Pagi hari yang cerah, terlihat gadis memakai tudung, sedang berjalan-jalan di hutan. Dengan tiangnya, dia melihat sekitar hutan.
Tanpa ada sedikitpun rasa takut, dia terus menelusuri hutan, untuk menemukan apa yang dia cari. "Ketemu!" Gadis itu mengambil sebatang bunga berwarna biru, lalu tersenyum sambil memasukkan bunga itu kedalam tasnya.
"Ah, sepertinya aku sudah terlalu lama disini! Aku harus segera pulang, kalau tidak, nenek dan kakek pasti akan khawatir."
Gadis itu berbalik menelusuri hutan lebih dalam lagi. Dengan memakai tudungnya, dia bersenandung kecil sambil melangkah dengan riang.
Setelah lumayan lama dia berjalan, akhirnya, terlihat di depan sana terdapat rumah sederhana yang terbuat dari kayu, namun terlihat hangat.
"Kakek! Nenek! Aku pulang!"
"Oh, kau sudah pulang? Selamat datang Hina."
"Omong-omong Kakek, dimana Nenek?"
"Nenekmu sedang berada di dapur, katanya dia akan membuat makanan kesukaanku."
"Wah! Benarkah? Kalau begitu, aku akan membantunya, Kakek tunggu saja disini, ya!"
"Iya-iya! Hati-hati, Hina. Jangan berlari! Dasar, anak itu selalu sjaa ceria." gumam sang kakek, sambil menggelengkan kepalanya.
Sang kakek pun melanjutkan lagi kegiatannya yang sempat tertunda tadi, di tengah sang kakek melakukan kegiatannya, tiba-tiba pintu mereka diketuk.
Tok...tok...tok....
"Woi! Cepat Buka pintunya!"
"Woi!"
"Kalau tidak dibuka, akan kudobrak pintu ini!
Ketukan itu terdengar semakin keras, ucapan-ucapan kasar itu juga semakin menjadi-jadi. Hina dan neneknya yang berada di dapur segera keluar, karena suara ribut itu.
"Kakek, siapa orang-orang itu?"
"Sst... Hina, lebih baik kau jangan keluar sekarang, tetaplah didalam bersama Nenekmu! Kakek akan menangani orang-orang itu!"
"Tapi, kek-" Belum Hina selesai bicara, neneknya sudah mengintrupsinya terlebih dahulu.
"Sudahlah Hina, kita ikuti saja apa kata Kakekmu. Ayo, sini ikut sama, Nenek!"
Hina mengikuti neneknya dengan lesu, meski begitu, dia tetap mengintip keadaan kakeknya lewat tirai, dengan membuka sedikit tirai itu.
Dia pun mendengarkan percakapan yang sedang mereka bicarakan, "Woi, Pak tua! Dimana cucumu yang berambut merah itu?"
Hina terkejut, rambut merah? Apakah itu dirinya? tak dia sangka, ternyata mencari dirinya, tapi apa urusan mereka dengan dirinya?
"Dia tidak ada disini! Mau apa kalian dengannya?" Kakek berteriak dengan tegas, tanpa ada keraguan sedikitpun dari ucapannya.
"Ck! Berani sekali kau berteriak didepanku, Pak tua!"
Hina yang sedari tadi memperhatikan, jadi kesal, karena orang itu terus saja bertindak tidak sopan dengan kakeknya.
"Kau sudah tahu perjanjiannya bukan? Oh, atau jangan-jangan kau lupa? Yah... wajar saja sih, orang sepertimu kan sudah tua, sudah bau tanah, jadi tak heran kalau kau itu sudah melupakan perjanjian itu. HAHAHAHAHAHA!" Orang itu bersama dengan temannya tertawa terbahak-bahak, setelah mengejek kakek Hina.
"Baiklah, aku tidak mau membuang waktuku lagi di sini. Berikan cucumu itu, atau kalian akan ku bunuh."
Kakek, Hina, dan Nenek yang mendengar itu semua terkejut. Kakek mengepalkan tangannya, lalu kakek berdiri dan mengambil pedang yang berada di atas meja itu. Kebetulan, pedang itu sudah diasahnya tadi.
"Tidak akan kuserahkan, cucuku pada kalian! Dan tentu saja, tidak akan kubiarkan keluargaku mati dengan mudah!"
Kakek mengeluarkan pedangnya, lalu mulai menyerang orang-orang itu dengan lihai. Hina yang melihatnya sangat kagum dengan kakek, dia tidak pernah tahu, kakeknya punya sisi yang seperti ini.
Trang...trang....
Bugh...bugh...brak....
Tiga orang yang menyerang kakek, tumbang begitu saja. Kakek juga terlihat sangat kelelahan, disaat kakek sedang lengah, tiba-tiba....
Sret....
Salah satu pedang dari musuh, mengenai lengan kakek. Untungnya, kakek cepat menghindar, dan hanya sedikit tergores saja. Meski begitu, darah yang keluar cukup banyak.
"KAKEK!"
Kakek menoleh ketempat, dimana Hina dan Neneknya berada. Dengan senyuman, kakek berkata tanpa suara kepada Hina.
"Pergilah!"
Hina sangat terkejut, matanya sudah berlinang airmata. Dia takut, terjadi apa-apa dengan kakeknya.
Nenek yang paham akan situasi, segera membereskan barang-barang yang kemungkinan dibutuhkan Hina, saat perjalanannya nanti.
Setelah semuanya selesai, nenek membari itu kepada Hina. "Hina, dengarkan Nenek! Nenek, tidak akan pergi denganmu, Nenek harus membantu Kakekmu. Dia tidak bisa bertarung sendiri, ini ada tempat yang harus kau tuju, Nenek sudah mencatat petunjuknya disana, supaya kau bisa menemukannya dengan mudah. Sekarang, kau pergilah lewat pintu belakang, selagi mereka sibuk, cepat!"
"Ta-tapi, Nek! Bagaimana dengan Nenek dan Kakek? Apa kalian akan baik-baik saja?"
Nenek tersenyum menatap Hina. "Hina, jangan khawatirkan kami, khawatirkanlah dirimu sendiri. Karena yang sedang mereka incar adalah dirimu. Dirimu yang mempunya rambut indah, kami tidak bisa menyerahkanmu kepada mereka. Kamu tidak usah khawatirkan soal apapun, teruslah berlari sampai tujuan. Disana, kamu akan menemukan seseorang."
Nenek memeluk Hina, sebelum mendorong Hina untuk segera keluar. Hina segera berlari menuju pintu belakang, sebelum dia benar-benar pergi dari rumah itu. Dia masih mendengar suara pedang dan lainnya.
Trang... trang... tring....
Bugh... bugh... bugh... Brak....
Hina memejamkan matanya sebentar, lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan rumah kayu itu.
Disisi lain....
"Nek, Hina sudah pergi?"
Nenek mengangguk, sambil mengangkat pedangnya. Nenek lalu menarik nafas. "Ayo, kita selesaikan ini."
Kakek pun mengangguk, mereka berdua mulai melancarkan serangan mereka terhadap musuh-musuhnya.
Trang... trang... trang....
Bugh... bugh... brak....
Seketika semuanya tumbang, nenek dan kakeknya Hinata dulunya adalah seorang pendekar pedang. Namun, karena faktor usia, keduanya memutuskan untuk berhenti dan hidup dengan damai bersama keluarganya.
Tapi, tak disangka oleh mereka, mereka akan memakai kemampuan mereka lagi saat ini.
Mereka berdua tersenyum, melihat para musuh sudah tumbang. Tapi, tiba-tiba mereka seperti mendengar suara bom akan meledak.
Duar....
Dan benar saja ketika mereka sudah keluar dari rumah, bom itu meledak, untungnya saja mereka selamat. "Huh... untung saja kita bergerak cepat! Kalau tidak...."
"Hah... benar, tapi aku lebih mengkhawatirkan Hina sekarang. Aku harap, dia akan sampai sesuai yang sudah kutuliskan."
Mereka berdua menghela nafas, dan berdoa dalam hati. Semoga, cucu mereka satu-satunya itu dapat selamat.
Kembali ke situasi Hina
Hina terus saja berlari tanpa arah, dia terlalu takut orang-orang itu mengejar mereka. Karena tidak memperhatikan langkah, Hina tersandung ranting dan terjatuh.
Tiba-tiba sebuah tangan terlurur dihadapannya. Hina mendongak untuk melihat siapa pemilik tangan itu.
Saat dilihat, ternyata seorang laki-laki, sepertinya laki-laki itu seumuran dengannya. Warna rambutnya berwarna kuning pudar, dan warna matanya biru pekat seperti lautan.
"Ada apa? Kau tidak mau menerima uluran tanganku?"
Hina tersentak kaget, buru-buru dia menerima uluran tangan itu. Laki-laki itu langsung membantu dirinya bangkit.
Hina membersihkan sisa-sisa tanah, sehabis dia terjatuh tadi. Dia juga membuka tudungnya untuk merapihkan rambutnya yang berantakan sehabis lari tadi.
"Akagami...." laki-laki itu terdengar seperti menggumamkan tentang rambutnya.
"Huh?" Hina memandang laki-laki itu dengan tatapan bertanya.
"Ah... bukan apa-apa. Omong-omong siapa namamu?"
"Ehm... aku... Hina Amawari. Kau bisa memanggilku Hina."
"Oh, begitu. Kenalkan, namaku Inaza Stenburg."
Hina pun mengangguk.
"Ah... omong-omong Hina, apakah kau tersesat? Kau ingin kemana? Siapa tahu aku bisa membantumu!"
Seketika Hina teringat dengan tujuannya, dia segera mengeluarkan kertas yang tadi diberikan oleh neneknya itu.
"Eto... aku disuruh nenekku untuk pergi kesini. Tapi, aku tidak tahu harus kemana lagi."
Inaza mengambil kertas itu, dan melihatnya. "Wah! Kebetulan ini adalah tempat tinggalku. Kau mau ku antar kesana?"
"Benarkah? Tentu saja aku kau, aku sangat berterimakasih kepadamu. Ternyata kau orang baik." Mata Hina berbinar-binar setelah tau bahwa dia bertemu dengan seseorang yang tau dimana tempat yang dia tuju, terlebih lagi tempat itu adalah tempat tinggalnya. Dan tanpa disadari Hina, dia menggenggam tangan Inaza begitu kuat.
Inaza terlihat sangat terkejut. "Eh... yah... itu bukan masalah besar. Ka-kalau begitu, ayo, kita jalan!"
"Ya!"
Mereka terus menelusuri hutan, hingga bagian paling dalam. Tak berapa lama kemudian, terlihat cahaya didepan mereka.
"Nah, sebentar lagi kita akan sampai! Kau masih kuat, bukan?"
"Tentu saja!"
Mereka melanjutkan lagi langkah mereka, saat sudah melewati cahaya itu. Terlihat lah, sebuah desa kecil yang terlihat sangat aman dan damai.
Mereka memasuki desa itu, banyak orang ramah yang menyapa mereka. "Ayo, akan ku kenalkan kau kepada ketua."
Hina mengikuti langkah Inaza. "Ketua, permisi. Ada seseorang yang sepertinya mencarimu."
"Masuklah!" suaranya terdengar sedikit berat.
Kemudian, mereka memasuki tempat itu. Terlihat didepan sana, pria yang kisaran berumur 30 tahun, sedang duduk.
"Ketua, dialah orangnya."
"Ehm? Siapa dia? Akagami? Tu-tunggu, jangan-jangan dia...." pria itu bergumam dengan sangat terkejut.
"Ketua?"
"Ehem! Ah... jadi, siapa namamu, Nak?"
"Anu, aku Hina Amawari. Aku kesini karena nenekku, memberikan ini kepadaku."
Hina menyerahkan secarik kertas itu kepada pria itu. Pria itu pun mengambil dan melihatnya, setelah melihatnya dia sedikit terkejut, lalu tersenyum.
"Hah... jadi betul dugaanku."
"Huh?"
"Kau adalah anakku, Hina Amawari."
"Heh?" Hina dan Inaza sangat terkejut mendengar itu.
"Ayah? Jadi benar, ayah masih hidup?"
Ayah Hina pun mengangguk. "Tu-tunggu sebentar, Ketua! Jadi, gadis ini adalah putrimu yang sering kau ceritakan?"
"Yah... begitulah!"
"Heh???? Tak kusangka."
"Nah, Hina. Mulai sekarang kau akan tinggal disini bersamaku."
"Anu... lalu bagaimana dengan kakek dan nenek?"
"Tenang saja, Hina. Mereka itu kuat, tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Baiklah."
"Hina, selamat datang dirumah."
"Ya, Ayah! Terimakasih."
End
~~~