Chereads / Milly's First Love / Chapter 4 - 4. Jo-Nes

Chapter 4 - 4. Jo-Nes

Milly ingin segera pulang dari tempat ini. Tapi tidak bisa. Kebodohannya sendiri karena mengambil keputusan untuk datang ke sini. Menatap mata Nicholas adalah hal yang paling berbahaya yang bisa ia lakukan malam ini.

Lebam di mata dan dahinya nyaris hilang sepenuhnya. Pria itu tampak sehat, sangat keren, dan seksi. Matanya menyiratkan sesuatu hal yang tidak bisa Milly mengerti. Seolah-olah Milly tenggelam dan tidak tahu berada di mana. Ia hanya perlu mengikuti arus dan mengalir bersamanya.

Tapi sesuatu dalam hatinya berontak dan memprotes akibat rasa sakit yang berkepanjangan. Seketika Milly mengingat masa lalu.

Milly menjadi pemimpin dalam kelompok belajar saat ia SMP. Entah bagaimana Nick diikutsertakan dalam kelompoknya, padahal mereka tidak sekelas.

Nick selalu bersikap ramah dan baik padanya. Pria itu meminjamkan jaketnya saat musim hujan. Lalu Nick membelikannya es krim saat belajar bersama. Sebenarnya bukan hanya padanya, tapi pada semua teman-temannya. Hanya saja caranya memandang Milly membuatnya nyaris kehabisan napas.

Nick selalu membelanya bila ada temannya yang mengejek "Bule Jo Nes". Nick menolongnya saat ia hendak menyebrang jalan dari sekolah. Dan hal yang paling tidak bisa ia lupakan adalah Nick pernah menepuk kepalanya dengan sayang saat ia berhasil memenangkan lomba cerdas cermat.

Salahkah ia bila terlalu mencintai Nick sampai pada suatu hari ia melihatnya sendiri, saat Nick menggandeng tangan Celia. Si wanita jahat yang selalu menjadi biang perundungan.

Seluruh sekolah mungkin tahu bahwa Celia sangat membenci Milly, entah apa sebabnya. Wanita itu sama sekali tidak cantik. Rambutnya memang panjang, tapi terdapat banyak cabang di bagian bawahnya. Wajahnya berjerawat. Pantatnya sangat besar. Dan ia sangat pendek. Otaknya sama sekali tidak ada isinya. Nilai-nilainya tidak pernah bagus.

Lantas apa yang membuat Nick lebih memilih Celia ketimbang dirinya?

Mereka mengumbar-umbar kemesraan di sekolah dan bahkan mendapatkan gelar raja dan ratu saat acara kasih sayang. Pasangan sempurna. Prianya gempal tapi baik hati, wanitanya juga buntet dan cantik. Ugh! Cantik menurut beberapa pria, tidak bagi Milly.

Perundungan tiada akhir bahkan sampai ia kuliah. Beberapa temannya yang dulu pernah satu SMP dengannya masih saja membawa kesialan itu ke kampus dengan terus memanggilnya "Bule Jo Nes".

Lalu apa maksud perkataan Nick tentang menyewa jasa WO padanya? Apakah ia akan menikah dengan Celia dalam waktu dekat ini? Hatinya meringis getir. Nah nah. Sama sekali bukan ide yang bagus menapakkan kaki ke tempat ini.

"Milly, kamu baik-baik saja?" Nick membuyarkan lamunannya.

"Ya. Aku baik-baik saja. Apa aku boleh pulang sekarang?"

"Apa? Tidak. Jangan pulang dulu. Aku masih ingin berbincang denganmu. Tenang saja, nanti biar aku yang mengantarmu pulang."

"Tidak usah repot-repot."

Nick tersenyum. "Kamu tahu, ternyata ada banyak hal yang berubah darimu."

"Apa maksudmu?"

"Seingatku dulu, kamu selalu ramah padaku. Kita dulu suka belajar bersama kan? Tapi sekarang kamu seperti yang sedang menghindariku. Apa aku salah?"

"Tentu saja kamu salah. Untuk apa aku menghindarimu?"

"Mana kutahu. Apa suamimu marah jika kita berbincang berdua di sini?"

"Suami? Apa yang kamu bicarakan?" Nada suara Milly meninggi. Ia sangat tersinggung. Ia tidak suka disebut seperti wanita yang sudah menikah. Ia tidak akan menikah dengan siapapun.

"Anak yang waktu itu di rumah sakit bersamamu, bukankah dia anakmu?"

Milly mendengus pelan. Semoga saja lubang hidungnya tidak terlihat besar. "Jadi kamu berpikir kalau Ririn itu adalah anakku?"

"Wajah kalian mirip sekali."

"Terima kasih. Tapi Ririn adalah keponakanku."

Nick melebarkan matanya, lalu tersenyum simpul. "Jadi kamu belum menikah? Syukurlah."

Demi Tuhan, untuk apa Nick bersyukur karena ia belum menikah? Pria itu senang karena dirinya memang ditakdirkan menjadi jomlo ngenes? Astaga. Sulit rasanya berpikir positif bila dirimu mengalami terlalu banyak perundungan di masa lalu.

"Berarti kamu sering bertemu dengan keponakanmu?"

"Kebetulan hari itu aku sehabis menjemputnya pulang sekolah dan kemudian kamu menabrakku." Milly tidak bermaksud berbicara setajam itu.

"Aku sungguh minta maaf karena telah menabrakmu, Milly. Setidaknya kamu berikan bon perbaikan mobilmu supaya aku bisa..."

"Tidak usah," potong Milly.

"Tapi kenapa?"

"Sungguh tidak usah." Milly menatapnya sejenak.

Nick menyipitkan matanya. Entah apa yang ada di pikirannya. Milly tak sanggup menatapnya lagi, jadi ia menundukkan kepalanya.

Milly sungguh bingung bagaimana harus bersikap. Ia tidak ingin menerima uang Nick. Pertemuannya dengan Nick yang tidak disengaja ini sungguh membuatnya takut setengah mati.

Mungkinkah ini memang takdir? Milly masih belum siap untuk membebaskan hatinya untuk merasakan lagi perasaan cinta. Sebenarnya ia juga tidak ingin sendiri, kesepian seperti ini. Tapi ia juga tidak ingin dirinya merasa seperti memperoleh harapan yang baru, padahal sesungguhnya tidak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Memangnya apa yang akan terjadi selanjutnya? Nick? Anggap saja jika dia hanyalah sekedar teman lama. Milly berdebat dengan pikirannya. Nicholas bukan hanya sekedar teman lama. Astaga.

"Permisi. Aku mau ke toilet." Milly beranjak dari kursinya. Berjalan tergesa-gesa menuju toilet.

Milly membasuh wajahnya dengan keras, menggosok-gosok matanya, lalu menampar pipinya berkali-kali agar ia merasa lebih segar.

Ini sungguh buruk. Jika ia gugup setengah mati seperti ini, bisa jadi Nick curiga dan menganggapnya aneh. Ia harus bisa menguatkan dirinya. Ia pasti bisa.

Milly menarik tisu di konter lalu mengelap wajahnya. Ia melangkah keluar dan terkejut setengah mati. Jantungnya seolah melompat ke tenggorokannya. Ia menabrak tubuh Nick yang atletis. Milly bisa menghirup aroma tubuhnya yang maskulin.

Kegiatan menyegarkan diri yang baru saja ia lakukan sama sekali tidak ada gunanya. Ia kembali diserang kepanikan. Lututnya goyah. Nick menangkap tangannya dengan erat ketika ia nyaris terhuyung.

"Milly, ada apa denganmu? Apa kamu sakit?" Nick menatapnya khawatir.

"Aa...aku baik-baik saja." Suaranya bergetar. Sungguh memalukan. Milly hendak melepaskan tangan Nick, tapi sepertinya ada lem yang sangat kuat. Nick tetap memegang tangannya. Ia bisa merasakan betapa hangatnya tangan Nick.

"Wajahmu merah sekali." Nick menyentuh pipinya, lalu dahinya. Seolah tangannya bisa berubah jadi termometer. Dan si termometer itu agak sedikit jahat. Efek sentuhan itu sungguh telah melepaskan hormon-hormon dalam dirinya. Tubuh bagian bawahnya seolah mengejang.

Milly seharusnya menepis tangan Nick. Tapi ia tidak bisa menyalahkan bila ternyata ia sangat membutuhkan sentuhan itu. Sentuhan yang meresap, menembus sistem pertahanan Milly.

Sepertinya Nick menyadari sesuatu. Matanya menatap Milly lekat-lekat. Untuk pertama kalinya mereka saling berpandangan cukup lama tanpa ada kata-kata.

"Sebaiknya aku mengantarmu pulang." Nick menarik tangan Milly menuju ke tempat parkir. "Berikan kuncinya!"

"Aku bisa pulang sendiri." Milly nyaris tidak dapat mengenal suaranya. Ia begitu kaku dan sepertinya ada dahak yang menyangkut di tenggorokannya. Ia mengeluarkan kunci dari saku celananya. Ia hendak membuka kunci, tapi Nick bergerak cepat merebutnya.

"Aku tidak akan membiarkan temanku menyetir sendiri dalam keadaan mabuk." Nick membuka kunci, lalu mendorong Milly untuk duduk di kursi penumpang.

"Hei! Aku tidak mabuk..." Suara Milly menghilang begitu Nick menutup pintu di hadapannya.

Nick kemudian duduk di kursi supir. Ia tersenyum puas. "Akhirnya aku bisa mengantarmu pulang."

Benarkah Nick begitu ingin mengantarnya pulang? Ia pasti terlihat kacau sekali. Nick tampak begitu khawatir seolah Milly bisa pingsan kapan saja. Dan memang benar. Milly hampir saja kehabisan napas. Jantungnya berdebar tak karuan.

"Apa ada sesuatu yang aku lewatkan tentangmu selama kita masih bersekolah dulu?" Nick meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalanan.

Ya benar! Kamu melewatkan segalanya tentangku! Kamu tidak pernah memperhatikanku sedikitpun. Kamu terlalu sibuk bermesraan dengan si cebol Celia.

Milly segera menepis pikiran itu. "Aku tidak mengerti maksudmu," jawabnya bohong.

"Baiklah. Mulai sekarang, aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi. Bolehkah?"

Ikan kerapunya jelas-jelas mengandung racun. Mana mungkin Milly sampai berhalusinasi membayangkan seorang Nicholas yang tampan dan populer di sekolahnya dulu, yang jelas sekarang semakin tampan dan bertubuh atletis, mengatakan hal yang mustahil seperti... Oh ya ampun.

"Kamu serius?" Milly memandang Nick tak percaya.

"Ya, supaya aku jangan sampai melewatkan apa-apa lagi tentangmu."

Milly menarik napas dalam-dalam. Baiklah ini sama sekali bukan halusinasi. Hatinya yang telah terbebaskan dari belenggu penderitaan, bersorak girang hingga membuatnya seolah menggelembung.

"Jadi kalau kamu memang belum menikah, apakah ada pria lain yang sedang dekat denganmu?"

"Kamu bertanya apakah aku sudah punya pacar?" Pertanyaan yang mengarah pada kutukan Jo Nes agak membuyarkan sensasi girang yang sejak tadi meledak-ledak dalam dadanya.

Nick tertawa. Demi Tuhan, suara tawanya begitu menyenangkan sekaligus menggetarkan. Suaranya yang dalam begitu mempesona.

"Ya kurang lebih begitu. Apakah kamu sudah punya pacar?" Nick mengulang pertanyaannya dengan maksud yang lebih jelas.

"Tidak. Sama sekali tidak pernah. Kamu sendiri?"

"Tidak pernah? Aku tidak percaya. Masa iya Jo Nes itu berlaku padamu?"

"Hentikan! Aku tidak suka jika ada orang yang menyebutku Jo Nes. Aku mungkin memang jomlo tapi nasibku tidak mengenaskan. Aku punya kehidupan yang bahagia..." Meskipun kesepian. "Aku punya orang tua yang hebat, kakak yang baik, dan keponakan yang luar biasa. Namaku Millicent Jones. Bukan Jo Nes Jo Nes Jo Nes. Stop it!"

"Kamu yang seharusnya stop. Aku tidak bermaksud menyebutmu Jo... ya itu lah. Aku hanya tidak percaya kalau selama ini kamu sendirian."

"Tidakkah kamu mendengarku? Aku punya orang tua, kakak, keponakan..."

"Kamu tahu maksudku."

Milly merapatkan bibirnya. Jika sesuatu yang menyangkut Jo Nes atau sejenisnya, langsung saja membuat Milly hilang kendali. Itu sangat memalukan karena ia marah-marah di depan Nick.

"Maafkan aku."

"Untuk apa kamu minta maaf? Santai saja, Mil. Aku akan mengingatnya kalau kamu sama sekali tidak suka dengan panggilanmu itu. Aku akan selalu memanggilmu sesuai dengan namamu. Milly Jones. Boleh kan aku memanggilmu Milly?"

Wajah Milly kembali memerah. "Ya, Milly saja. Terima kasih."