Tentu saja Nick tahu kalau ini pasti yang ketiga kalinya. Kedua keponakannya, Cielo dan Cedric, adalah anak-anak terlucu dan tergemas yang pernah ada di dunia ini. Wajah mereka delapan puluh persen mirip Charlos. Bagaimanapun juga Nick menyayangi mereka berdua.
"Oh. Selamat ya." Ia tidak bermaksud untuk merespon Rissa sedingin kulkas seperti itu.
"Terima kasih, Nick." Rissa tertawa pelan. Suaranya begitu merdu dan menyenangkan. Betapa Nick merindukan suara itu. Sejak kemarin ia di Batam, Rissa tidak datang. Mengapa Rissa baru datang hari ini?
"Kamu tidak marah padaku kan?"
"Hah? Untuk apa? Kamu hamil lagi dan itu bagus. Aku akan punya keponakan baru."
"Bukan. Maksudku, aku pikir kamu marah karena aku menggodaimu tentang Milly."
"Oh." Hanya itu yang keluar dari kerongkongannya. Nick sedang tidak ingin menanggapi Rissa.
"Maafkan sikapku yang tadi ya. Aku hanya tidak menyangkanya. Selamat juga untukmu, Nick. Senang sekali mengetahui kalau kamu sudah punya pacar. Akhirnya..." Rissa mendesah lega.
Akhirnya Rissa lega karena Nick telah move on. Pasti itu yang ada di pikiran kakak tirinya. Ya, itu memang benar. Walaupun ia sama sekali tidak akan pernah bisa melupakan Rissa sedikitpun. Meskipun Rissa sudah menikah dan hamil untuk ketiga kalinya.
"Baiklah. Aku mau menelepon Milly dulu. Sampai nanti lagi."
Lalu telepon terputus.
Rissa meminta maaf, memberinya selamat, dan turut bahagia atas status barunya. Dan Nick sama sekali tidak menanggapinya sedikitpun. Nick merasa sedikit kejam. Ia pasti terkesan masih marah pada kakak tirinya.
Bagaimana tidak? Rissa sulit sekali memberikan nomor telepon Milly. Mengapa harus disusah-susah? Dan Rissa menyebutnya bodoh.
Dasar wanita. Hamil. Rissa ibu hamil. Untuk ketiga kalinya. Baiklah. Nick tidak peduli.
Dengan cepat Nick menekan nomor telepon Milly. Terdengar nada sambung. Lama sekali. Teleponnya tidak diangkat. Nick mengulanginya sampai tiga kali dan nihil. Milly tidak mengangkat teleponnya.
Seharusnya ia meminta Rissa untuk mengetikkan pesan pada Milly. Lalu ia akan menerima beberapa pertanyaan yang menjurus ke arah ancaman jika ia tidak menceritakan bagaimana persisnya ia dan Milly bisa berpacaran.
Ah sebaiknya Nick mengurungkan niatnya. Ibu hamil yang satu ini memiliki rasa penasaran yang lebih dahsyat daripada orang kebanyakan.
Dengan lesu, Nick kembali ke dapur. Untuk pertama kalinya ia tidak ingin berada di tempat ini. Ingin sekali Nick pulang ke Batam dan bertatap muka dengan Milly. Ia akan menarik wanita itu dalam pelukannya. Tapi itu semua hanyalah terjadi dalam angan-angannya saja.
Selesai beristirahat, lanjut menu makan malam. Ada pesanan makan malam khusus acara ulang tahun untuk dua belas meja. Bagian pastry telah menyiapkan kue ulang tahun lima tingkat, bertemakan buah-buahan dan didominasi warna merah dan hijau.
Acara makan malam sama sibuknya seperti menyiapkan makan siang. Hari ini begitu melelahkan. Badan Nick semakin tidak bertenaga karena sejak tadi ia terus menerus memikirkan Milly.
Nick baru bisa pulang sekitar pukul sebelas malam. Temannya, Roy sang sous chef, berjalan kaki pulang bersamanya. Apartemen mereka bersebelahan. Roy juga berasal dari Indonesia. Semenjak Nick pindah ke sini, mereka jadi semakin akrab.
"Aku tidak melihatmu datang tadi pagi. Kamu sampai Centaurus jam berapa?" tanya Roy.
"Sekitar jam sepuluh pagi," jawab Nick sambil mengunyah sate strawberry.
"Oh. Bagaimana liburanmu?"
"Aku tidak ke mana-mana. Hanya di Batam saja."
"Oh aku pikir kamu main ke Bandung."
"Belum, Roy. Nanti minggu depan aku akan ke Jakarta lalu ke Bandung."
"Oh iya acara pembukaan restoran itu ya," kata Roy sambil melihat ponselnya.
"Ya benar." Tiba-tiba Nick kembali teringat akan Milly. "Oh ya ngomong-ngomong, boleh aku pinjam ponselmu? Ponselku tertinggal di rumah. Aku harus menghubungi seseorang."
"Wah gawat sekali kalau sampai aku yang ketinggalan ponsel. Ini, pakailah." Roy menyerahkan ponselnya.
"Trims, Roy." Nick mengeluarkan kertas catatan nomor telepon Milly dari dompetnya. Dengan cepat ia menekan layar ponsel, lalu menelepon.
Dan sama seperti tadi pagi. Milly tidak mengangkat teleponnya. Lama kelamaan Nick mulai curiga, Rissa memberikan nomor telepon yang salah.
Tubuhnya yang lelah karena seharian bekerja menjadi semakin lesu dan tidak bergairah. Sebelum akhirnya ia terpuruk di kasurnya dan menyesali kecerobohannya, Nick mengetik pesan melalui Whatsapp.
"Hai, Milly. Ini Nick.
Kamu tidak mengangkat teleponku.
Ponselku tertinggal di rumah.
Ini nomor ponsel temanku.
Apa kamu baik-baik saja, Mil?
Aku merindukanmu."
Nick menunggu. Ceklisnya dua. Tapi masih belum dibaca.
"Nick, sudah ketiknya? Aku harus membalas pesan dari Prisilla."
"Oh. Ini sudah. Trims ya, Roy." Nick menyerahkan ponsel Roy. "Oh ya, Roy, kalau ada balasan pesan dari Milly tolong beritahu aku ya."
"Siapa itu Milly?"
"Eh... Milly itu pacarku."
"Oh ya? Sejak kapan kamu punya pacar?" Roy mengangkat alisnya sebelah.
"Masih baru kok." Nick menarik strawberry terakhir, lalu membuang tusukan bekasnya ke tong sampah.
"Pasti karena seminggu berlibur di Batam."
Nick tergelak. "Kamu benar."
Roy tersenyum. Kemudian matanya kembali menatap layar ponsel. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah terkejut lalu cemas.
"Aku harus segera pulang!" Roy mempercepat langkahnya.
"Ada apa, Roy?" Nick mengikutinya.
Roy menunjukkan foto dari ponselnya. Gambar meja makan yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taplak berwarna merah. Terdapat lilin dan bunga di atasnya.
"Apa masalahnya?"
"Itu foto meja makanku!" Roy menunjuk layar ponselnya dengan telunjuknya. Nick masih menunjukkan wajah bingung. "Prisil ada di apartemen," Roy menjelaskan.
"Oh." Tapi Nick masih bingung. Memangnya kenapa kalau Prisilla ada di apartemennya? Bukankah itu bagus? Mungkin Prisilla akan merayakan sesuatu dengan Roy.
"Aku duluan ya!" Roy kemudian berlari masuk ke dalam apartemen yang berjarak lima puluh meter lagi. Lift langsung terbuka dan kemudian Roy menghilang ditelan lift.
Beruntung sekali Roy. Setelah lelah pulang bekerja, Roy akan segera disambut kekasihnya, Prisilla, yang telah menyiapkan meja makan malam romantis. Betapa menyenangkannya ada seseorang yang menunggunya pulang bekerja.
Seandainya saja ia memiliki seorang istri, Milly mungkin, dan kemudian Milly menyambutnya pulang bekerja dan kemudian ia akan menciumnya dengan mesra sambil membawakannya oleh-oleh. Mungkin ia akan berbagi sate strawberry dengan Milly. Lalu ia akan menyiapkan makan malam spesial setiap hari.
Pemikiran itu membuat Nick jadi semakin lesu dan tidak bersemangat. Milly tidak mengangkat teleponnya. Pesan singkatnya masih belum tahu bagaimana jawabannya. Akankah Milly menjawabnya atau mengabaikannya juga seperti telepon-teleponnya sebelumnya?
Kakinya seperti agar-agar. Nick harus menyeretnya sedikit lagi menuju lift. Rasanya lama sekali sampai akhirnya ia tiba di kamarnya.
Nick menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, memejamkan matanya. Rasanya lelah sekali. Ini adalah salah satu hal yang menyebabkan berat badannya turun. Semenjak ia kuliah tata boga, kemudian magang di hotel, rasanya ia tidak pernah merasa cukup beristirahat.
Dulu ia sempat melakukan diet dan olahraga di gym. Usahanya membuahkan hasil. Dari bobot tubuh seratus sepuluh kilogram, lalu terus menyusut hingga sekarang tujuh puluh lima kilogram saja.
Angka tujuh puluh lima ia peroleh saat ia sudah bekerja di Hotel Centaurus Batam. Dan angka tersebut bertahan hingga sekarang. Itu bagus. Ia semakin mudah untuk bergerak, berlari, berolahraga. Dan ia cukup bangga mengenakan pakaian apa saja, terutama kaos yang pas dengan bentuk tubuhnya. Ia terlihat lebih percaya diri. Jauh lebih mudah saat berbelanja celana jeans karena perutnya sekarang telah mengempis.
Seluruh pakaian ukuran XXXL nya sebagian ia sumbangkan dan sisanya lagi dipakai ibunya sebagai lap kaki. Mungkin ia masih menyimpan satu atau dua pakaiannya di lemarinya di rumah Batam.
Nick akhirnya bergerak untuk mandi. Selesai menggosok gigi, Nick kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Ia mengaduk-aduk isi tasnya untuk mengeluarkan ponsel, bermaksud untuk mengecek sosial media. Oh Nick lupa. Ponselnya tertinggal di rumahnya.
Belum pernah ia begitu sedihnya tertinggal sebuah ponsel. Ia begitu merindukan Milly. Bibirnya begitu lembut. Dan Nick benar-benar telah mencium bibir itu. Pipinya yang halus dan selalu merona, rambutnya begitu wangi, dan hidungnya yang mancung sangat mengesankan. Ingin sekali Nick mencubit hidung itu, akankah hidung itu menjadi semakin panjang?
Kejantanannya mulai mengeras, ketika tiba-tiba ada yang menggedor pintu apartemennya dengan kencang.
"Nick! Nicholas!"
Ia tersentak, lalu bangkit dan berjalan cepat untuk membuka pintu.
"Ada apa, Roy?"
Wajah Roy begitu gusar dan sedikit frustasi. Di sebelahnya berdiri seorang gadis sedang menyilangkan tangannya di dada. Prisilla mengenakan gaun merah yang begitu ketat, belahan dadanya sedikit menyembul. Wajahnya memakai riasan yang lebih tebal daripada yang pernah Nick lihat. Secara keseluruhan Prisilla tampak cantik, kecuali bibirnya yang cemberut.
"Jelaskan padanya soal Milly!" pinta Roy tegas.