Chereads / Milly's First Love / Chapter 17 - 17. Menelepon Kakak Tiri

Chapter 17 - 17. Menelepon Kakak Tiri

Nyaris saja Nicholas tertinggal pesawat. Ia mengebut sepanjang jalan dengan mobil ayahnya. Ia membawa serta ayahnya ke bandara agar mobilnya bisa langsung dibawa pulang. Kalau saja ia bisa membawa motornya sendiri, kemudian melipat motor itu ke dalam kopernya, pasti ia akan lebih cepat.

Salah satu kebodohannya adalah tidak membereskan kopernya lebih awal. Sebenarnya ia tidak perlu membawa banyak pakaian. Barang-barangnya di apartemen di Malaysia sudah lebih dari cukup. Ia hanya membawa beberapa potong kemeja baru dari ibunya dan celana jeans. Tapi hal-hal kecil seperti peralatan mandi dan bercukur, obat-obatan, cemilan, dan headset, seringkali ada saja yang tertinggal.

Dan hal yang paling hakiki dan terpenting pada zaman sekarang adalah ponsel. Alat casnya dibawa, tapi ponselnya tertinggal. Luar biasa.

Mungkin di Malaysia, ia tidak begitu perlu menghubungi siapa-siapa, masih ada telepon hotel, disambungkan melalui interkom. Tapi bagaimana ia bisa menghubungi keluarganya di Batam? Mengubungi Milly?

Duduknya sama sekali tidak santai di pesawat. Ia gelisah terus sepanjang perjalanan. Beruntung hanya sebentar saja, ia sudah tiba di Malaysia. Sesampainya di apartemen, Nick hanya menyimpan kopernya saja dan langsung pergi untuk bekerja.

Hotel Centaurus terletak tidak jauh dari apartemennya. Nick hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Dengan cepat ia berjalan melalui pintu belakang khusus karyawan dan kemudian memasuki area kekuasannya : dapur.

Beberapa anak buahnya menyapanya, mengangguk memberi hormat. Topi kokinya agak kusut sedikit, tidak masalah. Ia berjalan terus dan akhirnya berhenti di depan meja persiapan, menatap catatan yang tertera di papan tulis putih.

Menu spesial hari ini : Black Angus Beef, Creamy Seafood Penne, dan Salmon Wellington. Semua bahan sudah siap. Saatnya bekerja.

Dapur begitu sibuk sekali siang itu. Anak buahnya terus bergerak tiada henti. Di bagian pemanggangan, steak berjajar, mengantri untuk dibumbui dan dibakar bolak balik. Sementara tangan satunya lagi dengan mahir menggoyang-goyang panci, sayur-sayuran melompat-lompat di atasnya, api menguar sampai ke atas.

Kertas-kertas pesanan berjajar, dijepit oleh penjepit kertas seperti jemuran. Kentang goreng menggolak di dalam minyak panas. Panci sup penuh dengan creamy soup yang kental dan gurih, buih-buih kecil meletup-letup.

Aroma gurih dan bakaran memenuhi udara. Nick memasak Creamy Seafood Penne. Total semuanya delapan belas porsi. Piring-piring berjejer di meja. Rekannya bertugas menata masakan di piring.

Ia juga harus berkeliling untuk mengecek rasa. Soup, aman. Pasta, aman. Steak, sempurna. Saus, pas. Baiklah. Sejauh ini dapur aman terkendali.

Akhirnya tiba waktunya untuk istirahat. Dengan cepat ia berjalan menuju kantornya, lalu menelepon ke rumahnya. Terdengar nada sambung. Lalu seseorang mengangkatnya.

"Halo, Ma. Ponselku tertinggal," kata Nick sebelum mendengar jawaban ibunya terlebih dahulu.

"Nicky?"

Itu bukan suara ibunya.

"Halo. Mana Mama?"

"Mama sedang pergi ke supermarket," jawab Rissa. "Kenapa ponsel kamu bisa tertinggal? Dasar ceroboh!"

Nick menelan ludah. Sudah lama sekali ia tidak berbicara dengan kakak tirinya.

"Mama kapan pulang?"

"Masih lama. Mama dan Papa baru saja pergi lima menit sebelum kamu telepon. Jadi mungkin mereka baru kembali sekitar satu sampai dua jam lagi."

Oh tidak. Lama sekali. Saat ini ia harus menelepon Milly. Ia tidak hafal nomor teleponnya. Tapi ia tidak ingin meminta bantuan Rissa.

"Ya sudah. Kalau Mama sudah pulang, nanti beritahu agar langsung meneleponku ke hotel."

"Oke."

Hening. Nick tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia meminta tolong pada Rissa?

"Nick..."

"Hmm?"

"Aku mau memberitahumu sesuatu."

Jantung Nick berdegup kencang. Entah apa yang akan Rissa katakan. Ia harus mendapatkan nomor telepon Milly sekarang juga.

"Oh ya, Rissa. Tolong ambilkan ponselku. Ada di nakas sebelah kasur."

"Hah? Oh baiklah. Tunggu sebentar."

Setelah tiga puluh detik yang lama sekali, Rissa kembali. "Halo. Ini sudah. Apa yang harus kulakukan? Ponselmu mati."

"Tolong nyalakan."

"Oke." Terdengar suara getaran ponsel. "Nick, alat casnya ada tidak? Ponselmu habis baterai."

"Alat casnya ada di sini."

"Ah dasar bodoh. Casnya dibawa tapi ponselnya tidak."

"Hmm." Rissa menyebutnya bodoh. Astaga. Kasar sekali. "Sekarang tolong klik contact."

"Password-nya apa?"

Oh tidak. Ia belum mengganti passwordnya. Aduh. Ya sudah. Mau bagaimana lagi.

"100787." Nick menyebutkannya dengan cepat.

"Tunggu sebentar. Satu kosong kosong berapa?"

"Tujuh delapan tujuh."

"Tujuh delapan tujuh? Loh ini kan tanggal ulang tahunku. Sepuluh Juli."

"Tentu saja bukan," sergah Nick. Padahal ia tidak perlu melakukannya karena itu memang benar tanggal ulang tahunnya Rissa.

"Iya benar! Itu tanggal ulang tahunku. Eh, Nick ada Whatsapp dari Millicent Jones. Siapa itu Millicent? Dan ada beberapa panggilan tak terjawab."

Oh tidak! Gawat jika Rissa sampai membaca pesannya. Tapi ia pensaran dengan isinya. Memangnya kenapa jika Rissa mengetahui isi pesannya? Bukankah bagus jika kakak tirinya itu tahu bahwa ia telah memiliki seorang kekasih?

"Oh iya. Milly adalah pacarku."

"Hah? Kamu serius? Apa kamu mau aku bacakan isi pesannya?"

"Ya. Boleh."

"Hai, Nick! Apa kabar? Apa kamu sibuk hari ini? Kamu belum mengirimkan nomor telepon temanmu yang pemain band jazz itu. Bagaimana kalau kamu menemaniku ke sana?"

Rasanya aneh mendengar Rissa membacakan pesan dari Milly. Suara mereka jelas-jelas berbeda. Suara Milly lebih dalam dan tebal. Sedangkan suara Rissa lebih tinggi dan merdu.

"Tunggu dulu sebentar. Kalau yang namanya Milly ini memang pacarmu, lalu kenapa dia tidak tahu kalau kamu sedang di Malaysia? Kamu bohong ya?"

"Apa? Tidak! Aku tidak berbohong. Aku dan Milly memang berpacaran."

"Oh aku tahu. Milly pasti vokalis barunya Martin."

"Bukan! Sekarang sebaiknya kamu tidak usah banyak bicara, tolong berikan nomor telepon Milly dan Martin. Aku harus menghubungi Milly sekarang."

"Kamu tidak hafal dengan nomor telepon pacarmu sendiri?"

"Rissa. Ayolah. Aku sedang tidak ingin bermain-main. Telepon internasional itu tidak murah." Nick meremas gagang telepon hingga ia merasa akan meremukannya.

"Ya aku tahu. Makanya sebaiknya kamu menceritakan yang sejujurnya padaku."

Rissa memang keras kepala. Entah bagaimana caranya Rissa bisa membuat Charlos menceritakan tentang mantannya sebelum mereka benar-benar berpacaran. Konon kabar tersebut benar-benar ditutup rapat dan hanya yang bersangkutan saja yang mengetahuinya.

"Untuk apa aku harus cerita?"

"Karena kamu adalah adikku dan... kalau tidak, kamu tidak akan mendapatkan nomor Milly."

Oh jadi sekarang Rissa mengancamnya. Nick mendengus kesal.

"Aku harus memberikan nomor Martin padanya. Kalau kamu tidak segera memberikan nomor Milly, aku benar-benar akan marah padamu."

"Tenang saja, aku sudah mengirimkan nomor Martin melalui Whatsapp-mu."

"Apa?"

"Ya sudah. Urusanmu sudah selesai kan."

"Tapi aku masih harus meneleponnya, Carissa!" geram Nick.

"Untuk apa? Memangnya..."

"Milly adalah pacarku!" tukas Nick agak keras. "Kami baru saja jadian. Dan aku harus mengabarinya secepatnya. Sebenarnya aku sudah memberitahunya bahwa aku harus bekerja hari ini. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya. Ah! Sudahlah! Ceritanya panjang. Kamu mau memberikan nomor Milly atau tidak?"

"Jadi kamu memang benar-benar sudah memiliki pacar?"

"Rissa!" bentak Nick.

"Baiklah." Rissa lalu menyebutkan nomor Milly. Semoga saja Rissa tidak bercanda dengan memberikan nomor yang salah. "Kamu juga harus menyimpan nomor ponselku. Siapa tahu kamu perlu bantuan." Dan Rissa juga menyebutkan nomor ponselnya. Nick menurut untuk mencatatnya, merobek kertasnya menjadi dua, dan memasukan nomor Rissa ke dalam dompet.

"Trims." Nick hendak menutup telepon. Tapi Rissa memanggilnya.

"Nick, aku hamil lagi. Ini yang ketiga kalinya."