oh entahlah. Apa kamu tidak mau mencoba Honeymoon Desssert-nya?"

"Tidak," ucap Milly tegas.

"Milly, kamu yakin tidak akan tinggal lebih lama? Aku masih ingin mengobrol denganmu." Rissa tersenyum ramah, tapi Milly tidak. Ada sesuatu yang tidak beres.

"Aku harus kembali ke hotel, Rissa." Milly berkata tanpa menatap mata Rissa.

"Kamu menginap di mana?"

"Poseidon," jawabnya singkat.

"Oh. Benarkah? Aku akan menelepon supervisornya agar kamu tidak usah membayar hotelnya."

"Aku memang tidak membayar." Milly tampak tidak nyaman. Ia bersedekap dengan sikap angkuh.

"Oh. Benarkah?"

"Dia mendapat tiket hotel gratis dari temannya," kata Nick menjelaskan. Milly menarik tangannya.

"Nick, ayolah!"

"Hah?" Nick terkejut. "Oh, baiklah. Sampai bertemu lagi, Rissa."

Rissa melambaikan tangannya pada mereka dengan dahi mengkerut.

Nick berhenti di tengah jalan. "Aku belum berpamitan dengan semua orang. Charlos, Ibu Indah, Tasya, Cielo, Cedric ..." Nick berhenti berbicara ketika Milly menatapnya dengan tatapan marah. "Baiklah. Lain kali saja."

Mereka berjalan menuju parkiran. Milly masuk ke dalam mobil, dengan kesal ia membanting pintu mobil sekeras-kerasnya. Nick masuk ke dalam, menatap Milly yang cemberut sambil bersedekap. Matanya lurus menatap ke depan.

Nick menyalakan mobil, lalu mereka keluar dari sana. Ia menoleh sesekali. Milly masih saja tampak murka.

"Apa yang terjadi? Apa Charlos mengatakan sesuatu?" tanya Nick dengan lembut.

"Dia mengatakan segalanya!" bentak Milly tiba-tiba.

"Apa tepatnya?" Tiba-tiba jantung Nick berdetak kencang.

"Dia menawariku keuntungan yang sangat besar untuk setiap klien yang menikah di hotelnya." Wajah Milly masih jauh dari kata ramah.

"Bukankah itu bagus?" tanya Nick bingung.

"Bagus! Dan lagi dia juga memasukkanku ke dalam daftar paket WO untuk pengantin yang akan menikah di hotelnya. Dengan kata lain, aku mungkin akan mendapatkan banyak klien baru."

"Wow. Hebat kan," puji Nick, berusaha terdengar ceria, tapi keceriaannya gagal menular.

"Sangat hebat!" seru Milly lagi dengan nada marah.

"Mil, aku tidak mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini?"

"Tidak perlu mengerti!"

Lampu lalu lintas berubah merah. Nick mengerem. Ia menatap wajah Milly dengan saksama. Kesabaran setiap orang pun ada batasnya.

"Jelaskan padaku. Apa yang membuatmu marah?"

"Semuanya!" Sekarang Milly menatap jendela samping sehingga Nick sulit melihat wajahnya.

Tak lama lampu berubah hijau. Nick menginjak kopling, lalu melepasnya perlahan. Meskipun hatinya tidak suka pelan-pelan menghadapi Milly yang sepertinya lebih suka ngegas.

"Kamu tidak suka dengan bisnis yang Charlos tawarkan?"

"Suka! Aku suka sekali! Seharusnya aku senang!"

Ucapan Milly begitu penuh dengan tanda seru. Sungguh Nick bertanya-tanya dalam hati, hal apa yang membuatnya semurka itu.

Nick menatap Milly heran. "Lalu kenapa kamu tidak senang? Perjanjiannya tidak menguntungkanmu?"

"Sangat menuntungkan!" Milly terus saja menjawab pertanyaannya dengan membentak-bentak.

"Benarkah? Apa dia berbicara kasar?"

"Tidak!"

"Jadi siapa yang mengganggumu? Charlos? Dia merendahkanmu?" Kali ini Milly diam saja. "Aku akan putar balik untuk menghajarnya sekarang juga!"

Nick menghentikan mobilnya ke sisi kiri jalan, menyalakan lampu sen kanan, hendak memutar balik, Milly berbalik menahan tangannya. "Apa yang kamu lakukan? Charlos tidak pernah merendahkanku! Dia sangat baik!"

"Lalu siapa? Tasya? Dia memang anak yang kurang ajar. Tidak ada orang tua yang mengajarinya sopan santun. Aku harus membuat perhitungan dengannya."

"Cukup! Aku tidak mau membahas tentang hal ini lagi," seru Milly frustasi.

"Benarkah? Jadi Tasya orangnya?" desak Nick.

"Bukan! Kamu kenapa sih?"

"Kamu yang kenapa! Aku tidak suka melihatmu tiba-tiba marah seperti itu lagi!"

Milly menarik napas dalam lalu menghembusnya dengan keras. "Aku mau pulang sekarang juga."

"Ke mana?"

"Ke hotel! Memangnya kamu ingin aku pulang ke Batam sekarang juga?"

"Bukan! Bukan!" Nick menggeram. Tadinya ia ingin menawari kamar hotelnya, tapi tidak jadi.

Akhirnya mereka kembali melaju dan kembali ke Hotel Poseidon. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sama sekali. Nick juga tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Milly benar-benar sedang tidak ingin diajak berbicara.