Setelah memberi penjelasan dengan saksama pada Prisilla kejadian yang sebenarnya, akhirnya Roy menyerahkan ponselnya ke tangan Nick.
"Maafkan aku, Nick," kata Prisilla. "Tolong sampaikan maafku juga pada Milly. Aku... aku tadi menyebutnya jalang."
"Apa?" Sungguh wanita yang mengerikan ketika dilanda kecemburuan.
"Tolong jangan marah padaku. Aku mana tahu kalau itu adalah pacarmu, Nick. Selama ini kamu tidak pernah memiliki pacar. Jadi aku pikir Roy hanya berbohong. Dan ngomong-ngomong dia cantik sekali, Nick." Roy sudah menarik Prisilla dan wanita itu menggeplak tangannya.
"Baiklah. Akan kusampaikan maafmu padanya."
"Sebaiknya kami pulang dulu," ujar Roy. "Ini sudah lewat tengah malam. Sekali lagi maaf ya, Nick. Pakai saja handphone-nya sepuasmu. Kalau butuh alat cas ada di kamarku. Oke? Sampai bertemu besok."
Dan kali ini Roy menarik Prisilla lebih keras hingga pacarnya itu tidak bisa berkutik lagi. Akhirnya kehebohan berlalu. Saatnya menelepon Milly.
"Halo?" jawab Milly hanya dengan satu kali nada sambung.
"Halo, Manis." Nick mendesah lega. Akhirnya Milly mengangkat teleponnya.
"Nick! Ke mana saja kamu?"
"Aku di Malaysia, Mil."
"Apa semuanya baik-baik saja? Maksudku itu temanmu. Aku tidak sengaja melihat mereka sedang..." Milly seolah kehilangan kata-kata.
"Tidak apa-apa, Mil."
"Pacarnya Roy mengamuk. Dia menyangka kalau aku selingkuhannya Roy. Lalu dia menyebutku... jalang." Milly mengecilkan suaranya saat mengatakan jalang. Kalau Prisilla bukan kekasih Roy, sudah pasti ia akan membuat perhitungan dengan Prisil.
"Ya, tadi Prisilla cerita. Dia memintaku untuk menyampaikan maafnya padamu."
"Baiklah. Aku juga minta maaf."
"Sudahlah, Mil. Kamu tidak perlu minta maaf. Sekarang sudah cukup tentang Roy. Bagaimana denganmu? Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku? Hmm... Baik." Milly terdiam selama beberapa detik. Jelas bukan sesuatu yang baik. Nick membuka mulut, tapi kemudian Milly mulai berbicara. "Kamu tidak bilang kalau kamu akan ke Malaysia. Aku kehilangan kontakmu seharian ini. Hanya sebuah pesan singkat nomor kontak Martin tanpa penjelasan apa-apa. Monty menyebutku lesbian. Lalu Marshal mengajakku menonton Habibie Ainun sampai aku menangis dan tidak berhenti sampai filmnya usai." Suara Milly pecah. "Kalau memang menurutmu itu baik. Well, aku memang baik-baik saja."
"Oh, Milly. Kalau kamu ada di sebelahku, aku akan memelukmu."
"Kalau begitu datanglah kemari sekarang juga." Milly terisak.
"Baiklah."
"Benarkah?"
"Kalau itu memang bisa meredakan tangismu, aku akan datang sekarang juga."
"Kamu bohong."
"Tidak. Aku tidak akan membohongimu. Baiklah, mungkin tidak saat ini juga aku bisa ke sana, walaupun sebenarnya jarak tempuh dari Malaysia ke Batam hanya kurang dari dua jam dan aku harus mencari jadwal penerbangan tercepat. Paling cepat, besok mungkin kita akan bisa makan siang bersama."
"No. You don't have to do it. I'm just fine. Aku bukan tipe wanita yang seperti itu. No." Terdengar suara Milly sedang menyedot ingus.
"Benarkah? Jadi siapa itu Monty dan Marshal?"
"Mereka adalah adik dan kakaku." Suara Milly masih bergetar.
"Oh. Aku tidak tahu kalau kamu punya banyak saudara."
"Aku empat bersaudara. Marshal, Melanie, aku, lalu Montgomery."
Pasti yang bernama Montgomery itu adalah Monty. Nama yang aneh, pikir Nick. Aneh menurutnya, tapi tidak bagi keturunan Inggris. Nick jadi penasaran seperti apa rupa kedua kakak dan adik Milly.
"Suatu hari nanti kamu harus mengenalkanku pada mereka."
"Oke." Milly cegukan.
"Air matamu masih belum berhenti?" Hening. Yang ada hanya suara isakan yang tertahan. "Apa yang membuatmu sedih, Manis?"
"Itu... film-nya..."
Nick tertawa. "Ya sudah, salahkan saja film-nya. Mereka memang kejam dan menyebalkan." Milly ikut tertawa. Nick merindukan tawanya.
"Milly, apa kamu merindukanku? Karena aku sangat merindukanmu."
"I miss you too, Nick. Aku pikir kamu telah melupakanku. Kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal."
"Haruskah aku bilang selamat tinggal? Aku tidak ingin berpisah denganmu."
"Lalu kenapa kamu pergi?"
Nick terkekeh. "Oh, Milly, kamu sangat menggemaskan. Kita lihat nanti ya. Kalau memungkinkan, aku akan segera mengambil cuti lagi."
"No!"
"Aku pikir kamu merindukanku."
"Ya. Ya! Aku merindukanmu. Tapi aku tidak ingin... mengganggu pekerjaanmu. Maafkan aku. Aku kekanakan. Aku sudah tidak menangis lagi. Aku... aku terlalu senang mendengar suaramu."
Lalu terdengar suara seorang pria. "I can hear you." Lalu Milly mendesis.
"Siapa itu? Kamu ada di mana?"
"Aku sedang dalam perjalanan pulang. Tadi itu Marshal. Hanya dia pilihan terakhirku untuk menemaniku malam ini."
"Nice. Ingatkan aku untuk menolak ajakanmu lain kali karena menjadikanku pilihan terakhir," kata Marshal.
Nick tertawa. "Kamu kan bisa menonton dengan Ika."
"Dia sedang bersama dengan Wage."
"Baiklah. Kamu tahu, aku cemburu sekali pada kakakmu. Seandainya saja aku bisa menonton ke bioskop denganmu."
"Jangan bicara seperti itu, Nick."
Tanpa sengaja Nick menguap. Ia lelah sekali. "Memangnya kenapa?"
"Kamu sudah mengantuk ya."
"Ya. Kamu tidak mengantuk, Mil? Apa kamu sudah sampai rumah?"
"Sebentar lagi."
"Oke."
"Ngomong-ngomong jam berapa sekarang di Malaysia?"
"Beda satu jam dengan Batam. Sekarang sudah setengah satu."
"Oh ya ampun. Kamu harus tidur sekarang. Besok kamu bekerja?"
"Ya. Aku besok masuk siang. Jadi tidak masalah."
"Ya sudah."
Nick menguap lagi, kali ini suaranya lebih keras. "Baiklah. Sampai bertemu lagi, Milly. Goodnight."
"Goodnight, Nick."
"Mimpi yang indah ya, Manis."
"Kamu selalu menyebutku Manis."
"Apa kamu tidak suka?"
"Bukan. Hanya saja, kamu nyaris membuatku percaya kalau aku adalah pacarmu."
Milly yang cantik dan sangat menggemaskan. Ingin sekali Nick mencubit hidungnya sampai merah, lalu mencium bibirnya sampai bengkak.
"Sebuah lagu tidak cukup bagimu, ya? Baiklah. Aku memang harus menyusun ulang jadwalku selama sepekan."
"Apa maksudmu?"
"Kamu tidak mempercayai apa yang sudah kulakukan padamu? Aku tidak pernah mencium sembarangan wanita dan kali itu aku serius melakukannya. Dan bagaimana denganmu sendiri?"
"Aaaku..."
"Apa kamu menyukaiku? Jika tidak berarti cintaku hanya bertepuk sebelah tangan."
"Nick..."
"Sudah sampai. Ayo masuklah ke dalam. Aku tidak ingin mendengar pembicaraan kalian lagi." Itu pasti Marshal.
"Thanks, Marshal." Lalu terdengar suara pintu mobil ditutup. "Sebentar. Aku buka pintu dulu ya."
Setelah hampir semenit berlalu. "Nick? Kamu masih di sana?"
Nick sudah terlelap. Matanya lengket sekali. "Ya," jawab Nick parau.
"Aku sudah di kamarku. Ngomong-ngomong terima kasih karena sudah menggendongku hingga ke kamarku dan membereskan kamarku. Itu kamu kan? Aku tidak berpikir yang lain lagi. Lagipula tidak ada siapa-siapa lagi di rumahku. Oh iya, juga untuk bunganya. Warna kuning adalah kesukaanku. Aku sangat sangat menyukainya."
"Oke. Tidak masalah."
"Nick?"
Nick bergumam. "Hmm?"
"Tahukah kamu kalau... sebenarnya... Nick... Um..." Milly menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Sebenarnya aku sudah..."
***
Nick gelisah, ke kiri, ke kanan. Lalu ia terbangun, buru-buru ke toilet. Setelah buang air kecil, kemudian Nick melepaskan pakaiannya dan mandi. Sekarang sudah pukul tujuh pagi. Ia terlambat bangun. Biasanya ia sudah bangun pukul lima.
Sepertinya nikmat jika sarapan nasi goreng sosis. Nick mengambil sosis dari kulkas. Kemudian ia mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak.
Ia sarapan dengan cepat. Selesai sarapan, Nick membereskan kasurnya. Ketika ia menarik selimut, ponsel Roy mengguling. Oh, ia ketiduran semalam saat menelepon Milly. Ia harus segera mengembalikan ponsel Roy.
Nick berpikir apakah ia perlu membeli ponsel yang baru? Jika tidak, ia akan sulit sekali menghubungi Milly. Tapi ia berencana akan pulang ke Batam besok.
Jadi Nick memesan tiket pesawat melalui aplikasi di ponsel Roy. Ia bisa mengambil ponselnya sendiri di rumah. Ia akan membuat kejutan untuk Milly. Jadwalnya hari Selasa adalah masuk pagi. Tidak masalah. Semoga Selasa tidak terlalu sibuk. Ada Roy yang menangani semuanya.
Nick mengetuk pintu kamar Roy tiga kali. Tidak ada suara. "Roy! Roy!" Pasti temannya itu masih tidur. Nick mengetuk lagi sambil memanggil. Masih juga tidak ada jawaban.
Ini memang tidak sopan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ia memutar kenop pintu. Klik. Pintu terbuka. Bahaya sekali. Roy tidak mengunci kamar apartemennya. Siapa saja bisa masuk.
"Roy! Ini aku, Nick! Kamu sudah bangun?"
Kamar apartemen itu tampak sepi sekali. Apa jangan-jangan Roy sudah pergi ke hotel dan lupa untuk mengunci kamarnya sendiri?
Nick memeriksa ke kamarnya. "Roy?" Kemudian menyesalinya. Roy terbangun dari kasurnya tiba-tiba, tanpa mengenakan apa pun. Di sebelahnya ada Prisilla yang ikut terbangun dan juga telanjang, tanpa sehelai benang pun. Wanita itu terkesiap, mulutnya menganga.