Semakin lama mendengar omongan Celia, membuatnya jadi semakin muak. Celia berubah menjadi wanita yang begitu sombong dan... matrealistis? Ya. Itulah julukan yang tepat untuk Celia. Sungguh sangat disayangkan. Padahal dulu Celia tidak pernah seperti ini.
"Aku tidak mau dengar lagi." Nick menggerakkan tangannya sambil lalu. "Kalau kamu tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi."
Nick berbalik menuju ke mobilnya. Celia tidak mau menyerah. Wanita itu terus mengikutinya. Ia berlari menuju ke pintu penumpang, kemudian duduk.
"Apa-apaan ini? Turun sekarang juga." Nick berusaha menjaga agar tidak membentak Celia.
Wanita itu tampak cuek sekali. Ia membuka mantel, menampilkan lebih banyak belahan dada, lalu memakai sabuk pengaman. Ia mengeluarkan ponsel dari tas tangannya, mengetik sesuatu di layar.
"Aku lelah sekali, Nick. Tolong antarkan aku pulang," ucap Celia dengan nada memerintah.
Nick merasa sedikit frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri, lalu turun. Ia mengitari mobil menuju ke kursi penumpang, membuka pintunya.
"Turun," ucap Nick tegas.
"Tidak mau!" Celia memberengut sambil kemudian kembali menatap ponselnya.
"Celia! Aku bilang turun!" Nick mulai membentaknya.
"Kamu jahat sekali sih?!" keluh Celia dengan suara yang melengking. "Kamu kan bisa tolong antarkan aku pulang!"
"Kamu bisa pulang naik taksi," usul Nick.
"Tidak bisa."
"Tidak usah manja!"
"Aku bukannya manja!" rengek Celia. "Aku... aku tidak punya uang." Dan tangisnya pun pecah. Beberapa karyawan restoran memperhatikannya. Dari kejauhan, Nick melihat satpam mulai berjalan mendekatinya.
Mudah saja, Nick tinggal menyelipkannya beberapa lembar uang, lalu melemparnya ke jalan. Itu hanya membuatnya terlihat seperti pria hidung belang yang habis tidur dengan seorang PSK. Celia bukan seorang PSK. Dan demi Tuhan, ia bukan seorang pria hidung belang. Ia masih memiliki hati nurani.
Dengan kesal, Nick menutup kembali pintu penumpang. Ia kembali ke kursi pengemudi, menyalakan mesin, dan pergi meninggalkan restoran.
Celia berhenti menangis. Ia mengambil tisu di konter, lalu mengelap wajahnya dengan perlahan agar riasannya tetap aman.
"Terima kasih ya, Nick. Kamu baik sekali," ucapnya sambil tersenyum manja. Ke mana tangisannya yang tadi? Apakah itu palsu?
Nick tidak ingin menjawab. Ia lebih baik menunjukkan wajah kesal daripada harus berbicara dengan mantannya.
"Nick, aku senang sekali bisa bertemu denganmu. Kamu benar-benar penyelamat," kata Celia sungguh-sungguh.
Yang benar saja. Ia bukanlah penyelamat, tapi ia jelas masuk kategori pria perebut wanita orang. Merebut Celia dari Jeremy? Benar-benar menjijikan. Untuk apa? Ia sudah memiliki Milly.
"Kamu tampak sangat berbeda, Nick. Tubuhmu menjadi sangat atletis. Aku sangat menyukainya. Aku pernah melihat fotomu di Instangambar Martin. Tapi setelah aku melihatmu secara langsung, aku tidak menyangka bahwa kamu tampak jauh lebih tampan." Celia meremas bahunya. Nick langsung mengelak.
"Lepaskan tanganmu. Tolong jaga sikap. Aku sedang menyetir."
Celia melepaskan tangannya. "Oh maaf. Aku tidak bermaksud mengganggumu."
Celia terus menatapnya lekat-lekat dan itu sangat mengganggu. "Sikapmu juga berubah. Dulu kamu tidak pernah sekasar ini padaku."
"Kamu tahu kenapa," ucap Nick, menyatakan yang sebenarnya.
"Kita putus karena itu semua keinginanmu, Nick."
"Yang benar saja." Nick menggelengkan kepalanya.
"Kita bertengkar. Kamu sendiri yang bilang, kalau kita tidak bisa melakukan hal-hal itu lagi. Kamu menolakku seperti sampah." Setetes air mata membasahi ujung mata Celia. Sesungguhnya Nick tidak ingin membahas apapun dengannya. "Aku berusaha membuatmu cemburu. Aku pikir, aku berhasil karena kamu bersikap semakin dingin padaku. Kamu pasti cemburu. Tapi sampai aku menikah dengan Edi, kamu... kamu jadi tidak peduli lagi padaku. Kamu juga tidak peduli saat aku sudah bercerai dengannya."
"Kenapa aku harus peduli?"
Celia mendesah. "Aku tahu, kamu masih mencintaiku." Nick menatap Celia tak percaya. "Sekarang aku paham. Kamu menolakku waktu itu karena takut aku hamil. Ya kan? Padahal aku punya kondom di tasku. Kamu bisa memakai itu untuk menjaga kita tetap aman."
"Berhenti bicara sekarang juga! Atau..."
"Atau apa? Kamu akan menurunkanku di pinggir jalan?" Sebenarnya memang itu yang akan Nick lakukan. "Ayolah! Sedikit lagi rumahku hampir sampai."
Celia menunjukkan jalan menuju ke rumahnya dan akhirnya mereka tiba juga. Sebenarnya bukan rumahnya, tapi itu sebuah kontrakan sederhana. Setidaknya rumah itu masih layak untuk dihuni.
Nick membuka pintu untuk turun. Disusul Celia. Wanita itu menyampirkan tali tasnya ke bahu. Payudaranya sungguh... Nick segera menyucikan otaknya dan buru-buru mengajukan pertanyaan agar ia tidak perlu terlalu fokus menatap ke sana.
"Apa pekerjaanmu?" tanya Nick.
"Aku... Apa aku harus memberitahumu?" Celia menatapnya dengan tatapan lugu.
"Tidak perlu," sergah Nick dengan cukup keras. "Lagipula itu semua bukan urusanku. Aku hanya ingat tadi kamu bilang kalau kamu tidak punya uang. Sebagai seorang pria sejati yang masih punya hati nurani, aku hanya ingin memberimu sedikit sumbangan."
"Apa? Memangnya aku gelandangan?" Celia memukul tangan Nick dengan tasnya. "Aku masih punya uang, tahu!"
"Tapi tadi kamu bilang..."
"Aku bohong. Aku sengaja bilang begitu supaya kamu mengantarkanku pulang," aku Celia tanpa rasa malu sedikitpun.
Nick sampai terperangah. Wanita itu tampak santai saja, seolah tidak merasa berdosa telah mengatakan kedustaan.
Nick sampai mempertanyakan dirinya sendiri. Sungguh dari lubuk hatinya yang terdalam dan pikirannya yang paling rasional, bagaimana bisa ia pernah jatuh cinta pada seorang Celia? Selain wajahnya yang cantik, tubuhnya yang montok dan selalu wangi, payudaranya yang super besar, rambutnya yang indah, penerimaannya dengan kondisi tubuh Nick yang super gendut pada waktu itu, atau hanya otaknya saja yang dangkal?
Wanita itu tidak punya integritas. Ia hanya melakukan apa saja yang ia mau. Setidaknya ia jujur bahwa ia telah berbohong. Ironis sekali.
"Aku punya pekerjaan yang layak dan gaji yang lumayan," imbuh Celia sambil tersenyum manis.
"Ya sudah." Nick bergegas memasuki mobilnya.
"Nick! Tunggu!" Celia dengan cepat membuka pintu mobil. Nick bisa saja menutup kembali pintu mobil dengan keras, lalu menancapkan gas. Tapi ia tidak ingin melukainya.
Celia membungkuk untuk menatap Nick. Payudaranya menggantung, belahan dadanya benar-benar merupakan sebuah tantangan besar bagi pria manapun untuk tidak menatapnya. "Sekali lagi terima kasih atas bantuannya. Kamu pasti kesal sekali padaku. Maaf ya. Aku sudah menciummu tanpa aba-aba. Sekarang Jeremy tidak akan pernah menggangguku lagi. Aku sangat sangat berterima kasih. Kalau aku... kalau aku menciummu perlahan dan lebih sopan, apa kamu akan menolakku?"
"Jangan pernah berpikir untuk mencobanya."
"Kenapa tidak?" goda Celia.
Celia mendekati wajahnya perlahan. Sekali lagi Nick bisa menghirup aroma parfum Celia. Nick menjauh, tangannya menahan bahu Celia. Wanita itu berhenti di tengah-tengah. Bahu dan kepala Nick sudah miring sekali ke kiri. Celia tersenyum.
"Pipi kamu tirus sekali. Tapi matamu... Kamu masih Nick yang aku kenal." Kemudian Celia mundur, menegakkan badannya. "Pulanglah. Aku tidak akan mengganggumu lagi." Celia menutup pintu mobil, lalu mundur dua langkah sambil melambaikan tangannya.
Sebelum Nick terjerat oleh godaan setan, cepat-cepat Nick menancapkan gas dan pergi meninggalkan Celia.