Chereads / A Tired Love / Chapter 31 - 31. Tamara Affresia

Chapter 31 - 31. Tamara Affresia

Diletakkannya pompom cheerleader yang baru ia gunakan untuk latihan cheers di dalam gedung basket indoor tadi. Tamara membenarkan kuncir rambutnya, dan setelah dirasa rapi ia langsung keluar dari ruangan ganti ekstrakulikuler Cheerleader.

Tamara Affresia. Gadis cantik bertubuh ramping yang memiliki jabatan dalam ekstrakulikuler menjadi kapten cheerleader. Iya duduk di kelas 12 IPS 1. Satu kelas dengan Dirga.

Ya. Tamara yang mendengar semua percakapan Alan dan Audy di samping gedung basket indoor tadi. Ia mengamati semua ekspresi wajah Alan dengan sangat jelas. Bahkan ekspresi itu pernah ia miliki saat mereka pernah menjalin hubungan.

Alan dan Tamara pernah menjalin hubungan khusus saat duduk di bangku kelas 10 hingga pertengahan kelas 11. Sebuah kejadian membuat Alan mengakhiri hubungannya dengan Tamara. Namun, Alan juga diharuskan menjaga Tamara karena sesuatu.

Alan, Tamara, dan Dirga. Mereka sempat terlibat cinta segitiga yang menghancurkan pertemanan Alan dan Dirga saat itu. Membuat percikan musuh di antara mata Alan dan Dirga menyala-nyala. Membuat mereka berdua akhirnya tidak pernah main bersama ataupun bicara lagi.

Ibu jari Tamara menari di atas layar ponselnya. Mengetikkan sebuah pesan yang ia tujukan pada Alan.

-Tamara-

Bisa temenin aku?

15:30 PM

-Ralando-

Ke mana?

15:32 PM

-Tamara-

Makan. Terserah kamu mau makan di mana.

15:32 PM

-Ralando-

Oke. Kamu di mana? Aku jemput.

15:33 PM

-Tamara-

Masih di sekolah kok. Ini lagi di ruang ganti.

15:34 PM

-Ralando-

Aku juga lagi di sekolah. Aku tunggu kamu di parkiran sebrang.

15:34 PM

-Tamara-

Oke^^

15:35 PM

Tamara tersenyum senang. Mengetahui dirinya masih sangat dipedulikan oleh Alan. Hatinya berdebar dan menghangat.

***

Kini Alan dan Tamara sudah berada di sebuah restoran yang menjual makanan lokal dan asia. Keduanya memesan menu makanan yang sama, yaitu Spagetti Carbonara. Minumannya saja yang berbeda. Alan pesan es americano. Sedangkan Tamara ingin jus alpukat.

"Makasih udah nemenin makan." Ucap Tamara dengan lembut.

Alan mengangguk saja tanpa ingin tersenyum. "Udah tugas aku."

"Aku gak nyita waktu kamu kan tapi?"

"Nggak. Santai aja. Makan aja."

Mendengar itu Tamara tersenyum senang. "Kamu udah gak ada tugas nganterin Audy kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Kalau aku minta kamu jemput berangkat sekolah dan pulang sekolah juga kamu anter, boleh gak?"

Pergerakan tangan kanan Alan saat memutar mie spagetti dengan garpu itu terhenti. "Untuk apa lagi? Kamu masih mau mancing amarah Dirga? Aku udah gak mau berurusan sama dia."

"Aku sama Dirga nggak pernah ada hubungan, Al."

"Terus apa alasanmu mengakhiri hubungan kita?" Tanya Alan.

"Kamu tahu sendiri. Kejadian enam bulan lalu masih membuatku tidak bisa lupa."

"Tetap saja Tamara. Untuk apa kita masih dekat seperti ini kalau kita bukan pasangan?"

Tamara mendengus. "Kamu sendiri kan yang udah janji buat jagain aku. Dan gak bakal bantah permintaan aku. Terus kenapa sekarang kamu protes?"

"Karena ini tidak wajar."

"Kamu yang nggak wajar, Al!! Kamu yang udah ngelakuin 'itu' ke aku dan----"

Gigi Alan gemeretak dan kedua pegangannya di alat makan itu mengerat. "Cukup!!! Jangan ungkit itu lagi. Apakah hal itu kamu gunakan untuk senjata? Buktinya sampai sekarang kamu baik-baik saja kan."

Tamara menggebrak meja. Beberapa pasang mata langsung menatap Tamara dan Alan yang terlihat bertengkar. "Kalau aku kenapa-napa, apa kamu baru mau peduli? Aku tahu kok kesalahan enam bulan lalu sangat fatal. Aku tahu. Tapi bukan begini dengan selalu memberitahu keadaanku baik-baik saja. Kalau aku tuntut kamu saat itu, mungkin kita udah gak berada di Mega Bangsa lagi."

"Dari dulu itu yang selalu aku tanyakan, Tamara. Bukan aku saja yang berada di sana. Dirga juga. Mengapa kamu hanya menjurus padaku?"

"Karena kamu yang sangat dekat posisinya saat itu."

"Cctv tidak menampilkan aktivitas kita bertiga selanjutnya. Cctv di ruangan itu rusak. Sudah aku bilang berkali-kali kan, setidak sadarnya aku, aku tidak akan pernah menyakiti perempuan."

Kedua mata Tamara memanas. Air matanya sudah berada di pelupuk mata, siap untuk jatuh. "Kamu gampang bilang gitu sebagai pembelaan. Tapi kamu gak ngerasain bagaimana rasanya ada di posisi aku yang saat itu tampak hina!!" Ucapnya dengan air mata yang berhasil luruh ke pipi. Tamara segera mengambil tas ranselnya dan berlalu meninggalkan Alan tanpa mau meneruskan makannya.

Alan panik sendiri. Banyak pasang mata yang memandangnya dengan tidak suka. Orang-orang berpikir aneh tentang mereka berdua yang bertengkar seperti pasangan kekasih. Apalagi Alan dan Tamara masih mengenakan seragam sekolah. Tentu saja semua pasang mata yang ada di restoran itu menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Dengan terpaksa Alan mengejar langkah kaki Tamara yang sudah sampai di parkiran halaman depan restoran. Dengan sigap berhasil ia cekal pergelangan tangan kiri Tamara. Tampak dengan jelas air mata Tamara bercucuran deras.

Dan dengan pelan, Alan menarik Tarama ke dalam pelukan hangatnya. Mengelus dan menepuk punggung Tamara dengan lembut. "Maafin aku Ra.. maafin aku.."

Tangis Tamara pecah di dada bidang Alan. Air matanya membasahi baju seragam Alan. Alan tidak peduli akan hal itu, mau ingus Tamara sekalipun ia tidak peduli.

"Aku tuh cuman belum bisa ngelupain kejadian itu. Aku tahu belum terungkap bagaimana kalian berdua di malam itu. Tapi aku takut.. aku takut dan rasanya aku hina Aaalll..."

"Ssssttt... udah. Iya aku paham. Aku akan selalu ada buat kamu."

"Janji?"

"Iya. Janji."

Mendengar itu Tamara melepaskan pelukannya dari tubuh Alan. Menatap Alan dengan sedikit mendongak. Alan dengan sigap menyeka air mata Tamara dengan tangan kosongnya. Menangkup wajah Tamara dan mencoba bicara dengan lembut.

"Aku dan Dirga emang gak bisa akur lagi. Tapi, aku yakin Dirga juga peduli sama kamu." Ucap Alan dengan lembut.

Tamara mengangguk kecil. 'Aku gak peduli sama Dirga. Aku maunya kamu.' Ucapnya dalam hati.

"Emm.. aku tadi gak sengaja denger pembicaraan kamu sama Audy. Soalnya pas aku mau keluar gedung basket indoor, kamu tiba-tiba memberhentikan Audy."

Alan menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. "Aahh.. itu. Aku---"

"Kamu suka sama Audy?" Tanya Tamara langsung.

Alan terdiam. Ditanya begitu rasanya aneh. Padahal tadi Alan hanya bermaksud membalas perkataan Audy dengan asal. Ia tidak serius mengucapkan kalimat yang menyatakan Audy harus menjadi siapa-siapa untuknya.

"Nggak kok."

"Kamu jujur?" Tanya Tamara.

"Iya.. tentu saja."

"Tatapan kamu beda tadi ke Audy. Tatapan yang dalam sekali. Seperti tatapanmu ke aku saat kita masih jadian."

"Tapi aku gak suka sama Audy. Tadi cuman berkata asal aja." Jelas Alan.

"Al, aku harap kamu jangan suka sama siapa-siapa dulu. Aku mau kamu jagain aku dulu. Kamu udah janji hal itu sampai kita wisuda." Pinta Tamara dengan memeluk Alan lagi.

Kedua tangan Alan tidak membalas pelukan Tamara. "Iya. Aku akan selalu lindungin kamu, Tamara."

***