Milly menjelaskan, "Sindrom artis itu adalah keadaan di mana semua orang jadi menyukaimu, menyayangimu, mengelilingimu, melakukan semua hal padamu, sehingga membuatmu muak pada mereka."
Milly mengangkat alisnya sebelah. "Kamu pasti lelah menghadapi orang-orang yang terlalu baik padamu. Benar kan?" tebak Milly.
Nick menatap Milly tak percaya, lalu ia tertawa hambar. "Teori macam apa itu?"
"Kamu cenderung mengalami hal-hal seperti itu." Milly mengangguk penuh keyakinan. "Aku bisa melihatnya, saat kamu menghadapi ibu-ibu yang terlalu bersemangat mengajakmu berfoto. Kamu tidak ingin berfoto dengan mereka. Tapi kamu terpaksa menurut. Tanganmu dipegang-pegang, ditarik-tarik ke sana kemari. Ck ck ck." Milly mendecak.
"Kamu cemburu. Ya kan?"
Milly menatapnya. Sejenak wajahnya berubah murung. "Kalaupun aku cemburu, bukan pada ibu-ibu itu."
"Lalu? Pada siapa? Rissa?" Oh jangan sampai Milly mengetahui hal yang sebenarnya.
"Untuk apa aku cemburu pada kakakmu sendiri? Konyol."
"Jadi kamu cemburu pada siapa?"
Milly menghela napas. "Aku ingin bertanya. Apa belakangan ini kamu pernah ... bertemu dengan ..." Milly tampak kesulitan menyelesaikan pertanyaannya. Mulutnya terbuka tertutup, begitu ragu-ragu untuk berkata-kata.
"Dengan siapa, Mil?" tanya Nick sabar.
"Lupakan saja." Milly menggelengkan kepalanya, lalu mengerjap-ngerjap. "Tidak penting."
"Loh kenapa? Aku jadi penasaran. Sebenarnya kamu mau bertanya apa?" Nick mulai jengkel.
"Bukankah kita tadi sedang membicarakan tentang sindrom artis yang kamu alami?"
"Aku tidak mengalami sindrom artis," kata Nick sambil terpejam, berusaha untuk tidak menyeringai, kemudian ia menatap Milly yang sedang melongo.
"Itu sama sekali tidak masuk akal. Aku tidak merasa muak pada orang-orang di sekelilingku. Aku menyayangi mereka seperti keluarga kandungku sendiri," papar Nick.
"Lalu apa masalahnya?" Milly membuka kedua telapak tangannya.
"Tidak ada masalah apa-apa. Kita tidak usah membahasnya lagi ya."
Milly sepertinya kecewa atau mungkin penasaran juga. Ia harus mengalihkan perhatian Milly.
"Jadi, seperti yang Rissa tadi bilang." Milly menatapnya penuh harap. "Kamu menceritakan tentangku padanya? Apa yang kamu ceritakan?"
"Sudahlah, Mil." Nick melompat dari kursinya. "Acaranya sudah mau mulai. Sebaiknya kita masuk ke aula." Ia berjalan mendekati Milly, hendak menarik tangannya. Tapi sebaliknya, Milly berdiri lalu menarik tangannya.
"Ayolah. Beritahu aku. Apa kamu menyebutku sebagai pacarmu?"
Nick menatap Milly. Kekasihnya menunggunya untuk menjawab. Ia menepis rambut Milly dari bahunya, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Hal itu membuat Milly sedikit bergidik.
"Ya," jawab Nick akhirnya.
"Jadi menurutmu kita berpacaran?"
Nick mengerutkan alisnya. "Memangnya menurutmu apa?"
"Hanya saja ... kamu tidak pernah mengatakan kalau kamu ... mencintaiku." Milly tertunduk malu-malu sambil menggigiti bibirnya dengan cara yang sangat menggemaskan.
Tiba-tiba jantung Nick berdetak cepat. Selama ini ia selalu mengatakannya saat Milly tertidur dan Milly telah menjawabnya, 'I love you too'. Ia masih mengingat suara Milly dan wajah polosnya saat mengatakan itu.
"Aku selalu mengucapkannya setiap kali menciummu. Apa kamu tidak mendengarnya?"
Milly mendongak. Kali ini pipi Milly merona. "Aku ... aku tidak mendengarnya."
"Tentu saja. Itu karena kita terlalu sibuk saling menciumi satu sama lain. Dan lagi kakimu selalu menjepitku."
"Nick, sepertinya ada yang memanggilmu." Milly menunjuk.
Nick menoleh ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Milly berjalan cepat melewati Nick. Dengan gesit Nick memeluk pinggangnya dari belakang. Pinggangnya begitu ramping.
"Kamu berani membohongiku," bisik Nick di kupingnya. Milly bergidik. Kupingnya memerah.
"Katamu kita harus segera ke aula. Acaranya akan segera dimulai." Suara Milly agak bergetar.
"Lima menit lagi, tidak apa-apa kan," goda Nick.
Nick mencium leher Milly, lalu naik kuping menggemaskan itu, bergeser ke pipi, ke hidung. Milly menoleh. Nick mencium bibirnya dengan lembut. Ia memeluk pinggang Milly, sebelah tangannya menyentuh leher jenjang itu, lalu menyusup ke tengkuknya.
"Oh tidak!" seru seseorang.
Ciuman seketika terhenti. Rissa menutupi mulutnya dengan tangan. Nick dan Milly sama-sama tersentak kaget. Buru-buru Nick merapihkan diri. Milly pura-pura membenahi rambutnya. Rissa menatap Nick dan Milly bergantian.
Ia menahan tawa. "Maaf. Aku tidak bermaksud ..."
"Kamu mau apa, Rissa?" tanya Nick.
"Aku mau mengambil minum untuk Cedric."
Nick mengambil gelas kosong, mengisinya dengan air hangat dari dispenser, lalu menyerahkannya pada Rissa.
"Terima kasih. Kalau kalian sudah selesai, sebaiknya berkumpul di aula. Acaranya sudah dimulai." Rissa mengangguk sekali pada Milly lalu pergi.
Milly mengerang sambil menutup wajahnya yang semerah tomat dengan tangan. "Aduh. Aku malu sekali!"
Benar-benar menggemaskan. Sudahkah ia menyebutkan kalau Milly adalah wanita yang paling menggemaskan sedunia?
Nick tersenyum. "Tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita ke aula sekarang."
Milly mengangguk. Mereka duduk di baris paling belakang. Acara kebaktian sedang dimulai. Mereka melewatkan acara pujiannya dan langsung ke bagian khotbahnya.
Selesai berdoa, perayaan ulang tahun pun dimulai. Ada sekitar enam anak panti yang berulang tahun, termasuk Tasya. Charlos memang pilih kasih. Dari keenam anak-anak itu, hanya Tasya yang terlihat paling mencolok.
Entah seberapa banyak uang yang telah Charlos berikan khusus untuk anak itu. Cara berpakaiannya begitu modis dan bergaya, tidak seperti anak-anak lain yang tampak sederhana. Ya mungkin memang begitulah jika Charlos sudah menyayangi seseorang, ia akan memberikan apa saja untuk orang itu.
Seharusnya Charlos mengangkat Tasya menjadi anaknya saja. Semoga saja anak-anak panti yang lain tidak iri melihat Tasya.
Setelah menyanyi lagu ulang tahun, meniup lilin, dan makan kue, Charlos dan Rissa membagi-bagikan bingkisan.
"Nick, Tasya itu anak panti?" tanya Rissa.
"Ya. Kenapa? Dia tidak terlihat seperti anak panti ya?"
Milly mengedikkan bahunya. "Entahlah. Aku tidak begitu suka padanya. Dia judes sekali padaku. Dilihat dari sikapnya, sepertinya ia tidak suka bersosialisasi, seperti yang jarang berbicara dengan orang lain. Dia punya banyak teman kan?"
"Tidak. Kamu benar. Tasya memang tidak bisa bergaul dengan anak seumuran dengannya. Teman-temannya sering membully-nya di sekolah. Ia sering kali diejek 'Anak Gembala'." Nick terkekeh. "Namanya sama seperti nama penyanyi cilik itu."
Milly ikut terkekeh pelan, tapi kemudian mengatupkan kembali mulutnya.
"Teman-temannya sering mencontek padanya," sambung Nick. "Kadang mereka memaksanya untuk bekerja sama saat ujian. Tasya selalu menolak. Jadi ya sudah jelas kalau ia tidak punya teman. Mungkin ada satu, tapi entahlah apa mereka sedekat itu hingga Tasya mau membuka dirinya."
"Kasihan sekali," komentar Milly.
"Maka dari itu untuk membuatnya mau membuka diri, aku sering mengajaknya jalan-jalan jika kebetulan aku sedang ke Bandung. Aku mengajaknya mengobrol berjam-jam, membuatnya nyaman menceritakan segala hal padaku. Itu membuatnya sedikit lebih ... normal. Dia lebih banyak tersenyum dan jauh lebih ramah," tandas Nick.
Milly mendesah, wajahnya kembali tampak murung.
"Kenapa, Mil?"
Milly mengedikkan bahunya. "Aku tiba-tiba teringat pada seseorang yang seperti Tasya."
"Siapa? Apa aku mengenalnya?"
"Ya. Kamu mengenalnya." Milly mengangguk.
"Siapa?" desak Nick.