Prang....
Punggung rapuhnya bersandar pada pintu. Rambut hitamnya terurai panjang. Manik terangnya berkaca-kaca, satu persatu bulir air mata mulai menetes. Mulutnya tak kuasa untuk berbicara, begitupun dengan telinganya yang tak kuat mendengar.
Kedua tangannya memutuskan untuk menutup telinganya dengan sekuat yang dia mampu. Isak tangisnya semakin kuat, namun tetap tanpa suara.
"Untuk apa pernikahan ini masih berlangsung?!" suara ibunya mulai meninggi. Setelah membanting piring, sekarang mereka mulai kembali membahas perceraian.
"Kamu pikir saya bodoh, jika kita bercerai maka rumah ini akan menjadi milik kamu!" Ayahnya tak mau kalah, selalu mengungkit harta gono gini.
"Kamu bisa membawa Adeeva,kamu bisa mempekerjakannya."
"Untuk apa saya berurusan dengan anak haram kamu bersama laki-laki lain?"
"Bukannya kamu yang suka menebar sperma kesana-kemari!"
"Kalau dia anak kandung saya, dia tidak akan membunuh kakaknya sendiri!"
Suasana suram ini menjadi keseharian yang menyeramkan untuk Adeeva. Gadis yang baru menginjak usia 17 tahun itu harus banting tulang untuk dirinya sendiri. Kedua orang tua itu membencinya semenjak kejadian tragis 3 tahun yang lalu. Semenjak itu pula kehidupannya hancur berantakan.
Diraihnya cutter di atas meja belajar, sedikit demi sedikit cutter tajam itu menggores lengannya. Luka-luka yang belum sempat mengering harus kembali tergores dan terluka. Darah perlahan mulai mengalir, menetes bersamaan dengan air matanya.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka paksa. Adeeva segera melemparkan cutter itu sejauh mungkin. Air matanya dia hapus secepat mungkin.
"He kamu! mengapa masih di sini? Kamu tidak lihat saya kelaparan? Belikan saya nasi goreng cepat!" seru Ayahnya.
Adeeva bahkan tak berani menatap manik terang yang sama sepertinya.
"Baik Ayah.." ujar Adeeva pelan.
"Cepetan! Jadi anak lambat banget. Sadar gak sih kalau kamu tuh merepotkan." sarkas Ayahnya.
Hatinya sakit. Tubuhnya hancur. Bahkan, darah yang menetes tak dipedulikan oleh Ayahnya. Ibunya hanya menatap dia tanpa rasa bersalah. Mungkin memang beginilah tuhan menciptakannya.
***
Bunga-bunga berjejer rapi di ranjang, semerbak harumnya menyengat indra. Keindahannya memukau mata. Toko bunga yang sudah berdiri selama 20 tahun ini tak pernah sepi pembeli. Bahkan, pejabat tinggi banyak yang langganan di sini.
Toko bunga milik Nyonya Adenia memberikan kenyamanan tempat dan harga yang cukup terjangkau. Itu adalah alasan mengapa toko ini sangat digemari pembeli. Nyonya Adenia masih tergolong cukup muda, usianya baru menginjak kepala 2.
"Mbak, mengapa nama tokonya Sunflow?" tanya Adeeva.
Adenia tertawa kecil. Ternyata, pegawainya bahkan ingin tau alasan dibalik nama tokonya.
"Itu diambil dari nama bunga matahari. Sunflower. Bunga matahari selalu terlihat indah bahkan saat layu sekalipun. Warna terangnya seperti cahaya di antara bunga-bunga lainnya. Mbak ingin, toko mbak juga sama kayak bunga matahari. Bersinar di antara toko yang lainnya." kata Mbak Adenia.
Adeeva lagi-lagi dibuat takjub dengan wanita itu. Pemikirannya yang dewasa serta hatinya yang lemah lembut membuat gadis itu berharap memiliki kakak sepertinya. Andaikan Mbak Adenia adalah kakaknya, pasti hidupnya tak akan sesulit ini. Pasti Adeeva tak akan merasa kesepian.
Hari sudah semakin sore, Adeeva menatap lamat-lamat bunga matahari di depannya. Itu juga bunga favoritnya.
"mengapa bunga matahari?" tanya seseorang disampingnya.
Adeeva terkejut melihat sosok laki-laki sedikit membungkuk ikut menatap bunga matahari yang berjejer rapi di sana.
"Lo lagi..." gumam Adeeva yang masih terdengar oleh laki-laki itu.
"Gue denger yah!" katanya.
"Adeeva Afsheen Mahesa, apa artinya?" tanya laki-laki itu.
"Tau darimana nama panjang gue?" katanya.
"Oh, ini KTP lo jatuh pas di danau. Kenalin, gue Yudistira." kata Yudis sambil memberikan KTP milik Adeeva, dan mengulurkan tangannya.
Adeeva menerima KTP nya, tetapi tidak dengan uluran tangan laki-laki itu. dia hanya tak ingin mengenal seseorang lebih jauh. Karena untuk dia, memiliki dirinya sendiri sudah lebih dari cukup. Selain itu, Adeeva juga takut kehilangan kembali. Kehilangan orang-orang yang mencintainya. Seperti kakaknya dahulu.
"mengapa suka sama bunga matahari?" tanya Yudistira lagi.
Adeeva tersenyum simpul,"karena dia tahu ke mana dia harus menoleh,"
Adeeva menatap Yudis sejenak. Ngomong-ngomong untuk apa laki-laki itu ada di toko bunga?
"Mau apa kesini?" tanya Adeeva.
"Oh iya, gue mau beli Mawar kuning buat doi gue." jawab Yudis.
"Oh, udah punya pacar..."gumam Adeeva.
***
Rumah mewah milik Bastian pribadi sudah hancur seperti kapal pecah. Bantal sofa sudah tak lagi ditempatnya, melainkan tergeletak sempurna di atas lantai. Segala macam kotoran berhamburan. Mulai dari putung rokok, camilan, dan bungkus makanan.
Yudistira dan Zion adalah definisi 'anggap rumah sendiri' yang sesungguhnya. Saat keduanya bosan di rumah, tempat ini akan menjadi sasaran utama mereka. Selain karena hanya ditempatin oleh Bastian, rumah ini juga berada di pinggiran kota dengan suasana sejuk dan pemandangan alam yang memukau.
"Lo berdua kan kaya raya tuh,mengapa gak beli rumah sendiri aja sih? Nebeng mulu!" gerutu Bastian.
Laki-laki itu akan stres apabila rumahnya hancur. Memang ada asisten rumah tangga yang membersihkan, tetapi tetap saja saat dipandang sangat memuakkan dan tidak aesthetic.
"Kan gue gak berantem sama nyokap bokap." kata Zion. Yudistira terkekeh mendengarnya, memang sahabatnya yang satu itu selalu saja berbicara nyablak. Tak jarang orang sakit hati saat mendengarnya.
"Iya iyaaa yang keluarganya bahagia sentosa, gue yang broken home diem ajalah." gerutu Bastian lagi.
Hening sejenak. Yudistira sibuk dengan handphone nya, Zion sibuk dengan komiknya dan Bastian sibuk tik tokan.
"Kemarin gue bertemu Adeeva di Sunflow." kata Yudistira membuka percakapan.
Bastian menoleh, Zion menutup bukunya. Keduanya tertarik dengan topik yang menyangkut nama gadis itu. Entah mengapa, gadis itu selalu membuat mereka penasaran.
"Dia kerja di sana." lanjut Yudistira.
Zion dan Bastian tercengang. Mereka bahkan menganga hingga lalat menempel di amandel mereka dan tersedak.
"What? Berarti dia karyawan Mbak Nia?!" jerit histeris Bastian. Memang, jiwa alay Bastian sudah tertanam sejak sperma.
"Oh ini alasannya dia ga mau nginep di hotel." kata Zion sembari mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali.
"Mungkin dia depresi karena masalah keuangan?" tebak Bastian yang disetujui oleh Yudistira dan Zion.
"Gak tega gue." kata Bastian.
"Gak tega apa naksir?" goda Zion.
***
Tangan gadis itu bergetar hebat kala melihat Ayahnya pulang membawa wanita lain. Wanita dengan dandanan mewah layaknya orang kaya itu duduk di ruang tamu berdua dengan Ayahnya.
Jika ingin berselingkuh, mengapa harus terang-terangan di depan anaknya? Apa harus anaknya juga yang membawakan minum kepada selingkuhan ayahnya?
Rasanya, gelas di tangan itu ingin dia hancurkan. Hidupnya yang hancur semakin berantakan karena ulah ayahnya. Rasa kesepian, tidak berguna, dan rasa bersalah masih menghantuinya. Sekarang, ditambah dengan rasa amarah dan dendam yang begitu besar pada ayah kandungnya itu.
Tanpa gadis itu sadari, gelas itu sudah jatuh dan pecah mengenai kakinya. Kaki gadis itu berdarah tertusuk kaca.
"Adeeva!" ketus Ayahnya.
Wajah ayahnya memerah menahan emosi, tangannya sudah mencekal Adeeva dan mengusirnya dari rumah. Di depan wanita itu, dirinya di hina dan diusir dari rumahnya. Sungguh kehidupan yang tidak adil.
Kakinya masih berdarah, bahkan kaca masih menancap di sana. tetapi, yang di pikirkan ayahnya hanya rasa gengsi karena memiliki seorang gadis ceroboh dan tak becus.
Adeeva lagi-lagi jalan tanpa arah. Untungnya, Adeeva sempat membawa beberapa barang penting di dalam tas ranselnya. Kali ini, tak ada rasa ingin mati dalam benaknya. dia hanya memikirkan perasaan ibunya jika mengetahui tentang ini. Meskipun Adeeva dibenci oleh ibunya, tetapi Adeeva tidak pernah benar-benar benci kepada ibunya.
dia menyusuri kota dengan tatapan kosong. Darah di kakinya masih menetes meskipun sedikit, pecahan gelas itu bahkan masih menancap di sana. Entah mengapa, tak ada rasa sakit yang gadis itu rasakan. Hanya ada rasa kecewa mendalam yang sulit disembuhkan.
Adeeva adalah seorang anak perempuan yang fisiknya harus kuat seperti lelaki. Tak ada tempat berlindung baginya. Sosok ayah yang seharusnya mendekap hangat, kini malah mengusirnya dan membiarkan Adeeva kedinginan sendirian dimalam kelam.
Gadis itu menyerah, dia menangis sejadi-jadinya di pinggiran jalan. Gadis itu jongkok dan menutup kedua matanya dengan tangan. Badannya bergetar hebat, tangisnya terdengar menyakitkan.
Setelah beberapa lama, tangisnya mereda. dia menengadah, menemukan sebuah tangan terulur kepadanya. Tangan yang pernah menggapainya saat dia hampir kehilangan semuanya.
Tangan yang menariknya ke permukaan danau. Kali ini, tangan itu kembali terulur menawarkan bantuan. Meskipun matanya menatap kosong kepada Adeeva, tetapi dia tau bahwa Yudistira mengkhawatirkannya. Jika tidak, untuk apa laki-laki itu sampai mengikutinya saat itu?
Adeeva tau ini salah. Yudistira sudah memiliki kekasih. Tetapi, Adeeva juga membutuhkan salah satu alasan untuk bertahan. Dan kini, Adeeva menemukannya. Yudistira adalah seseorang yang akan menjadi alasan besar gadis itu bertahan di antara kelamnya dunia.