Sudah lebih dari setengah jam, Milly terjebak di tengah-tengah kemacetan. Berkali-kali ia melirik jam tangannya dan juga jam di dasbor, seolah-olah jam yang berbeda akan menunjukkan angka yang berbeda. Dan tentu saja itu tidak membuat banyak perubahan. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain turun dari mobil kemudian berjalan kaki menuju sekolah.
Milly nyaris terlambat. Ririn pasti akan marah kalau sampai semua temannya sudah dijemput, sedangkan ia yang paling terakhir. Anak itu memang sedikit pemarah. Bagaimana tidak, semua yang diinginkannya pasti selalu dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Milly berpikir, sudah saatnya Melanie, kakaknya, memikirkan untuk memiliki anak kedua. Seandainya Ririn punya adik, mungkin sikapnya yang menyebalkan akan berubah.
Milly menyunggingkan senyumnya. Semenyebalkan apapun Ririn, tetaplah anak itu adalah keponakan kesayangannya. Mereka begitu dekat hingga terkadang Milly merasa bahwa anak itu mulai kehilangan sopan santunnya.
Misalnya, Ririn tidak akan mengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya dan kemudian menyelinap ke kamar mandi, memergoki Milly yang sedang mandi, lalu menggerecokinya tentang film Little Ponny yang harus ditontonnya sekarang juga. Atau biasanya anak itu akan merengek-rengek meminta password ponselnya agar ia bisa menonton Youtube. Melanie tidak pernah mengijinkan Ririn untuk menonton Youtube di hari biasa. Jadi Milly menurut peraturan Melanie.
Akhirnya perlahan-lahan kendaraan di depan Milly mulai bergerak. Saat ia berjalan sekitar seratus meter, dilihatnya rombongan pawai Sisingaan lengkap dengan stereo musik dangdut dan iring-iringan para warga yang turut menari girang melalui jalan di sebelah kanannya. Sisingaan itu mungkin ada sekitar sepuluh buah, ditandu oleh para pria. Di atasnya duduk anak laki-laki yang akan dikhitan.
Syukurlah. Akhirnya Milly bisa lewat juga. Ia menancapkan gas. Jalanan semakin lengang. Ia tiba di sekolah pada pukul dua siang. Parkiran mobil sudah sepi. Ia benar-benar terlambat.
Milly masuk ke dalam sekolah sambil berlari. Ia mencari Ririn ke kantin. Milly berhenti berlari, mengatur napasnya, kemudian berjalan santai menuju ke kursi. Ririn sedang serius membaca buku bersampul koran. Sekotak susu di tangan satunya dengan sedotan yang tertancap.
"Serius amat bacanya. Baca apaan sih?" sapa Milly.
"Onty!" Ririn menurunkan buku dari wajahnya, ia tampak terkejut. Buru-buru ia memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Susunya telah habis. Ririn berdiri kemudian melemparnya ke tong sampah. "Kenapa sih lama banget? Hari ini kan aku pulang jam sebelas." Ririn memasang wajah cemberut.
Inilah wajah yang Milly kenal. Terlambat lima menit saja maka Ririn akan memberengut kemudian membanting pintu mobil dengan keras. Milly menunggu Ririn berteriak-teriak, tapi tidak. Anak itu berjalan mendahului Milly menuju ke parkiran dalam diam.
Ekspresi terkejutnya tadi saat memasukkan buku ke dalam tas membuat Milly curiga. Anak itu biasanya tidak pernah menyembunyikan apapun darinya. Entah bila pada ibunya sendiri.
Milly tahu siapa sahabat terbaiknya, apa makanan kesukaannya, apa film favoritnya, dan siapa laki-laki tertampan di kelasnya. Demi Tuhan, Ririn baru saja kelas empat SD.
"Aku lapar!" bentak Ririn saat sudah di dalam mobil.
"Maaf. Tadi aku habis bertemu klien. Mamamu baru bilang kalau kamu pulang lebih cepat setelah aku sudah mulai rapat. Aku tidak mungkin menghentikan rapat itu tiba-tiba."
"Dasar Onty payah."
"Jangan bilang begitu. Aku benar-benar minta maaf. Oke?"
"Aku mau makan!" Ririn memasang wajah segalak mungkin sambil membelalakan matanya yang memang sudah sangat besar.
"Baiklah. Kamu mau makan apa?"
"Aku mau kebab, bibimbab, donat, es krim wafer, dan es sarang burung."
Milly tergelak. "Banyak amat? Aku pikir susunya bikin kenyang. Itu susu full krim kan? Kamu tidak takut gendut?"
"Memangnya susu full krim bikin gendut?"
"Bukan hanya susunya saja yang bikin gendut. Donat, es krim, wafer, ya itu itu semuanya bikin gendut."
Ririn mengerutkan dahinya, seolah berpikir keras tentang sesuatu. Wajahnya begitu mirip dengan ayahnya, meskipun masih menyisakan rambut kecoklatan dan mata hitam kehijauan seperti ibunya.
"Kamu tidak mau kelihatan gendut di depan Devan kan?"
"Jadi aku makan apa dong?"
Milly kembali tergelak. Anak SD itu telah berhasil ia doktrin. Padahal anak sebesar itu masih dalam masa pertumbuhan dan tidak akan gemuk seketika hanya dengan makan siang yang banyak.
"Mungkin kamu harus makan salad."
"Maksud Onty sayur?"
"Ya semacam itu lah."
Ririn meringis. Wajahnya tampak pucat. Milly tahu kalau keponakannya itu pasti benar-benar kelaparan hingga memikirkan begitu banyak macam makanan. Sekotak susu sama sekali tidak mengenyangkan.
"Sudahlah. Tidak perlu dipikirkan. Mungkin donat, kebab, es krim wafernya bisa kita hilangkan. Bagaimana kalau sekarang kita makan di Daebak Resto?"
Wajah Ririn berubah sumringah. "Baiklah. Ayo Onty menyetirnya yang cepat! Aku sudah lapar sekali."
Jadi Milly menyetir mobilnya menuju ke restoran Korea. Ririn sangat suka makan bibimbab.
"Sekarang apa kamu mau cerita, buku apa yang tadi kamu baca? Kenapa dibungkus pakai koran?"
Tentu saja agar ia tidak mengetahui judul bukunya. Milly menunggunya untuk menjawab, ketika tiba-tiba sebuah motor datang dari sebelah kanan, kemudian seolah hilang kendali, motor itu menabrak pintu depan, tepat di sebelah kanan tubuh Milly.
Ririn menjerit sekencang-kencangnya. Milly membanting setir ke kiri. Terlambat. Mobilnya terlanjur tertabrak motor itu dan kemudian moncong mobilnya mengenai pagar pembatas jalan. Ia mendengar suara pecahan kaca. Spionnya kirinya menekuk ke dalam dan tampak seperti hendak lepas.
Mesin mobil mati. Sekujur tubuh Milly gemetaran. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak sanggup berkata-kata. Ia bisa merasakan wajahnya berubah dingin. Ririn tampak syok. Wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Air mata mengalir, membanjiri pipinya.
Perlahan Milly melepaskan sabuk pengaman kemudian membuka pintu. Sesuatu tersangkut. Motor. Ia mendorong pintu mobilnya lebih keras. Berhasil. Motor itu bergeser. Susah payah Milly turun dari mobil.
Seorang pria dengan helm full face hitam tergeletak di sebelah motornya. Sepertinya pria itu pingsan. Milly berjongkok untuk memeriksanya. Dilihat dari dadanya yang naik turun, Milly yakin bahwa pria itu masih hidup. Beberapa orang mendekat kemudian ikut membantu pria itu untuk dipindahkan ke kursi halte bus yang tidak jauh dari sana.
Motornya dipindahkan ke sisi jalan. Milly mengamati pintu mobilnya yang menjorok ke dalam akibat benturan keras dari motor.
Ririn turun dari mobil. Ia menggenggam lengan Milly rapat-rapat. Ia benar-benar tampak ketakutan. Air mata masih membanjiri wajahnya. Sesekali ia cegukan.
Ririn ingin sekali melihat wajah pria itu. Tapi terlalu banyak orang yang mengerumuninya.
Tak lama kemudian polisi datang. Truk derek mengangkut mobil Milly. Pria itu telah dibawa ke rumah sakit terdekat. Milly ikut mengantarnya dengan menggunakan mobil polisi.
Beruntung banyak saksi. Milly hanya diperiksa SIM dan STNK nya saja. Ia sama sekali tidak bersalah.
Makan siang di restoran Korea batal. Milly membelikan Ririn nasi dan ayam krispi di kantin rumah sakit. Anak itu makan sedikit, sama sekali telah kehilangan selera makannya.
"Maafkan aku, Onty. Seharusnya aku tidak meminta Onty untuk ngebut," ujar Ririn.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Lagipula aku tidak ngebut, Rin. Orang itu yang ngebut dan menabrak mobilku."
Entah apapun yang Milly katakan untuk menenangkan Ririn, tidak juga membuat anak itu tenang. Ririn murung terus dan menyalahkan dirinya sendiri, lalu mengumpat betapa hari ini adalah hari yang sial baginya. Sial karena telat dijemput pulang sekolah, sial karena ia tidak jadi makan bibimbab, sial terlebih karena ia mengalami kecelakaan bersama bibinya yang menyebalkan.
Milly menanyakan kabar pria yang telah menabraknya. Menurut dokter, pria itu hanya lecet sedikit dan terdapat luka memar di dada dan perutnya. Pria itu telah sadar. Jadi Milly menjenguknya di IGD.
Ia mengamati wajah pria itu. Mata kiri dan dahinya memar. Rambutnya tampak lusuh. Jaketnya telah dilepas. Tubuhnya tampak atletis. Milly semakin mendekat. Rasanya wajah itu tidak asing lagi. Seseorang yang pernah Milly kenal, tapi dengan rupa yang benar-benar berbeda. Mungkin itu hanya sekelebat pikirannya yang liar, tiba-tiba mengenang akan seseorang itu.
Ingin sekali Milly menampar wajahnya. Untuk apa ia mengingat-ingat pria itu? Benar-benar perbuatan yang sia-sia. Tapi otaknya protes keras karena apa yang dilihatnya sama sekali bukan khayalan atau kenangan, tapi merupakan sebuah kenyataan. Kenyataan yang terlalu sulit untuk diterima oleh dirinya.
Pria itu... pria yang sama yang telah mencuri hatinya belasan tahun yang lalu, ketika pertama kalinya dalam hidupnya ia mengenal apa yang dimaksud dengan jatuh cinta.
Betapa lututnya goyah saat melihat pria itu berjalan bersama teman-temannya, lalu tersenyum ramah padanya, mungkin padanya, entahlah, bisa saja bukan padanya. Betapa perutnya mulas tidak karuan saat pria itu duduk di sebelahnya waktu makan siang di kantin. Betapa pria itu tampak sangat keren saat menjadi pemimpin upacara di sekolah. Suaranya yang dalam dan lantang mampu menggetarkan hati Milly.
Waktu itu Milly begitu polos mempercayai bahwa cinta pertama itu benar adanya dan berharap bahwa itu menjadi yang terakhir selamanya dalam hidupnya. Memang benar itu adalah yang terakhir dan sudah berakhir selamanya. Berakhir setelah Milly patah hati dan mengalami serangan jantung berkepanjangan ketika mengetahui bahwa pria itu ternyata menyukai wanita lain.
Kenangan itu benar-benar menyakitkan. Milly tidak sedang ingin bersedih hati saat ini. Mungkin sebaiknya ia mulai menyadari akan kenyataan yang dialaminya saat ini, bahwa ia telah ditabrak oleh cinta pertamanya. Ditabrak sampai mobilnya penyok. Berengsek.
Apa yang terjadi pada pria itu? Bobot tubuhnya berkurang sangat banyak. Pria itu tampak sepuluh... dua puluh... seratus kali... lebih tampan daripada pertama kali Milly mengenalnya. Oh tidak. Jangan mulai lagi. Milly bersumpah bahwa ia tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Tidak akan pernah. Apalagi dengan pria yang sama.
Milly harus menyadarkan dirinya bahwa si pria tampan itu saat ini sedang babak belur akibat kecelakaan yang disebabkan dirinya sendiri. Tidak ada dari segi manapun yang bisa dikategorikan tampan. Kecuali tubuhnya yang atletis. Sialan. Status korban seharusnya milik Milly, bukan pria itu. Meskipun saat ini Milly sehat dan baik-baik saja tanpa cela sedikitpun.
Ah, ia memang selalu menjadi korban. Contohnya : korban kebodohan diri sendiri karena jatuh cinta pada pria yang tidak tepat dan kemudian tidak pernah bisa move on hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi perawan seumur hidupnya. Super bodoh.
"Nick?" bisik Milly lirih.