Chereads / Short Story (All Genres) / Chapter 15 - A Lie That Ends Well

Chapter 15 - A Lie That Ends Well

"Sica, tunggu. Aku bisa jelasin semuanya!"

"Jelasin apa? Jelasin kalo selama ini aku dalam hidup kebohongan? IYA?!"

"Bu-bukan gitu Ca, ini semua demi kebaikan kamu."

"Kebaikan? Kebaikan kamu bilang? Hidup dalam kebohongan itu yang kamu bilang kebaikan?"

Seseorang itu terdiam mendengar ucapan Sica.

"Kamu ga pernah rasain jadi aku, makanya kamu bisa bilang klo itu semua kebaikan," ucap Sica dengan nada sedih.

"Aku punya alasan untuk itu semua Sica, kamu tolong dengarkan aku dulu," ucap seseorang itu memohon.

Sica menatap seseorang itu lekat. Karena pandangan memelasnya, Sica jadi tidak tega. Tapi Sica tidak mau hidup dalam kebohongan lagi.

Sica melangkahkan kakinya untuk meninggalkan seseorang itu. Belum jauh dia melangkah, seseorang itu mengucapkan hal yang membuat Sica berhenti dan berbalik menatap seseorang itu.

"KAMU GA KASIAN SAMA LINDEN?" Sica berhenti dan berbalik menatap seseorang itu. Merasa ucpannya berhasil menghentikan Sica, seseorang itu melanjutkan ucapannya.

"Dia masih kecil loh, kamu tega? Dia masih butuh kamu," ucap seseorang itu semakin memprovokasi Sica.

Sica menghela napas. Kenapa bisa dia terjebak dalam situasi ini? Dia jadi teringat 4 bulan sebelum peristiwa ini terjadi, dimana dia masih hidup dengan damai dan tentram.

***

4 bulan yang lalu

"Aduh... kok bisa sih aku telat gini," ucap seorang gadis yang sedang melangkahkan kakinya terburu-buru, dengan sesekali melihat ke arah jam tangannya.

"Sica!" gadis itu menoleh karena panggilan dari seseorang.

Terlihat dari arah berlawanan, gadis berbaju hitam dan rok coklat sedang menghampiri dirinya.

"Kok bisa sih lo telat?" tanya gadis itu yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat nya, setelah sampai dihadapannya.

Sica hanya menyengir menanggapi pertanyaan sahabatnya itu, "Pasti lo nonton drakor lagi kan?" cengiran Sica semakin lebar karena pernyataan sahabatnya.

"Haduh... Ca, ubah deh kebiasaan nonton drakor lu itu. Kalo ga bisa-bisa lu telat mulu."

"Iya-iya, nanti gw ubah kebiasaan gw. Gw masuk kelas dulu ya Ri, bye! Sampe ketemu di kantin!" teriak Sica sambil berjalan terburu-buru.

"Hah... itu anak gapernah berubah, dari dulu sampe sekarang ga ada bedanya." ujar Ariadna, sahabat dari seorang Sica.

Sebelumnya, mari berkenalan dengan seorang Sica. Sica adalah mahasiswi semester 1 yang sangat aktif di dalam organisasinya. Sica termasuk mahasiswi yang pintar dan rajin. Sica tahun ini berumur 22 tahun. Sica hidup hanya dengan mamanya, papanya sudah meninggal saat dia masih duduk di SMA kelas 2. Sica bisa berkuliah karena mendapatkan beasiswa dari SMA nya.

Kalau Sica tidak mendapatkan beasiswa, Sica tidak akan bisa berkuliah. Karena kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan. Terlebih lagi ibunya jatuh sakit setahun setelah ayahnya meninggal.

Sica bekerja paruh waktu untuk biaya hidup juga biaya pengobatan ibunya. Beruntungnya Sica disaat-saat dia mengalami kesusahan, dia mempunyai sahabat yaitu Ariadna atau dia biasa memanggilnya Ria. Ria sahabat yang selalu ada disaat Sica sedih maupun susah, mereka bersahabat sejak kelas 1 SMA. Ria termasuk anak yang hidup berkecukupan. Walaupun begitu, Ria tidak malu untuk berteman dengannya.

Ria senasib dengannya, hidup dengan satu orang tua saja. Bedanya, Sica dengan mamanya. Sedangkan Ria dengan papanya.

Yang Sica dengar-dengar, papanya Ria termasuk hot dady. Karena umurnya masih tergolong muda untuk seukuran seseorang yang mempunyai anak seumur Ria.

Tapi apalah itu, aku tidak begitu peduli dengan sekitar. Yang terpenting hidup ku sendiri dahulu, hidup orang lain tidak penting.

Tak terasa, bel istirahat sudah berbunyi. Sica segera keluar menuju ke kantin. Karena sejak tadi cacing-cacing di perutnya sudah berteriak untuk diberi makan.

Sesampainya di kantin, dia melihat sahabatnya melambaikan tangannya ke arahnya. Sica langsung saja menghampiri Ria.

Tapi ada yang aneh dengan Ria. Saat Sica mendekat, dia bisa melihat ada balita berusia sekitar 1 tahun sedang duduk dengan anteng dipangkuan Ria.

Dengan masih menatap balita itu, Sica duduk disamping Ria.

Karena Ria tak kunjung menjelaskan, akhirnya Sica berinisiatif untuk bertanya sendiri.

"Ri, itu anak siapa? Anak lo?" tanya Sica asal ceplos.

"Heh.. sembarangan banget ya mo ngomong, dia ini adik gw Ca," jawab Ria yang membuat Sica shock untuk kedua kalinya.

"Adek lo? Ohh, maksud lu adek sepupu lu?" tanya Sica memperjelas maksud Ria.

"Bukan Ca, dia adek gw," ujar Ria menekankan kata 'adek' pada ucapannya.

"Serius lo Ri? Adek lo? Ga salah lo ri? Gila! Jauh juga jaraknya dari lo ke adek lo," ujar Sica heboh.

Ria memutarkan bola matanya mendengar ucapan heboh dari Sica, "Biasa aja kali Ca, ga usah heboh gitu. Iya, gw lupa cerita ke lu. Kalo gw punya adik bungsu yang masih balita."

"Kok bisa punya adek umur segini? Bukannya nyokap lu udah meninggal pas lu masih SMA, ya?"

"Ya gitu deh, ada hal yang belum bisa gw ceritain ke lu Ca," ujar Ria dengan nada lesu. Wajahnya tiba-tiba berubah murung.

Melihat wajah murung dari sahabatnya, Sica memutuskan untuk tidak membahas soal itu lagi. Dan membahas topik lain.

"Tapi kenapa anak itu sekarang ada sama lu? Emang biasanya sama siapa?"

"Biasanya ada baby sist yang jagain dia di rumah. Cuman baby sist nya berhenti kerja kemarin, karena baby sist nya lagi hamil. Nah, sekarang gw bingung banget nih nitip Linden ke siapa. Mana gw ada kelas lagi nanti, papa gw sih tiba-tiba aja datengnya ga ngabarin dulu." ucap Ria sambil menggerutu.

Sica hanya mengangguk-anggukan kepalanya, dia bingung ingin menanggapi apa. Ria memerhatikan Sica yang sedang melamun itu, tiba-tiba terlintas ide cermelang dari otaknya.

"Ca, gimana kalo lu kerja aja jadi baby sist di rumah gw? Lu lagi butuh kerjaan kan? Gw tau lu lagi butuh uang banyak buat nyokap lu. Soal gaji, gw yakin bakalan lu bakalan setuju. Gimana? Mau gak?"

Sica menoleh mendengar tawaran dari Ria. Sejujurnya, dia memang membutuhkan kerjaan yang gajinya cukup untuk biaya pengobatan ibunya.

Tapi, dia ragu apakah bisa dia menjaga anak balita? Secara, dia belum pernah mengurus balita.  Tapi karena dia terdesak, dan ada tawaran bagus Sica tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Sica mengangguk mengiyakan tawaran Ria. Ria tersenyum senang melihatnya, "Baguss, kalo gitu mulai sekarang lu kerja jadi baby sist nya Rino ya Ca. Nih, gw titip Linden, sebentar lagi gw ada kelas. Dah, Ca!" Ria langsung pergi dari kantin itu.

Sica memperhatikan Linden yang ternyata juga sedang memperhatikannya. Tiba-tiba Rino tersenyum dan memeluk Sica.

Sica terkejut dengan perlakuan Linden. Sica memeluk baik Linden, Linden tertawa sambil mengoceh dengan bahasa bayi nya.

Tak berapa lama kemudian, Linden tertidur di dalam pelukan Sica. Sica memperhatikan Linden secara detail. Dari mulai hidung, mata, dan mulut. Rasanya, kalau dilihat lebih dekat, muka Linden hampir mirip dengannya. Saat memeluk Linden pun, Sica merasakan kerinduan yang teramat besar pada balita ini.

Saat sedang asik memperhatikan Linden, Sica di kejutkan oleh suara dari belakangnya.

"Kamu siapa?" Sica seketika menoleh mendengar suara berat nan dingin itu.

Pria itu terlihat terkejut, tapi tatapan itu hanya seperkian detik. Karena setelahnya hanya ada tatapan kerinduan dari pria itu.

Sica bingung, kenapa pria itu menatapnya dengan rindu? Apakah mereka pernah bertemu?

"Ma-maaf saya adalah teman Ria sekaligus baby sist nya Linden. Anda sendiri siapa?"

"Saya ayahnya Ria dan Linden. Jadi kamu baby sist yang baru? Yasudah, ayo pulang kerumah saya. Mulai hari ini kamu tinggal di rumah saya untuk menjaga Linden."

"Ta-tapi kalau saya ada jam kuliah pagi bagaimana?"

"Kamu tenang saja, dirumah biasanya akan ada bibi yang menjaga Linden. Karena hari ini sedang sakit, saya terpaksa bawa Linden bersama saya."

Sica hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Sica tak sadar kegiatannya itu tak lepas dari tatapan pria itu

"Ohh, iya pak! Saya belum tau nama bapak, apakah bapak bisa memperkenalkan diri?"

"Ahh, iya maaf. Karena terkejut saya jadi lupa memperkenalkan diri saya. Perkenalkan nama saya Leondro, panggil saja saa Leo atau Leon." ucap Leo sambil mengulurkan tangannya kepada Sica.

Sica menyambut uluran tangan Leo, "Salam kenal."

Leo tersenyum menanggapi itu, Sica tidak tau bahwa uluran tangan itu akan merubah dirinya.

***

Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Saat ini bulan ke-4 dia bekerja bersama Ria dan keluarganya. Selama itu pula, hubungannya dengan keluarga Ria semakin dekat.

Linden menjadi sangat manja dengan nya, tidak mau dipisahkan. Sedangkan dengan Leo, hubungannya pun juga berubah. Statusnya sekarang adalah kekasih dari majikan sekaligus ayah dari sahabatnya itu.

Hubungannya dengan Leo sudah berjalan 2 bulan. Bulan ke-3 dia bekerja, tiba-tiba Leo mengutarakan perasaannya ke Sica. Sica yang memang sudah terpesona sejak awal dengan Leo pun menerimanya. Soal ibunya, keadaan ibunya sudah membaik.

Sica saat ini sedang berkeliling sebentar, karena Linden sedang tertidur. Saat melewati ruangan kerja Leo, Sica seperti mendengar percakapan dari seseorang.

"Pa, mau sampai kapan kita sembunyiin ini dari Sica?" ternyata itu suara Ria, tapi kenapa nama nya disebut?

"Papa gatau Ri, tunggu sampe mamamu itu ingat kembali. Papa ga tega kalau dia kesakitan."

Tunggu? Mama? Jadi, Leo sudah punya istri? Tapi kenapa dia mengutarakan perasaannya kepadaku?

Sica ingin mendengar lebih jauh, tapi tidak ada percakapan lagi setelah itu. Karena Sica kesal, Sica membuka pintu ruang kerja Leo secara kasar.

Brak

Leo dan Ria terlihat sangat terkejut karena keberadaannya. Sica semakin kesal karena ekspresi mereka itu.

"Jelaskan! Jelaskan kepadaku apa maksud omongan mu tadi?"

Mereka hanya diam, itu membuat Sica semakin kesal.

"Oke, kalau kalian ga mau menjelaskan itu ke aku. Aku pergi," Setelah mengucapkan itu, Sica pergi sambil menghentakkan kakinya.

"Sica, tunggu! Aku bisa jelasin semuanya!" seru Leo.

"Jelasin apa? Jelasin kalo selama ini aku dalam hidup kebohongan? IYA?!"

"Bu-bukan gitu Ca, ini semua demi kebaikan kamu." ucap Ria membantu sang ayah.

"Kebaikan? Kebaikan kamu bilang? Hidup dalam kebohongan itu yang kamu bilang kebaikan?"

Ria terdiam mendengar ucapan Sica.

"Kamu ga pernah rasain jadi aku, makanya kamu bisa bilang klo itu semua kebaikan," ucap Sica dengan nada sedih.

"Aku punya alasan untuk itu semua Sica, kamu tolong dengarkan aku dulu," ucap Leo memohon.

Sica menatap Leo lekat. Karena pandangan memelasnya, Sica jadi tidak tega. Tapi Sica tidak mau hidup dalam kebohongan lagi.

Sica melangkahkan kakinya untuk meninggalkan seseorang itu. Belum jauh dia melangkah, Leo mengucapkan hal yang membuat Sica berhenti dan berbalik menatap seseorang itu.

"KAMU GA KASIAN SAMA LINDEN?" Sica berhenti dan berbalik menatap seseorang itu. Merasa ucapannya berhasil menghentikan Sica, Leo melanjutkan ucapannya.

"Dia masih kecil loh, kamu tega? Dia masih butuh kamu," ucap Leo semakin memprovokasi Sica.

Sica menghela napas, hampir saja dia melupakan balita menggemaskan itu.

"Ya sudah, apa yang ingin kamu jelaskan kepadaku? Harus jelaskan semuanya, jangan ada yang di tutu-tutupi lagi."

Leo mengangguk menyetujui ucapan Sica, "Sebelum itu, kita duduk dulu supaya ngobrolnya bisa lebih nyaman."

Sica menuruti ucapan Leo. Sica berjalan menuju ke sofa dengan diikuti Leo.

"Ri, tolong buatkan minum buat papa sama Sica."

Ria mengangguk menuruti ucapan ayahnya.  Setelah Ria keluar, Leo mulai bercerita kepada Sica.

"Sica, apakah kamu ingat bahwa kamu pernah kecelakaan sekitar 2 tahun yang lalu?"

Sica terkejut, dia lantas menggeleng. Karena dia memang benar-benar tidak ingat bahwa dia pernah kecelakaan 2 tahun yang lalu.

Melihat respon Sica, Leo melanjutkan ucapannya tersebut, "Kamu pernah kecelakaan 2 tahun yang lalu saat kamu sedang mengunjungi ibumu. Kau sempat koma beberapa hari. Dan saat tersadar kamu mengalami amnesia. Kamu memang tidak melupakan ibumu dan juga Ria. Tapi kamu melupakan aku sebagai suamimu dan juga Linden anak kita. Ya, benar! Aku adalah suami mu, kita menikah 2 tahun yang lalu. Beberapa minggu setelah kita menikah, kau hamil. Dan beberapa bulan kemudian, kamu melahirkan Linden. Kejadian itu terjadi ketika usia Linden masih 2 bulan, beruntungnya kamu tidak membawa Linden. Kamu meninggalkan Linden di rumah bersama Ria dan baby sist.

Kita semua shock mendengar kabar tentang dirimu, Aku dan Ria segera bergegas ke rumah sakit. Kita lega karena cedera mu tidak parah, walaupun sampai mengakibatkan amnesia. Tapi kelegaan itu tidak berarti buatku dan juga buat Ria. Karena kamu melupakan statusmu dan juga aku. Aku ingin sekali memaksakan dirimu mengingatku, tapi dokter bilang itu bisa membahayakan dirimu. Jadi, aku memutuskan untuk membiarkan dirimu dengan sendiri nya mengingat ku." ucap Leo dengan panjang dan lebar.

Sica sangat terkejut mendengarnya, perlahan memori-memori yang dulu sempat hilang muncul di ingatan nya.

Sica merasa pusing denga semaua ini, kepalanya terasa sakit.

"Sica, kamu tidak apa-apa? Inilah alasanku tidak memaksakan mu," ujar Leo sambil menatap Sica cemas.

"Aku gapapa. Jadi, mama yang kamu bicarakan tadi adalah aku?"

Leo mengangguk.

"Pantas, rasanya aku tidak asing saat bertemu dengan mu juga Linden. Selain itu, aku merasakan kerinduan luar biasa saat memeluk Linden pertama kali. Dan kamu juga menatapku dengan penuh kerinduan."

Leo tersenyum mendengar nya.

"Maafkan aku sempat berburuk sangka denganmu. Jadi, saat ini kita masih suami istri?"

"Iya, aku tidak akan pernah menceraikan mu. Walaupun sampai berapa tahun pun kamu melupakanku."

Sica terharu mendengarnya, dia sangat beruntung memiliki suami seperti Leo. Dia janji, dia akan menjadi istri yang berbakti kepada Leo dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.

"Aku mencintaimu Leo."

"Aku juga mencintaimu Sica, Istriku."