Tamatlah riwayatnya! Milly tidak menyangka Nick akan berada di sini, saat ini juga. Bukannya senang dipeluk dan dicium Nick, Milly justru takut setengah mati. Ia tidak bermaksud untuk bermain curang. Rasa penyesalan menghantuinya.
Sudah terlambat, pikir Milly. Nick tidak akan mempercayainya lagi. Ia akan kehilangan cinta pertamanya untuk selamanya.
"Hei, Nick! Apa kabar?" sapa Martin, lalu mereka berjabat tangan.
Habislah nyawanya!
"Baik. Kamu bagaimana? Masih suka tampil di cafe?"
Huufffttt! Milly mendesah lega. Nick cukup ramah pada Martin. Salahnya sendiri menerima ajakan makan malam Martin. Padahal mereka baru saja tiba, mereka belum membicarakan apapun.
"Puji Tuhan, masih. Kamu sendiri bagaimana? Kamu masih bekerja di Malaysia?"
"Ya. Aku masih bekerja di Hotel Centaurus, Malaysia." Milly akan mengingat nama hotel itu. "Kebetulan aku sedang mengambil cuti hari ini."
"Oh baguslah. Ayo kita makan malam bersama!" Oh tidak. Seharusnya Martin tidak perlu berkata seperti itu. "Sudah lama sekali kita tidak mengobrol. Bagaimana kabar Rissa?"
Siapa itu Rissa? Milly hanya akan menjadi kambing congek. Tidak masalah asalkan Nick tidak menghakiminya.
"Rissa baik. Dia sedang hamil lagi anak ketiga."
"Wah selamat ya. Tolong sampaikan salamku padanya."
Nick tersenyum, tapi tidak mencapai matanya. "Ngomong-ngomong bagaimana kalian bisa makan malam di sini?"
"Eh..." Mulut Milly tersedat, ia berpikir keras.
Martin menjawab : "Kami sedang membicarakan tentang..."
"Penampilan JazzGuy nanti di pernikahan Darius dan Evina," potong Milly. Ia terlihat gugup dan Nick menyadarinya.
"Oh. Ya itu." Martin membenarkan.
Nick bergumam sambil mengangguk perlahan. Pertanda buruk. Nick kemudian menatap Martin dengan tajam.
"Jadi apakah pembicaraan kalian sudah selesai?" tanya Nick dengan suara yang rendah.
"Apa? Kami baru saja tiba di sini." Martin tampak bingung. Dasar lamban. Seharusnya Martin paham bahwa Nick sedang berusaha mengusirnya.
"Oh jadi apa aku yang mengganggu kalian?" Alis Nick mengangkat sebelah.
"Tidak tidak, Nick." Milly meremas tangan Nick. Lalu menoleh ke Martin. "Martin, sebaiknya kita berbicara lagi nanti saat bersama dengan Darius dan Evina untuk membicarakan tentang harga, pemilihan lagu, dan sebagainya."
"Lho? Kenapa?"
Mereka semua terdiam. Martin menatap Milly dan Nick secara bergantian. Milly bingung harus bagaimana memecah ketegangan di antara mereka.
"Baiklah. Sebaiknya aku pulang," ujar Martin, akhirnya. "Kita bisa mengobrol lain kali, Sobat." Martin berdiri lalu menepuk bahu Nick. "Sampai nanti, Milly."
Milly balas tersenyum lemah. Lalu Martin pergi. Ia sungguh tidak enak pada Martin. Ini semua kesalahannya sendiri.
Apa kubilang! Sang naga kembali menjewer perut bawahnya dengan keras hingga Milly menahan napas.
"Jadi sekarang kamu dengan Martin?"
Tok tok tok! Mohon perhatian! Sidang dimulai! Jantung Milly berdegup kencang, seolah ada tangan besi tak kasatmata yang mencengkeram tangannya menuju ke kursi listrik.
"Apa? Tidak." Milly mengerutkan dahinya.
"Sepertinya dia menyukaimu."
"Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku?" Milly menunduk, menyesal atas perkataannya. Tapi itu benar. Nick bertindak seolah ia adalah suaminya.
"Aku sengaja mengambil cuti hanya agar bisa bertemu denganmu, sementara kamu malah berkencan dengan pria lain."
Ya Tuhan! Ia sungguh akan menghukum dirinya sendiri karena telah memilih keputusan terbodoh dalam hidupnya. Makan malam ini benar-benar bencana.
"Aku tidak berkencan dengan Martin!"
"Lalu apa?" Nick menatapnya dengan galak.
Milly balas menatap Nick. "Kamu tidak mendengarkan penjelasanku tadi malam. Kamu sudah tertidur, ya kan?"
Sang pelayan datang membawa pesanan Milly. Lalu bertanya pada Nick, "Permisi, Pak apakah Bapak pindah tempat duduknya jadi ke sini? Kami akan mengantarkan pesanan Bapak ke sini saja kalau begitu."
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku." Nick menatap Milly, tidak menggubris sang pelayan. Lalu sang pelayan pergi dan tak lama kemudian kembali sambil membawa semangkuk ramen.
Milly mengertakan giginya. "Aku sudah menjelaskannya padamu. Aku tidak berkencan dengan Martin. Kami hanya bertemu untuk membicarakan tentang musik jazz nanti di pernikahan Darius. Kamu sendiri yang memberikan nomor kontak Martin padaku. Kenapa kamu harus marah?"
"Seharusnya kamu bilang dulu padaku kalau kamu mau bertemu dengan Martin."
"Untuk apa? Selama ini aku selalu bertemu dengan klienku atau vendor manapun tanpa harus melapor padamu."
Nick tampak kesal. Ia memandang Milly antara bingung harus membalas apa, tapi juga marah. Lalu ia mendesah.
"Setidaknya kamu mengajak Marshal untuk menemanimu."
"Aku bukan anak kecil lagi, Nick!" Milly membuang muka. Lalu dengan kesal ia memanggil pelayan. "Mbak, minta bonnya!" Nada suaranya terlalu ketus.
Sang pelayan menurut, lalu kembali beberapa saat kemudian sambil membawa map berisi bon. Dengan cepat Milly meraihnya, lalu menjejalkan dua lembar uang seratus ribu.
"Ambil kembaliannya!"
Milly terkejut karena suaranya terdengar begitu galak. Padahal bukan salah sang pelayan jika ia malah bertengkar dengan Nick. Ia berdiri, bergegas untuk pergi dari sana. Tiba-tiba Nick menahan tangannya.
"Jangan pergi!"
Milly menoleh. Nick menatapnya seolah memohon, meskipun masih tersirat amarah di matanya.
"Untuk apa aku masih di sini?"
"Untuk menemaniku makan."
"Aku kehilangan selera makan!"
"Tapi aku lapar. Jangan sia-siakan kedatanganku kemari, Milly. Aku tidak ingin bertengkar denganmu."
"Kamu yang mulai duluan."
"Tapi kamu yang makan malam dengan pria lain di belakangku."
"Aku... aku..."
"Akui saja."
"Itu bukan..." Milly mendengus kesal. "Ya sudah terserah. Jadi aku tidak boleh makan malam dengan pria manapun lagi?"
"Tidak. Kecuali keluargamu sendiri."
"Konyol!"
"Memang. Sebaiknya kamu duduk, temani aku makan. Kalau kamu mau makan juga, itu lebih baik."
Milly kemudian menurut untuk duduk. Wajahnya masih cemberut. Nick menyantap ramennya dengan tangan kanannya, tangan kirinya masih menggenggam tangan Milly.
"Lepaskan!" Milly mengangkat tangannya yang terbelenggu.
"Tidak akan." Nick menurunkan lagi tangannya ke bawah meja.
Milly memelototinya. Nick kemudian menoleh, menatap Milly tanpa dosa. Lalu lanjut menyantap ramennya.
"Aku juga mau makan!" Milly mulai merengek. Sungguh menjijikan. Ia tidak suka merengek seperti itu. Tapi cengkeraman tangan Nick begitu kuat. Seolah Milly bisa kabur kapan saja. Itu memang benar. Jika ada kesempatan, ia akan kabur. Tapi lalu ia akan menyesalinya. Bukannya mendekat pada Nick, memeluknya, lalu menciumnya, malah kabur.
Hilangkan gengsimu! Sang naga menegurnya dengan jewerannya yang melegenda. Milly terkesiap.
Nick memperhatikannya dengan alis mengkerut. "Aku pikir kamu kehilangan selera makanmu."
"Ya sudah, aku tidak perlu makan." Milly menyandarkan kepalanya ke punggung kursi.
Kemudian Nick mencapit sushi dengan sumpit yang baru, mendekatkannya ke mulut Milly. Gengsinya masih bertengger ceria. Milly menutup mulutnya rapat-rapat sambil memutar bola mata.
Nick menatapnya lekat-lekat. Magnet ajaib berhasil menarik Milly hingga ia menoleh. Nick mengangguk mempersilahkannya untuk membuka mulut. Sikapnya melembut. Milly memperhatikan bulu mata Nick yang lebat menghiasi matanya. Alisnya tebal bagaikan semut yang beriringan.
Kesempatan emas disuapi oleh cinta pertama yang bertransformasi menjadi kloningan Harry Styles versi asia, tidak akan pernah datang dua kali.