Pintu terbuka lebar, seolah menanti kehadirannya sejak tadi. Pria dengan kemeja hitamnya itu melangkah masuk dengan wajah yang terlihat geram. Para pelayan menunduk hormat, sesekali melirik melalui ekor matanya mencuri pandang pada sang tuan muda yang selalu terlihat tampan.
Yudistira Adyatama. Pria yang terlahir dengan kemewahan di sekelilingnya, tak membuat dia merasa sombong. Yudistira tahu bahwa masih banyak orang yang berada di atasnya, lebih tampan, kaya raya, serta memiliki sesuatu yang menarik.
Yudistira sampai pada tangan kanan sekaligus temannya, Evan. Pria itu terlihat masam, menatap dengan sorot mata penuh belas kasihan.
"Mereka sudah menunggumu di ruang makan." Kata Evan memberitahu.
"Mbak Adenia?" Tanya Yudistira. Dia harap, kakaknya satu itu tidak perlu ikut campur dalam masalah ini karena Yudistira sangat yakin bahwa Mbak Adenia akan memihak Anne. Dia tahu sekali Adenia memiliki rasa sayang terhadap gadis baik itu.
Evan menggeleng, membuat Yudistira merasa sedikit lega. Setidaknya semua tidak akan terlalu kacau dengan teriakan kakaknya.
"Selagi aku di dalam, kerahkan beberapa bodyguard untuk menjaga Vila Putih. Pastikan tak ada satu orang pun yang masuk ke sana tak terkecuali dengan keluargaku sendiri. Mengerti?" Evan mengangguk mantap, meninggalkan Yudistira yang sudah mulai berjalan menuju ruang makan.
Sebenarnya, ada sebuah pertanyaan besar di dalam benak Evan mengenai alasan Yudistira memerintahkannya seperti ini. Apa dia sedang melindungi seseorang? Meski begitu, Evan tetap melaksanakan perintah Yudistira dengan telaten.
***
"Yudis..." Yudistira dapat melihat kekecewaan yang besar dalam raut wajah ibunya. Bahkan, suaranya terdengar lemah. Sudah di pastikan dia habis menangis.
"Katakan pembelaanmu dan sangkal semuanya." Suara Tuan Adyatama terdengar menginterupsi, membuat Yudistira merasa jengah.
Mata elang itu melirik Anne yang terlihat ketakutan. Gadis itu menunduk, tak berani menatap siapapun yang ada di sana. Penampilannya cukup kacau hingga membuat Yudistira merasa bersalah.
"Tidak ada pembelaan. Itu semua benar. Aku menghamilinya." Ucap Yudistira dengan yakin.
Hati Clarina tercelos begitu saja mendengar anaknya memperlakukan seorang wanita dengan sangat buruk. Dia berdiri, menghampiri Yudistira dan menamparnya cukup kencang hingga membuat pipi Yudistira memerah.
"Bunda tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi laki-laki kurang ajar, Yudistira!" Geram Clarina. Matanya menyorotkan amarah yang sangat besar, membuat Yudistira merasa sedih. Tak seharusnya ibunya melihat kelakuan bejat dia.
"Maaf Bunda... Yudis benar-benar minta maaf." Lirih Yudistira. Dia akan menerima apapun pelampiasan amarah dari ibunya. Entah itu berupa tamparan dan yang lebih menyakitkan lainnya. Setidaknya, Yudistira harus melihat sorot mata kecewa itu mereda.
"Kau boleh bermain dengan pelacur. Tetapi, kau tidak boleh menghamili anak orang lain tanpa adanya ikatan pernikahan. Apa kau lupa dengan ucapan Bunda?" Tangan Clarina mencekram kemeja Yudistira dengan kuat, menahan air matanya agar tidak menetes kembali. Dia lelah menangisi kelakuan putranya yang sangat tidak bermoral.
"Kau mencintainya?" Pertanyaan Clarina berhasil membuat wajah Yudistira terangkat. Dia menggeleng dengan cepat membuat Clarina semakin merasa kecewa.
"Bunda sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Bunda benar-benar kecewa kepadamu." Clarina sangat lemas hingga terjatuh di atas lantai. Beruntung, Yudistira segera menangkapnya dan menuntun ibunya untuk duduk di kursi.
"Yudistira akan bertanggung jawab Bunda," kata Yudistira. Dia bersimpuh di depan Clarina, memohon ampunan pada orang yang telah melahirkannya.
"Memang seharusnya seperti itu." Sahut Tuan Adyatama. Dia duduk di kursi yang paling ujung dengan aura penuh kemarahan.
Dia marah karena Yudistira memperlakukan wanita dengan sangat buruk padahal dirinya memiliki seoranv kakak perempuan. Dia marah karena Yudistira menghamili seseorang yang tidak dicintainya. Lalu, dia marah karena artinya, pewaris perusahaan akan jatuh ke orang asing yang bahkan tidak anaknya cintai.
"Aku akan mengakui anak itu dan membiyayainya. Aku akan berta—"
"Kau harus bertanggung jawab dengan menikahinya." Potong Tuan Adyatama membuat Yudistira terdiam seketika.
Tubuhnya menegang sempurna, memikirkan Adeeva yang dia tinggalkan di Vila Putih. Dia harap, gadis itu tidak bangun sampai Yudistira kembali ke sana.
"Aku sudah mencintai perempuan lain, Ayah." Balas Yudistira. Dia menentang keras pernikahan ini.
"Nikahi Anne, Yudistira. Nikahi dia atau Ayah akan menyakiti orang yang kau cintai. Hanya itu pilihannya." Yudistira masih membeku dengan pikirannya yang kosong. Dia tahu bahwa ini adalah sebuah titah untuknya. Ucapan ayahnya tidak akan pernah berubah. Saat dia mengucapkan A, maka akan selamanya begitu. Tak terkecuali dengan ancamannya. Dia tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
Yudistira mengepalkan tangannya kuat-kuat, memejamkan matanya sejenak mencoba untuk berpikir jernih. "Aku akan menikahinya dengan dua syarat."
"Katakan."
"Syarat pertama, tidak ada media dan satu orangpun yang tahu selain keluarga kita."
"Kedua?"
"Kalian tidak berhak ikut campur mengenai rumah tangga kami."
***
Butuh waktu cukup lama untuk Adenia menembus perlawanan dari bodyguard Yudistira yang berjaga. Setelah membuat sebuah kesepakatan, akhirnya Adenia bisa masuk ke dalam vila putih yang sudah di pastikan tempat Yudistira menyembunyikan Adeeva.
Adenia sudah mendengar mengenai berita Anna yang tengah mengandung anak dari Yudistira. Dan detik itu juga, dia segera mencari Adeeva, berusaha menyusun rencana untuk permasalahan yang cukup rumit ini.
"Mbak Adenia?" Suara Adeeva membuat Adenia menoleh. Gadis cantik yang berada di dalam balutan kemeja milik Yudistira tengah duduk di ruang keluarga dengan secangkir teh di tangannya.
Adenia menyusul, duduk di samping Adeeva dan memeluk gadis itu sekuatnya. Dia sudah bisa menebak bahwa mereka habis bercinta.
Adeeva menundukkan wajahnya, berniat untuk bercerita sesuatu. Namun, sebelum suaranya keluar, Adenia terlebih dahulu menyela ucapannya.
"Adeeva, jawab Mbak ya? Kau mencintai Yudistira?" Tanya Adenia. Wajahnya terlihat serius, membuat Adeeva sedikit kebingungan.
"Aku mencintainya Mbak." Jawab Adeeva.
"Kalau begitu kau harus percaya terhadap apapun yang Yudistira katakan." Ucap Adenia membuat Adeeva semakin dilanda kebingungan.
Adeeva hanya bisa mengangguk tanpa bisa bersuara.
"Yudistira menyuruh Mbak untuk membawamu ke Manhattan. Bersiaplah, kau akan tinggal di sana mulai besok."