Chereads / Milly's First Love / Chapter 21 - 21. Salah Video Call

Chapter 21 - 21. Salah Video Call

Akhirnya Melanie menarik Ririn ke pinggir lalu menasehati anak itu sambil menatap langsung ke matanya. Entah apa yang Melanie katakan pada anak itu sehingga akhirnya Ririn menurut untuk tidak merengek lagi. Tapi cemberut di wajahnya tidak kunjung surut.

Lalu ia, Melanie, dan Cen Fey ke toko sepatu. Sebenarnya Milly tidak membutuhkan sepatu apa pun. Ia hanya senang melihat dan mencoba-coba, tapi tidak benar-benar ingin membelinya. Cen Fey menunjukkan sebuah sepatu stiletto berwarna hitam. Milly mencobanya, lalu mengaca. Kakinya terlihat cantik dan seksi. Kalau saja ia memakai gaun dengan potongan dada rendah dan roknya berbelah di bagian pahanya, ia pasti akan terlihat sangat sempurna. Tapi ia tidak tahu harus memakai sepatu ini ke mana.

Sejauh ini ia jarang sekali datang ke pesta, kecuali untuk pernikahan kliennya. Dan kebanyakan ia memakai sneakers atau slip on yang praktis. Alih-alih gaun, ia biasanya mengenakan kemeja putih formal dan celana kain hitam. Pakaian itu sudah seperti setelah wajib. Mungkin lain kali ia harus mengajak Helen untuk membeli seragam yang lebih santai daripada pakaian hitam putih. Entahlah. Milly masih belum mendapatkan ide.

"Itu bagus sekali, Mil," puji Cen Fey.

"Terima kasih, Fey. Tapi aku tidak yakin akan membelinya." Milly masih mengagumi sepatu itu. Kulit kakinya yang putih terlihat kontras dengan sepatunya yang hitam.

"Kenapa? Aku tidak pernah melihatmu memakai high heels sebelumnya. Kamu tahu kan pepatah yang berkata : Good shoes take you good places."

"Yeah, of course I know. Tapi aku tidak tahu akan memakainya ke mana." Milly masih menatap dirinya di depan cermin. Ia berjalan sambil menjinjitkan sebelah kakinya.

"Kita tidak akan pernah tahu." Cen Fey mengangkat alisnya. "Sebuah makan malam romantis, acara pernikahan teman, pesta dansa, atau hanya sekedar acara makan-makan biasa, atau bisa jadi kamu memakainya untuk bertemu dengan klien." Cen Fey memang wanita yang sangat cantik dan baik hati. Ia tampak seperti Cinderella di dunia nyata.

Milly memperhatikan lagi dirinya di depan cermin. Lalu ia mendecak. "Terlalu berlebihan."

Milly hendak melepaskan sepatu itu, tapi Cen Fey mencegahnya. "No. Kamu bisa memadankannya dengan kemeja longgar dan celana jeans."

"Benarkah?" Saat ini ia sedang memakai kaos dan celana jeans. Sepertinya cocok-cocok saja.

"Tentu saja, Mil."

Lalu sang pelayan mengambilkan pasangan sepatunya. Milly sekali lagi mengaca dan menemukan tubuhnya yang memang sudah tinggi jadi semakin tinggi dan seksi. Kakinya tampak begitu jenjang. Baiklah. Kenapa tidak?

"Oke. Aku ambil yang ini," ucap Milly.

Sang pelayan menurut, lalu membungkuskannya untuk Milly. Saat hendak membayar di kasir, Cen Fey telah mendahuluinya.

"Ya Tuhan. Sungguh ini sama sekali tidak perlu. Aku bisa membayarnya sendiri, Fey."

"Aku selalu ingin membelikanmu sesuatu, tapi aku tidak tahu apa, karena kamu sudah memiliki segalanya. Aku ingin sesuatu yang benar-benar kamu suka dan berguna untukmu."

"Cen Fey." Milly memeluk adik iparnya. "Terima kasih banyak."

"Tidak perlu berterima kasih. Aku sayang padamu, Mil. Anggap saja ini sebagai kado natal yang lebih awal."

Milly tertawa. "Baiklah. Sekali lagi terima kasih."

Selesai berbelanja sepatu, sesuai rencana, Milly menonton film ke bioskop. Marshal yang membelikan tiket. Pemilihan film yang sangat... tidak tepat. Habibie Ainun. Mengapa Marshal memilih untuk menonton film itu? Ia tidak suka harus menangis di hadapan kakak laki-lakinya. Seolah Marshal tahu bagaimana cara menguras air mata Milly. Ia memang sedih karena Nick harus pergi bekerja ke Malaysia tanpa menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya bahwa kencan mereka hanya untuk satu malam itu saja. Mungkin akan ada malam yang lain, tapi Nick tidak pernah memberitahunya kapan mereka akan bertemu lagi.

Di film itu Habibie muda tampak begitu mengagumi dan mencintai Ainun dengan tatapan yang sanggup membuat tubuh bagian bawahnya mengejang dan jantungnya berdebar tak karuan. Seandainya Nick memandangnya seperti itu. Betapa menyedihkannya jika harus kehilangan orang yang paling kita cintai untuk selamanya. Bapak Habibie begitu mencintai Ibu Ainun dengan sepenuh hati dan jiwanya, hingga maut memisahkan. Ibu Ainun dipanggil Tuhan terlebih dahulu. Nick tidak benar-benar hilang selamanya. Ia pasti akan bertemu lagi dengan Nick, tapi entah kapan.

Filmnya sudah usai. Marshal menawarkan tangannya untuk digandeng. Dengan senang hati Milly menerimanya. Air matanya masih juga belum berhasil berhenti untuk mengalir. Marshal tersenyum puas. Milly mengecek ponselnya sambil menyeka air mata yang membutakan matanya. Ada panggilan tak terjawab lagi dari nomor tidak dikenal. Baiklah, sekarang air matanya benar-benar telah berhenti mengalir.

Mengapa hari ini ada begitu banyak panggilan masuk dari nomor tidak dikenal? Mungkinkah?

Lalu ada pesan masuk di Whatsapp-nya.

"Hai, Milly. Ini Nick.

Kamu tidak mengangkat teleponku.

Ponselku tertinggal di rumah.

Ini nomor ponsel temanku.

Apa kamu baik-baik saja, Mil?

Aku merindukanmu."

Jantung Milly berdebar kencang. Ini Nicholas! Ini benar-benar Nick! Dan Nick bilang merindukannya. Ia juga sangat merindukan Nick. Dasar ceroboh! Bagaimana bisa Nick meninggalkan ponselnya di rumah? Itulah penyebabnya kenapa ia tidak bisa menghubungi Nick hari ini. Milly melepaskan tangannya dari Marshal.

"What's wrong, Mil?"

"Nothing. Aku hanya harus menelepon seseorang."

"Nicholas?"

Milly mengangguk. Ia menekan tombol video call. Nick mengiriminya pesan sekitar setengah jam yang lalu. Semoga saja ini tidak terlalu malam untuk melakukan video call. Milly memperbaiki rambutnya sedikit. Lalu berlatih untuk tersenyum di depan kamera. Matanya sedikit sembab. Lalu teleponnya diangkat. Mungkin sinyalnya kurang. Atau mungkin kameranya yang rusak? Layarnya agak gelap. Sepertinya lampunya remang-remang. Ada siluet pria dan wanita yang sedang... berciuman. Astaga. Ini menjijikan! Apakah itu Nicholas? Matanya nyaris ingin menangis lagi. Ia bisa mendengar ada suara orang yang berbicara.

"Sayang... Oh Sayang. Roy..."

Apa-apaan ini? Siapa itu Roy? Oh apakah itu temannya Nick? Ini nomor telepon temannya, bukan? Sepertinya Milly menelepon di saat yang sangat tidak tepat. Lalu citra di layarnya jadi semakin jelas. Seorang pria yang sepertinya memang bernama Roy, karena jelas itu bukan Nicholas, sedang mencium seorang wanita begitu bersemangat. Tali gaunnya merosot, memperlihatkan separuh payudaranya. Tangan Roy merajalela. Sebaiknya Milly menutup teleponnya. Tapi kemudian sepertinya sang wanita menyadarinya.

"Roy siapa itu?" Wanita itu berteriak.

"Hah?" Roy tampak bingung. Lalu telepon terputus.

Milly harus menjelaskan sesuatu. Jadi ia mengetik di layarnya.

"Hai, ini Milly.

Aku tidak bermaksud mengganggu kalian."

Belum selesai ia mengetik, tiba-tiba orang itu menelepon balik.

"Halo?"

"Hei! Siapa kamu?" Teriak sang wanita.

"Aku Milly."

"Milly siapa? Untuk apa kamu menelepon pacarku? Kamu selingkuhannya?"

"Apa? Bukan. Maaf sebelumnya. Aku..."

"Mengaku saja! Dasar jalang! Kamu tidak akan pernah bisa merebut Roy dariku!"

"Apa?" Astaga! Tidak pernah ada seseorang yang pernah menyebutnya jalang. Kejam sekali.

"Sayang! Sudah cukup! Kamu salah paham," kata sang pria, yang Milly duga pasti bernama Roy.

Lalu sepertinya teleponnya direbut. "Halo. Maaf, Milly. Sepertinya ini salah paham. Aku akan memberikan teleponnya pada Nick. Tunggu sebentar ya."

"Oke." Lalu telepon terputus.