"Yes. Can I help you, Miss?" jawab Nicholas tampak bingung sambil duduk di ranjangnya.
Sama sekali bukan jawaban yang diharapkan Milly. Ya ampun, memangnya apa yang ia harapkan dari pria itu? Mungkin saja Nick akan berkata : Hai Milly! Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar? Maaf karena aku telah menabrak mobilmu.
Milly mendengus dalam hati. Jelas-jelas pria itu tidak mengingatnya. Nicholas yang ada di hadapannya melihat Milly seperti orang lain. Sama seperti orang lain yang menyangka bahwa ia adalah turis asing. Ia sudah terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan bahasa Inggris mereka dengan bahasa Indonesia. Demi Tuhan ia lahir dan besar di tanah Indonesia. Kewarganegaraannya adalah Indonesia.
Untuk pertama kalinya ia benci terlahir dengan rambut pirang kecoklatan, hidung kelewat mancung, dan mata yang berwarna hijau.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Milly mencoba untuk tenang dan tidak mendengus keras-keras.
"Oh. Kamu bisa ngomong bahasa Indonesia?" Nick tampak mendesah lega.
Pertanyaan dijawab pertanyaan. Milly mulai mempertanyakan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia begitu jatuh cinta dan agak fanatik dengan pria menyebalkan di hadapannya ini? Tentu saja itu duluuuu sekali. Saat ia menganggap betapa indahnya matahari yang bersinar di pagi hari dan pohon-pohon rindang bergoyang-goyang tertiup angin.
Sekarang ini rasanya hujan badai sedang berkecamuk di dadanya.
Milly menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Ya, aku bisa bahasa Indonesia karena aku memang orang Indonesia."
Nick hendak membuka mulut untuk menjawab, tapi Milly mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Jadi bagaimana pertanggungjawabanmu mengenai mobilku?" tanya Milly dengan tegas.
Nick tampak gelagapan. "Apa? Tanggung jawab?"
"Ya tentu saja. Kamu sudah menabrak mobilku."
Nick menaruh sebelah tangannya di keningnya yang memar. Lalu mengusap matanya.
"Aku sungguh minta maaf atas kecelakaan itu. Remku blong."
"Aku tidak meminta permintaan maafmu. Aku ingin kamu tanggung jawab atas kerusakan mobilku."
"Ya ampun." Nick menyibakkan rambutnya ke belakang. "Aku benar-benar tidak ingat apa-apa. Memangnya bagaimana keadaan mobilmu sekarang?"
Milly memutar bola matanya. Tentu saja saat kejadian itu, Nick langsung pingsan.
"Lalu bagaimana dengan motorku? Di mana motorku sekarang?" Terselip nada panik dalam suaranya.
"Motormu aman. Kalau kamu butuh kunci motor, SIM, STNK, semuanya ada di polisi."
"Apa? Polisi?"
"Kamu dengar apa yang baru saja aku bilang. Aku mau kamu ganti rugi atas kerusakan mobilku."
Milly bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil menjaga suaranya tetap tenang dan berwibawa, meskipun kewarasannya nyaris berkurang banyak.
Nick mengangguk perlahan. "Tentu saja. Berikan nomor telepon dan nomor rekeningmu. Sebutkan saja berapa jumlahnya. Tapi tolong jangan dilebih-lebihkan."
Milly mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Kamu tahu, dalam kasus seperti ini akan ada banyak sekali orang yang mengambil keuntungan dariku. Aku tidak mau itu sampai terjadi."
Astaga. Cukup sudah Milly mempertahankan sopan santunnya. Ia melangkah maju.
"Dengar ya!" Telunjuk Milly teracung dan ia memasang wajah segalak mungkin. "Dalam kasus seperti ini jelas-jelas aku yang paling dirugikan! Aku tidak pernah memintamu untuk menabrakku! Jadi sebaiknya berhenti bersikap arogan dan bayar semua kerugianku! Semuanya!"
Semuanya dalam arti metafora. Kerugian mobilnya yang hancur dan... hatinya yang terluka, kalau memang persoalan hati bisa dituntut.
"Arogan? Aku tidak pernah bersikap seperti itu. Bukankah sudah jelas tadi aku bilang? Aku akan mengganti kerusakan mobilmu. Kalau tidak untuk apa aku meminta nomor telepon dan rekeningmu, Manis?"
Jantung Milly berdebar kencang. Manis? Untuk apa Nicholas merayunya? Saat ini bahkan Nick sedang menatapnya dalam-dalam. Milly hanya bisa menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri akibat gempa hebat yang dirasakan hatinya yang telah terpenjara lama sekali.
"Berikan ponselmu!" Milly mengulurkan tangannya.
Nick mencari-cari di nakas, lalu di ranjang dan tidak menemukan apa-apa.
"Di mana ponselku?"
Milly kemudian membuka laci di nakas dan mengeluarkan ponsel serta dompetnya. Nick menyunggingkan senyum separonya. Dan memang seindah yang Milly ingat. Senyum manis itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Meskipun sekarang pipi tembamnya hilang sepenuhnya, digantikan rahang yang kuat dan tulang pipi yang tinggi.
"Bukannya kamu meminta ponselku? Untuk apa kamu menyerahkannya padaku?"
Milly menarik kembali ponsel Nick dengan gugup. Sialan. Ketenangnya runtuh seketika saat Nick menebar senyumnya. Dan itu sangat bodoh karena ponselnya disetel kata kunci.
"Apa passwordnya?" Milly menunjukkan layar ponsel yang terkunci.
Nick kembali tersenyum. Ia meraih ponselnya dari tangan Milly. Ujung jarinya menyentuh sedikit tangannya. Aliran listrik menyengatnya seketika.
Setelah membuka layar ponselnya, Nick menyerahkan kembali ponselnya ke tangan Milly. Dengan cepat Milly menyimpan nomor ponsel dan rekeningnya di daftar telepon. Ia menekan tombol panggilan. Ponselnya berdering sekali. Sudah masuk. Sekarang ia punya nomor ponsel Nicholas.
"Aku sudah memasukkan nomor telepon dan rekeningku." Milly mengembalikan ponsel Nick.
"Apa yang kamu ketik di ponselku?" tanya Nick polos.
"Nomor ponsel dan rekeningku. Apa kamu tidak mengerti?" Milly mengerutkan dahinya.
"Maaf. Maksudku namamu. Kamu menyimpan nomor ponselmu dengan nama apa?" Nick masih tersenyum manis.
Astaga. Nicholas menanyakan namanya. Pria ini memang sama sekali tidak mengingat namanya.
"Millicent Jones."
Senyum Nick perlahan surut di wajahnya. Ia memandang Milly dengan tatapan tidak percaya. Seolah Milly adalah makhluk astral.
"Milly?"
Akhirnya. Dasar lamban, umpat Milly dalam hati.
"Ya."
"Bule Jones?" Nick menyebut kata Jones dengan ejaan bahasa Indonesia. Jo-Nes. Bukan dalam bahasa Inggris.
Berengsek. Milly sangat membenci panggilan itu. Bule bule bule. Ia tidak setua itu untuk dipanggil bule. Demi Tuhan tidak ada pakle. Dan Jones yang dimaksud adalah : Jomlo Ngenes. Kutukan itu benar-benar berlaku bagi Milly. Tiga puluh dua tahun menjomlo. Bukan waktu yang sebentar. Ia bisa menyandang gelar legend untuk itu.
Nick memperhatikannya dari atas sampai bawah seolah takjub.
"Kamu benar-benar berubah. Aku sampai tidak mengenalimu. Kamu terlihat sangat..." Nick terdiam sejenak. "...cantik sekali," sambung Nick.
Milly akan menghukum dirinya sendiri karena menunjukkan wajah tersipu. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya ada pria yang menyebutnya cantik. Dan pria itu adalah Nicholas, cinta pertamanya.
Mengapa baru sekarang Nick melihatnya? Tidakkah Nick menyadari bahwa Milly telah begitu mengaguminya sejak SMP? Perundungan membuatnya kehilangan teman dan kepercayaan diri. Dan tentu saja pria populer seperti Nick tidak akan pernah berteman dengan seseorang seperti Milly.
"Terima kasih," cicit Milly.
"Ngomong-ngomong apa kamu mengenalku? Apa kamu tahu aku sejak awal?"
"Ya." Milly hanya bisa berkata sesingkat dan sejujur itu.
"Jadi kamu ingat padaku? Aku Nicholas. Kita satu SMP kan dulu?"
"Ya."
Hening. Nicholas terus menerus memperhatikan wajahnya. Jika Nick terus menerus melakukan ini, Milly terancam tidak akan menepati sumpahnya sendiri.
"Seharusnya kamu tidak perlu segalak itu padaku. Aku pasti akan membayar semua kerugianmu." Nick tersenyum kemudian ia menaruh tangannya di lengan Milly, meremasnya perlahan. "Aku sungguh minta maaf karena telah menabrakmu."
Sesuatu berkedut-kedut di bagian bawah tubuh Milly. Bagaimana pria ini melakukannya?
"Ten... tentu saja."
Gorden terbuka, Ririn masuk ke dalam sambil menyerahkan ponselnya ke tangan Milly. Otomatis tangan Nick terlepas.
Milly menaruh ponsel Ririn di kupingnya.
"Halo. Ya, Mel?" Milly kemudian keluar dari ruangan panas mendebarkan itu.
"Are you ok, Mil? Karin bilang kamu kecelakaan."
"I'm just fine. Don't worry about me."
"I'm not just worry about you. Karin menangis di telepon dan dia bilang mobilmu ditabrak sampai hancur. Bukankah kamu sedang bersama Karin? Bagaimana keadaan Karin sekarang?"
"Dia baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir."
"Sebenarnya kejadiannya bagaimana?"
"Aku akan menceritakannya nanti."
"Baiklah. Sekarang kamu di rumah sakit mana? Aku akan menjemputmu."
Milly memberitahu lokasinya. Selesai telepon, Milly mengembalikan ponsel Ririn. Anak itu sedang berdiri di sebelahnya, sementara matanya terus menatap Nicholas.
Ririn menarik Milly, kemudian berbisik di kupingnya. "Cowok itu ganteng banget."
Keponakannya memang terbaik. Anak kelas empat SD sungguh punya selera. Sekalipun wajah Nick babak belur, sama sekali tidak menghilangkan pesonanya.
Milly menatap Nicholas yang juga tiba-tiba menatapnya. Milly tersenyum singkat. Lalu perlahan ia mendekat.
"Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku akan menghubungimu setelah pihak bengkel memberitahu tagihannya."
"Baiklah. Apa kamu mau pulang sekarang?"
"Ya. Kakakku akan menjemput."
"Oh. Aku pikir tadinya akan mengantarmu pulang."
"Dengan apa? Motor? Motormu rusak juga. Seharusnya kamu melihatnya."
Nick kembali menyibakkan rambutnya lalu menutup wajahnya dengan tangan. Ia menurunkan tangannya perlahan. Wajahnya tampak sangat lelah. Nick yang malang. Seandainya Milly bisa menolongnya. Tapi tidak. Mungkin Nick pantas mendapatkannya. Toh bukan salahnya jika motor Nick rusak.
Persoalan hatinya yang terluka sejak lamapun tidak ada yang bertanggung jawab. Jadi ya sudah. Saatnya bersikap seperti bos.
"Sampai jumpa, Nick."
Nick tengadah untuk menatap wajah Milly. Ia tersenyum terpaksa. "Baiklah. Sampai bertemu lagi, Milly."